Ulang tahun, ultah, haul, milad, atau harlah, banyak anak, orang, manusia, artis, pejabat, binatang, tumbuhan, jamaah, yayasan, organisasi, atau negara yang merayakannya. Bukannya sombong kalau pas hari ultah saya ada ribuan bahkan jutaan orang ikut merayakannya. Ada-ada saja bentuk perayaannya. Kalau di tingkat lokal sekecil kota Ngawi biasanya ada pertunjukan dangdut di lapangan alun-alun. Di kota-kota besar ada pertunjukan kembang api. Seluruh acara televisi pun berlomba-lomba menampilkan program khusus menyambut hari itu. Apa saya orang yang begitu penting di seluruh dunia hingga hari ultah saya pun juga diperingati banyak orang? Ah tidak. Kebetulan saja karena hari ultah saya pas bertepatan dengan tahun baru, 1 Januari. Itu saja. Nebeng doang perayaannya.
Meskipun saya jarang sekali memperingati secara khusus tanggal kelahiran saya, saya tidak pernah lupa kapan tanggal lahir itu. Yah, karena banyak sekali acara yang membuat saya tidak bisa melupakannya. Tiap orang mengatakan akan merayakan tahun baru, seketika saya langsung teringat kelahiran saya. Seingat saya, peringatan ultah saya itu diacarani satu kali, itu pun waktu saya masih kecil, balita. Yang mengadakan pun ibu saya dengan mengundang teman-teman sepermainan. Saya masih ingat karena saat meniup lilin saya tidak sanggup memadamkannya, karena saking kecilnya saya waktu itu. Gara-gara acara ultah itu teman saya sampai berkelahi. Beberapa hari seusai acara itu ada teman yang membandingkan dengan acara ultah di tempat lain, yang tentunya makanannya lebih enak karena anak orang kaya. Saya sih diam saja tidak menanggapi. Tapi ada teman yang tidak suka ocehannya. Setelah bertengkar mulut akhirnya dilanjutkan dengan adu pukul sampai keduannya mimisan.
Selanjutnya sepertinya saya belum pernah atau mungkin jarang sekali mengadakan acara khusus untuk hari ultah. Kalaupun ada sifatnya spontanitas, jadi tidak menjadi rutinitas. Saat sekolah, teman-teman menodong saya untuk mentraktir makan. Saya pun oke-oke saja, toh menyenangkan teman setahun sekali hitung-hitung berbuat kebajikan. Apalagi nraktirnya pun di warung biasa, bukan di kafe. Waktu itu kafe belum banyak muncul di Madiun.
Kadang-kadang ibu membuatkan nasi kuning untuk dimakan bersama dengan keponakan. Saat sudah berkeluarga istri yang membuatkan nasi kuning, pernah juga membuat masakan untuk eksperimen setelah membaca menu di majalah atau buku resep. Saya dan anak-anak yang jadi kelinci percobaan.
Tahun baru maupun tahun lama bagi saya sama saja. Pokoknya apa yang pernah kita rasakan dan alami, apa yang pernah kita lakukan dan perbuat menjadi bekal evaluasi untuk masa depan. Biasanya pada momen tertentu seperti tahun baru, ada orang-orang yang membuat resolusi. Sederhananya mereka membuat komitmen untuk melakukan perubahan, tentunya ke arah yang lebih baik. Kalau saya, tanpa harus menunggu momen tahun baru, harusnya setiap saat harus berkomitmen untuk berbuat ke arah lebih baik. Setiap hari kita harus bermuhasabah, evaluasi diri. Di tengah keheningan malam menjelang terbitnya fajar sebelum Subuh, seusai sholat tahajud dan witir, saat-saat itulah waktu yang tepat untuk bermuhasabah, sekaligus memanjatkan doa kepada Allah.
Di usia hampir sepertiga abad ini, saya bersyukur dengan apa yang diberikan oleh Allah kepada diri saya. Meskipun ada keinginan yang belum terkabulkan, namun nikmat yang diberikan begitu besarnya. Saya sadar tidak setiap keinginan saya diluluskan. Saya juga sadar tidak setiap doa yang saya panjatkan diwujudkan segera.
Di usia yang setara dengan masa pemerintahan Orde Baru ini Allah telah memberikan amanah untuk memimpin sebuah keluarga, menjadi nahkoda mengarungi samudera kehidupan menuju surgaNya. Anak-anak yang sehat, istri yang mau membantu mencukupi nafkah, gaji tetap tiap bulan yang cukup untuk hidup berlima, tempat tinggal mandiri lepas dari orang tua meskipun masih utang, kendaraan motor sebagai sarana mobilisasi keluarga yang masih mampu dipakai sekaligus untuk saya, istri, dan 3 anak balita (Alhamdulillah sudah lunas).
Di usia yang berkepala tiga ini mudah-mudahan Allah semakin mendewasakan. Dijauhkan dari rasa iri, dengki, hasud. Saya sadar sebagai seorang pegawai negeri biasa penghasilan saya pun biasa-biasa saja. Beda dengan guru yang punya penghasilan 2 kali lipat dari gaji pokoknya. Apalagi jika dibandingkan dengan seorang Gayus Tambunan, jauh banget, meskipun pangkat saya setingkat lebih tinggi daripadanya. Cukuplah dengan keberkahan. Dan nikmat manakah yang akan engkau dustakan? Ya Allah jadikanlah kami hamba-hambaMu yang pandai bersyukur.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya