Di daerah saya semenjak adanya
surat edaran sekda (Sekretaris Daerah) yang terbit akhir tahun lalu,
maka tak ada lagi yang namanya tenaga honorer daerah (honda). Banyak
orang mengistilahkan dengan sebutan 'dirumahkan'. Awalnya saya kira arti
dari 'dirumahkan' itu adalah para honda akan diberi rumah oleh pemerintah.
Yup enak sekali dong, saya saja harus hutang baru bisa punya rumah.
Tapi ternyata arti 'dirumahan' itu adalah dikembalikannya honda ke rumah
masing-masing alias tidak diperkenankan bekerja di instansi pemerintah.
Bahasa lainnya adalah diberhentikan, diputus kontraknya, dan di-PHK.
Edaran tersebut
merupakan tindak lanjut peraturan pemerintah yang melarang adanya
pengangkatan honda sejak enam tahun lalu. Selama masa pelarangan
tersebut ternyata mayoritas (kepala) instansi melanggarnya. Akibatnya,
meskipun di atas kertas dilarang namun kenyataannya muncul ribuan
honda. Dan kenyataan pula tidak ada tindakan baik teguran maupun sanksi
atas pembangkangan ini.
Isi edaran antara lain bahwa
mulai akhir tahun 2011 sudah tidak ada lagi honda. Apabila ada
masyarakat yang ingin mencari pengalaman kerja di instansi pemerintah
maka disyaratkan untuk mengajukan lamaran dilampiri ijazah dan surat
bebas narkoba. Bagi yang diterima pun tidak lagi menyandang sebagai
honda namun tenaga magang atau wiyata bhakti. Masa magang itu selama
satu tahun tanpa ada perpanjangan. Di akhir magang ia akan diberi surat
keterangan pengalaman kerja, yang mungkin bisa berguna untuk melamar
pekerjaan di tempat lain. Satu lagi perubahan mendasar dalam sistem ini
adalah tidak adanya pemberian honor.
Pertama,
surat edaran dikeluarkan oleh Sekretaris Daerah, jabatan karier
tertinggi PNS di daerah, bukan oleh Bupati, jabatan politik tertinggi
di kabupaten. Padahal bupati pun sebenarnya berwenang. Kenapa? Sebagai
jabatan politik maka segala sikap, tindakan, keputusan, dan sebagainya
dilatarbelakangi kalkulasi politik. Dampak perumahan honda ini luar
biasa dengan melibatkan sejumlah massa yang besar, terdiri dari honda
itu sendiri, keluarga, dan kerabatnya. Politik berhubungan dengan
kekuasaaan. Dalam demokrasi kekuasaan diraih dengan pemilihan. Dan
kemenangan pemilihan diraih dengan mayoritas suara. Dengan meminjam
tangan Sekda maka kemarahan honda langsung kepada bupati pun bisa
diminimalkan.
Kedua, sebagaimana disinggung di muka,
bahwa sebenarnya sejak tahun 2005, tepatnya sejak terbitnya PP Nomor 48
Tahun 2005 tanggal 11 November 2005 telah ada larangan mengangkat
honorer. Beberapa kali bupati (baca: bupati era sebelumnya) mengedarkan
surat larangan pengangkatan honda yang ditujukan kepada seluruh kepala
instansi. Namun nyatanya ribuan honda telah diangkat meskipun tidak
oleh bupati sendiri, yakni terutama oleh kepala sekolah. Dengan kata
lain secara resmi pemda tidak mengakui honda, namun kenyataannya honda
memang ada. Maka komprominya, keberadaan honda tidak dihilangkan begitu
saja namun diganti dengan istilah magang yang tidak dibayar.
Ketiga,
adanya kebijakan ini sebenarnya membawa sisi kebaikan dilihat dari mata
masyarakat awam, terutama yang selama ini tertutup aksesnya terhadap
informasi pemerintah. Kalau boleh menilai, rekrutmen honda yang jamak
terjadi saat ini tidak jelas sama sekali. Tidak ada kualifikasi, tidak
ada pengumuman terbuka untuk khalayak, tidak ada seleksi atau tes
masuk, namun tahu-tahu telah terekrut. Dengan demikian adanya kebijakan
magang ini memberi kesempatan yang sama kepada masyarakat untuk mencari
pengalaman kerja. Jelas, meskipun tidak ada bayarannya, pengalaman
kerja membawa manfaat terutama bagi sarjana-sarjana yang baru lulus
kuliah. Akhirnya mimpi bekerja di instansi pemerintah tidak hanya
melulu menjadi domain anak-anak pejabat, orang kaya, dan tim sukses
yang berjasa dalam pilkada. Memang ini dari kacamata orang non honda,
kalau dari kacamata honda tentu saja akan lain.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya