Victor Silaen, Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan, dalam opininya di Sinar Harapan 29 Mei 2012 mengemukakan keheranannya atas klaim Menteri Agama bahwa Indonesia adalah negara yang paling toleran. Menurutnya, merujuk data dari beberapa lembaga dan LSM, toleransi di negara ini masih jauh panggang dari api. Beberapa data dalam tulisan yang berjudul “Negara Paling Toleran di Dunia?” itu menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2010, setidaknya terjadi 81 kasus intoleransi. Selama 2011, insiden kekerasan terhadap umat Kristen di Indonesia hampir berlipat ganda.
Menurut Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), tahun 2011 terjadi 54 insiden kekerasan terhadap umat Kristen di Indonesia. Umumnya pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia terus naik, dari 198 di tahun 2010 menjadi 276 di tahun 2011. Menurut Compass Direct, Jakarta bahkan mengumbar intoleransi antarumat beragama dengan mengumumkan 36 aturan untuk melarang ritual agama yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sementara itu, Setara Institute menarik kesimpulan, baik pemerintah maupun kelompok tertentu bertanggung jawab atas berbagai insiden kekerasan terhadap umat beragama di luar Islam.
Penelitian The Wahid Institute juga menunjukkan, sepanjang 2011 terjadi 92 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jumlah itu berarti meningkat 18 persen jika dibandingkan dengan peristiwa serupa pada tahun sebelumnya, 62 kasus. Tindakan intoleran beragama dan berkeyakinan juga meningkat menjadi 184 kasus atau meningkat 16 persen ketimbang tahun 2010, 134 kasus. Tindakan intoleran yang paling banyak dilakukan adalah intimidasi dan ancaman kekerasan atas nama agama.
Apa yang menarik dari tulisan di atas serta data-data intoleransi yang disertakan di dalamnya? Asumsi apa yang lahir di benak dengan membaca sebuah opini itu? Sepertinya pelaku utama adalah umat Islam dan korbannya adalah umat Nasrani. Oleh karena itu perlu ada upaya kritis terhadap tulisan tersebut.
Pertama, perilaku intoleransi selalu saja disematkan kepada umat Islam, baik itu dalam pemberitaan media maupun opini, baik itu dinyatakan secara langsung maupun tak langsung, seperti pula dalam tulisan Victor. Memang di sini tidak secara langsung umat Islam menjadi tertuduh, namun jamak diketahui sasaran tembaknya adalah umat Islam. Sedangkan di sisi lain umat Nasrani-lah sebagai korban intoleransi. Korban kekerasan atas nama agama. Korban penderita.
Apakah data di atas turut pula memasukkan umat Islam yang menjadi korban, terutama dari perilaku umat non Islam? Adakah angka yang menunjukkan seberapa besar umat Islam yang menjadi korban kekerasan dari umat beragama lain dalam kaitannya dengan kebebasan melaksanakan ibadah? Saya rasa tidak. Intoleransi atau kekerasan atau apalah namanya hanya menempatkan umat Islam sebagai subyek pelaku, bukan obyek penderita.
Kedua, dengan angka sekian ratus yang diklaim sebagai angka terjadinya intoleransi (terhadap umat Nasrani) menjadikan negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia ini menjadi negara yang tergugat toleransinya. Dengan kata lain umat Islam sebagai kaum mayoritas dinilai gagal menjamin toleransi terhadap umat non Islam, khususnya Nasrani.
Baiklah kita buka data yang lain. Menteri Agama Suryadharma mengatakan bahwa data pembangunan rumah ibadah dari tahun 1977 sampai dengan 2004, gereja Kristen dari 18.977 buah menjadi 43.909 buah atau naik 131,38 persen. Gereja Katolik dari 4.934 menjadi 12.473, naik 152,8 persen. Pura Hindu dari 4.247 menjadi 24.431 atau naik 475,25 persen. Wihara Buddha dari 1.523 menjadi 7.129, naik 368,09 persen. Tidakkah angka ini menunjukkan betapa besar kebebasan beragama (dan beribadah serta membangun tempat peribadatan) diberikan dibandingkan dengan (katakanlah) penyegelan beberapa tempat ibadah umat Nasrani yang memang bermasalah.
Ketiga, benturan umat beragama yang paling sering terjadi di Indonesia adalah antara umat Islam dan Nasrani. Bahkan di Ambon sempat terjadi ”perang” antara kubu putih (diidentikkan dengan Islam) dan kubu merah (diidentikkan dengan Nasrani). Namun anehnya, jarang bahkan hampir tidak ada benturan antara umat Islam dengan umat Budha dan Hindu. Kalaupun ada itu tidak dilandasi karena alasan agama.
Kalau memang umat Islam (dianggap) tidak toleran maka seharusnya terhadap umat agama lain juga mendapatkan perlakuan yang sama. Namun ternyata tidak. Kenapa hanya dengan umat Nasrani di Indonesia saja umat Islam berbenturan? Semestinya pertanyaan ini dijawab dengan jujur, tidak hanya untuk umat Islam saja.
Keempat, peristiwa penutupan/penyegelan gereja dan kekerasan terhadap sebagian umat Nasrani merupakan efek saja. Itu hanya akibat. Ada sebab utama yang sayangnya tak pernah diungkap terutama oleh media. Menurut umat Islam, ada kecurigaan yang teramat mendalam atas proyek kristenisasi. Ini bukanlah mitos namun realitas. Akan tetapi terus saja banyak pihak yang menolak bahkan menutup-nutupi.
Umat Islam tidak rela saudara-saudaranya seiman hanya gara-gara pemberian bantuan finansial (kalau dulu terkenal dengan bantuan Supermi) pindah haluan kepercayaan. Diyakini yang paling aktif menggalakkan upaya pemurtadan itu adalah umat Nasrani. Dengan demikian benturan pun terjadi di antara umat keduanya. Sedangkan umat Budha dan Hindu tak ada atau kalaupun ada tak segetol umat Nasrani. Oleh karena itu tak dikenal pula istilah Budhaisasi atau Hinduisasi. Ini pula yang barangkali menjelaskan jarang terjadi benturan antara umat Islam dan umat Budha/Hindu.
Menurut kamus Bahasa Indonesia, toleran berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Islam sendiri menganjurkan umatnya untuk bersikap toleran. Tentu saja ini sebatas pada hubungan kemanusiaan. Hubungan sosial kemasyarakatan. Sedangkan dari segi aqidah ada garis batas tegas sesuai petunjuk Allah dalam QS Al Kafirun, ”Bagimu agamamu, bagiku agamaku!”
Silakan saja umat beragama lain termasuk Nasrani beribadah seluas-luasnya. Silakan saja mengajak umatnya masing-masing berbuat kebajikan. Silakan saja sebebas-bebasnya, menyembah Tuhan yang diyakininya. Namun kebebasan ini bukanlah kebebasan yang menyakiti umat beragama lain.
Tak akan ada asap tanpa adanya api. Tiada ranting tanpa dahan. Tiada batang tanpa akar. Kalaupun ada reaksi penyegelan tempat ibadah berarti ada aksi yang mendahului. Umat Islam bukanlah umat yang suka mencari gara-gara. Mereka tak akan menyakiti bila tak disakiti. Kalau tahu betapa sakitnya disakiti, maka janganlah coba-coba menyakiti.
Dalam bangsa yang majemuk ini memang sangat perlu adanya sikap toleran. Yang mayoritas menghormati yang minoritas, yang minoritas menghargai yang mayoritas. Yang mayoritas menyayangi yang minoritas, yang minoritas mengasihi yang mayoritas Tanpa itu pecahlan keutuhan negeri ini. Amat lucu kalau sesama penganut agama memecah belah persatuan.
Dulu di awal kemerdekaan umat Islam merelakan dasar negara bukanlah Islam. Konon kabarnya ada tokoh-tokoh dari Indonesia timur yang mengancam keluar dari Indonesia jika dasar negara adalah Islam. Lalu, pencoretan kata-kata, ”... dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada sila pertama Pancasila menunjukkan betapa besar rasa toleran umat Islam. Akhirnya bunyi sila pertama Pancasila menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Esa berarti tunggal, satu, tidak dua, apalagi tiga. Padahal agama yang (menurut Islam) meyakini Tuhannya lebih dari satu pun diberikan kebebasan hidup di negeri ini, yang mestinya tidak sesuai dengan keesaan Tuhan. Maka umat Islam pun masih toleran, dalam arti toleran dengan membiarkannya.
Lalu siapa yang sebenarnya tidak toleran? Siapa yang menyebabkan terjadinya intoleransi? Siapa yang menyebabkan munculnya kekerasan atas nama agama?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Anda bicara tentang subyek yang intoleran/toleran, padahal saya bicara tentang Indonesia yang tidak layak sama sekali dikategorikan sebagai negara paling toleran sedunia. Lucu...
Bagaimana dengan Indonesia menuju Negara Gagal? Tidakkah itu )antara lain) karena negara ini membiarkan saja kasus-kasus kekerasan atas nama agama terjadi?
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya