Bahasa Jawa memang kaya akan
ungkapan. Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana, misalnya.
Kalimat pertama diartikan bahwa setiap orang itu dihargai dan dihormati
karena lidahnya, dalam artian bisa menjaga tutur kata dengan senantiasa
berbicara benar. Sedangkan kalimat kedua, ajining raga saka busana,
diartikan bahwa setiap orang dihargai dan dihormati dari
busana/pakaian/penampilan/atributnya.
Maka ketika
ramai-ramai para honda galau memulai tugas di awal tahun saya ingat
dengan ajining diri saka busana ini. Dan saya berusaha memahami
kegalauan mereka. Galau karena diberhentikan sebagai honda. Galau
karena statusnya dirubah menjadi maganger (kalau bekerja di instansi
pemerintah dengan mendapat honor disebut honorer, maka kalau bekerja
magang boleh dong disebut maganger). Galau karena harus rela tidak
dibayar. Galau karena kontrak kerjanya cuma setahun. Galau karena tak
boleh lagi bekerja dengan pakaian kebanggaan seperti selama ini, alias
berbaju putih bercelana hitam.
Galau yang terakhir
inilah yang tampaknya cocok dengan ajining raga saka busana. Bukan
bermaksud untuk meyakini bahwa ketinggian ilmu atau kemuliaan budi
ditentukan oleh jenis pakaiannya. Ini hanya untuk memberikan gambaran
di tengah-tengah masyarakat yang masih terpukau dengan simbol. Maka tak
heran banyak gadis dan orangtuanya tertipu dengan orang yang menyaru
anggota polisi atau tentara hanya karena mengenakan seragamnya.
Apa
yang ada di benak setelah bertahun-tahun mengenakan seragam selayaknya
pegawai negeri, tapi kini dilarang. Minder, kata sebagian orang. Tak
percaya diri, kata sebagian yang lain. Lho bukankah minder dan tak
percaya diri sama saja tho?! Memang kok, cuma biar tulisannya agak
panjang, :>
Benar kata orang, masyarakat kita masih
percaya dengan simbol. Dengan busana pembalut tubuh. Bahkan melebihi
kepercayaan atas isi dari kepala si pemilik tubuh itu. Maka bisa
dipahami jika seorang dokter yang bekerja magang di puskesmas tidak
dipercayai gara-gara pakaiannya putih hitam. Dikiranya bukan dokter.
Orang takut disuntik, wong tak berseragam putih-putih layaknya dokter.
Perasaan
sama mungkin sama menghinggapi maganger di kantor pemadam kebakaran.
Apa mungkin bisa dengan seragam putih hitam memadamkan api yang
berkobar. Bisa sih bisa, tapi ya itu tadi, masyarakat masih percaya
dengan seragam. Hal yang sama barangkali menghinggapi pula para
maganger yang dulunya bekerja di dinas perhubungan, dinas pasar, satpol
pp, rumah sakit.
Larangan penggunaan seragam layaknya
PNS selain untuk PNS itu sendiri diatur dalam peraturan daerah. Saya
cari di internet belum ketemu. Tapi yang jelas secara nasional
pengaturan seragam PNS Daerah diatur dalam Permendagri Nomor 60 Tahun
2007 jo Permendagri Nomor 53 Tahun 2009. Tidak ada klausul tentang
seragam honda. Ya jelas saja, karena Permendagri itu hanya mengatur
seragam PNS, sehingga satu pun tidak mengatur seragam honda. Tapi juga
tidak ada larangan pemakaian seragam selain PNS.
Kalau
memang pemerintah daerah melarang pemakaian seragam selain bagi PNS
kenapa tidak total sekalian. Kepala desa telah diatur seragamnya dalam
Permendagri Nomor 11 Tahun 2008. Namun perangkat desa selain kepala
desa yang notabene bukan PNS, tetap mereka disuruh berseragam ala PNS.
Bingung kan. Di Kabupaten Mojokerto, bupatinya mengakomodasi hal ini.
PNS, honda, kepala desa, dan perangkat desa diatur seragamnya dalam
peraturan bupati. Pakaian seragam untuk honda diatur sama dengan PNS.
Di
daerah sini saya belum tahu. Memang akhirnya bupati mengambil jalan
kompromi. Khusus untuk tenaga medis dan guru tetap menggunakan seragam
seperti semula tapi tidak boleh memasang atribut sebagaimana seragam
PNS. Kalau begitu sekalian saja semuanya dipersilakan memakai seragam
seperti semula, hanya saja atributnya dilepaskan. Eman-eman seragamnya
tak terpakai lagi. Lalu bagaimana dengan maganger baru. Nah yang ini
yang baru pakai baju putih hitam.
Tapi sebenarnya ada
pertanyaan mendasar yang perlu dijawab. Masih butuhkah pemerintah
daerah akan pegawai baru, sedangkan persediaan pegawai masih besar,
terjadi ketimpangan, dan sorotan etos kerja yang rendah. Kalau tidak,
berarti persoalan seragam telah selesai. Pekerjaan rumah selanjutnya
adalah menyediakan lapangan kerja. Sebenarnya itulah kunci utama dan
jalan keluarnya.
2 komentar:
seragam kadang membingungkan
memang seharusnya pekerjaan rumah yang utama bagaimana pemerintah bisa menyediakan lapangan kerja.
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya