“Nun. Demi pena dan apa yang mereka tulis.” (QS Al-Qalam 1)
Katakanlah: “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku,
maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku,
meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS Al-Kahf 109)
“Seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) setelah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS Luqman 27)
Saya kaget pada suatu kesempatan rapat staf, kepala kantor (sebut saja bos) bercerita kepada semua anak buah tentang gagasan beliau yang menjadi hasil keputusan para bos seprovinsi. Kebetulan juga gagasan itu disampaikan di hadapan utusan beberapa menteri. Yang membuat saya kaget ternyata gagasan itu persis dengan apa yang saya tulis di blog, jauh sebelumnya. Memang dalam rapat itu nama saya tidak disinggung sama sekali (saya tak berharap banyak, tapi sedikit hehehe... enggak kok nggak mikir sejauh itu, saking kagetnya). Namun demikian saya senang karena pikiran saya ternyata sama dengan gagasan bos yang bisa jadi menjadi keputusan nasional (ih GR deh...!).
Bisa jadi kan beliau membaca tulisan saya dan akhirnya terinspirasi. Tapi bisa juga memang itu hasil pikiran orisinalnya. Kalau dirunut secara kronologis saya lebih duluan lho (mudah-mudahan tidak dianggap sombong).
Suatu hari saya dipanggil salah satu pejabat di kantor yang masih bawahan bos, sebut saja sub bos. Ia baru saja diminta oleh bos untuk mengkaji beberapa hal tentang kepegawaian. Akhirnya kami berdiskusi tentang masalah itu. Kebetulan juga saya baru saja membuat beberapa tulisan dan semuanya saya terbitkan di blog. Saya sampaikan pikiran saya sesuai tulisan di blog dan saya berjanji akan segera mencetaknya. Singkat cerita tulisan-tulisan itu disampaikan kepada bos. Saya tak tahu bagaimana ceritanya hingga akhirnya saya mendengar dalam rapat staf tentang persamaan gagasan, beberapa bulan kemudian.
Tak ada maksud saya untuk mengklaim. Menurut saya, apa yang menurut orang terbaik boleh saja mengambil ide yang saya tulis. Saya tak merasa kecolongan. Justru rasa senang yang menghinggapi, karena dengan tulisan bisa menginspirasi pikiran, sikap, dan tindakan orang lain. Sejatinya menulis itu berbagi. Bisa jadi menulis itu bersedekah.
Inilah luar biasanya tulisan. Yang sayangnya, kata sebagian orang, kebiasaan menulis masih jarang dalam budaya kita. Kita masih senang dengan budaya tutur, budaya cerita. Bisa jadi budaya tutur itu punah seiring dengan meninggalnya sang penutur. Namun jika tertulis, hasil karyanya bisa dinikmati hingga anak cucu ratusan tahun kemudian.
Dulu, tak bisa dibayangkan tulisan-tulisan kita hari ini bisa dinikmati oleh manusia sejagat. Dengan apa? Dengan kemajuan teknologi tentunya. Saya pernah berharap mempunyai tulisan yang bisa dimuat di media massa. Dengan dimuat di media massa maka gagasan yang kita tawarkan bisa dinikmati oleh banyak orang. Namun berharap dimuat media massa menuntut banyak hal, salah satunya ketenaran nama penulis. Lalu bagaimana dengan orang-orang pemula yang belum punya nama.
Ternyata blog memberikan solusinya. Tanpa berharap kebaikan hati redaksi media massa atau pihak penerbit buku, tulisan-tulisan kita bisa dibaca oleh orang seluruh dunia. Dengan demikian cerita, pengalaman, gagasan, ide, dan pikiran bisa dibaca banyak orang. Bahkan bisa jadi melebihi pembaca media massa konvensional semacam koran dan majalah.
Menurut Imam Syafi’i, ilmu itu bak hewan gembala, jika tak diikat maka ia akan lari, maka ikatlah ilmu dengan menuliskannya. ”Hewan gembala” kita banyak sekali, itu bisa berupa pengalaman, cerita, gagasan, opini, bahkan foto sekali pun. Sayang bila tak diwujudkan. Ayolah menulis, siapa tahu bermanfaat, siapa tahu menginspirasi orang lain. Tak usah pikirkan (dulu) apa yang mau ditulis, tapi tulislah (dulu) apa yang kamu pikirkan.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya