Pernah suatu ketika seorang pejabat tinggi negara marah di tempat umum. Sebut saja beliau DI. Gara-garanya pada pagi hari Pak DI terjebak kemacetan di depan gerbang tol. Padahal hari itu beliau harus menghadiri rapat yang amat penting. Selidik punya selidik ternyata penyebabnya adalah tidak semua pintu tol terbuka. Padahal keberadaan pintu tol dibuat untuk melancarkan arus lalu lintas. Dengan semakin banyaknya pintu tol semakin banyak pula kendaraan yang masuk ke jalan tol, dengan demikian kemacetan akibatnya antrenya kendaraan yang akan masuk jalan tol terkurangi. Saking marahnya dihampirilah salah satu loket tol yang kosong melompong karena petugas belum datang. Kursi yang yang ada di situ dibuang keluar. Selanjutnya bak polisi lalu lintas Pak DI memerintahkan mobil-mobil yang antre segera melalui gerbang tol. Gratis, tak usah membayar. Arus lalu lintas pun lancar.
Tak berselang lama pejabat tinggi yang lain juga melakukan kemarahan. Inisialnya juga sama, DI. Ceritanya pada malam hari, dengan sepasukan polisi dan petugas Badan Narkoba Nasional (BNN) beliau merazia sebuah Lembaga Pemasyarakatan (LP). Karena pintu gerbang LP lama tak dibuka, marahlah orang-orang ini. Seketika, saat gerbang mulai terbuka terjadilah pemukulan terhadap sipir. Selanjutnya, sesuai tujuan razia, ditemukan narkoba di dalam LP. Beberapa tahanan dan sipir penjara diciduk, dibawa pergi.
Dari dua peristiwa di atas, yakni marahnya dua DI, jadilah berita sensasional di media massa. Namun perlakuannya tidak sama. DI yang pertama mendapat simpati. Sedangkan DI yang kedua banyak mendapat kecaman. DI yang pertama marah sampai membanting pintu loket tol. DI yang kedua marah hingga memukul sipir penjara, meski membantah memukul. Walau DI pertama bertindak ”anarkis”, ribuan pujian datang menghampiri. Sedangkan DI yang kedua, kesuksesan membongkar jaringan pengedar narkoba di LP berbuah kecaman banyak kalangan, bahkan sebagai bentuk solidaritas para pegawai LP di berbagai tempat mengancam aksi boikot.
Siapakah kedua DI itu? DI yang pertama adalah Pak Dahlan Iskan, Menteri BUMN. Sedangkan DI yang kedua adalah Pak Denni Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan HAM. Kemarahan keduanya ternyata tidak berbuah sama. Yang satu manis, yang satu pahit. Apa jadinya ya jika keduanya bertukar posisi. Akankah keduanya menghasilkan buah yang sama dengan sebelumnya. Misalnya Pak Dahlan Iskan yang merazia LP tengah malam, lalu Pak Deni Indrayana membanting kursi loket tol. Saya rasa buah itu tidak mengikuti peristiwanya, namun pelakunya. Artinya, bagaimanapun Pah Dahlan akan tetap berbuah manis, sedangkan Pak Denni sebaliknya, pahit. Di samping itu juga tidak lucu, masak Menteri BUMN ikut-ikutan merazia LP, sedangkan pejabat tinggi hukum membanting kursi. Saran saya, mestinya Pak Denni waktu merazia LP itu mengajak Pak Dahlan, haqqul yaqqin akan berbuah manis :>
Pelajaran apa yang kita dapat dari Pak Dahlan? Betapa pentingnya media. Dengan media-lah masyarakat mengetahui berbagai informasi. Kita mengetahui sepak terjang kedua DI juga melalui media. Dan, faktanya media juga turut menciptakan persepsi. Kedua pejabat tinggi negara yang sedang marah dipersepsikan kepada khalayak secara berbeda oleh media. Maka, opini di tengah-tengah masyarakat mengamini.
Pak Dahlan sungguh beruntung karena selama ini media hampir tidak pernah menyorot negatif kepadanya. Bahkan hal yang kecil sekalipun darinya, mendapatkan proporsi yang istimewa. Ini jika disandingkan dengan kebiasaan para pejabat tinggi lainnya di tingkat nasional, misalnya menteri, wakil menteri, atau anggota dewan. Naik ojeknya Pak Dahlan pada satu hari segera menjadi berita utama media massa. Padahal ada pula wakil menteri yang biasa menggunakan angkot untuk pergi ke kantornya, sama sekali tidak menjadi perbincangan. Bandingkan, satu hari naik ojek dengan setiap hari naik angkot. Ada pula anggota dewan yang ke mana-mana naik motor butut. Apa pedulinya media?
Saat Pak Dahlan menginap satu malam di rumah petani Sragen, maka segera saja jadi headline media massa. Media membangun persepsi bahwa beliau peduli dengan rakyat kecil. Mau berbagi dengan mereka, makan bersama dengan makanan mereka, tidur di tempat sama yang biasa dipakai mereka. Intinya merakyat. Persepsi lain yang sedang dibangun, berarti menteri yang lain tidak merakyat. Kenapa? Karena tidak ada informasi terhadap menteri lain yang melakukan kegiatan serupa. Demikian pula saat Pak Dahlan bagi-bagi sembako, iklan setengah halaman terpampang di media massa. Menteri lain? Bakal dituduh sekadar mencari simpati, pencitraan, menyalahgunakan jabatan.
Kita mesti belajar pada Pah Dahlan, terutama para pejabat yang ingin mengharap simpati rakyat. Dalam konteks inilah pepatah lama dari Arab begitu relevan, belajarlah hingga ke negeri Cina. Paling tidak, kalau tak sempat ke Cina ya belajar pada hati Cina. Soalnya hati Pak Dahlan telah berganti alias dicangkok dengan hati orang Cina (baca: Tiongkok). Hehehe...
Ada tiga alasan Pak Dahlan berhasil merebut hati masyarakat. Pertama, sederhana meskipun ia telah kaya. (Sepertinya) sederhana pula cara beliau mengatasi sebagian persoalan bangsa. Perhatikan saja saat beliau menjabat Dirut PLN (jabatannya sebelum jadi menteri). Dari tulisan-tulisannya yang rutin tersebar di sebuah media massa bisa diambil pelajaran seakan mudah saja menyelesaikan persoalan pelik di tubuh PLN. Bahasanya enak dihayati. Dengan perjalanan mengunjungi daerah-daerah di nusantara dibukalah ruang diskusi dengan orang-orang lapangan PLN. Dalam semalam lahirlah jawaban. Padahal bertahun-tahun dan berganti-ganti direktur utama, PLN seakan tak lepas dari masalah.
Kedua, tidak berlatar belakang politik (bukan berasal dari partai politik). Kita mafhum bahwa orang politik berorientasi kekuasaaan. Memang begitulah tujuan dibentuknya partai politik. Sebagai wadah politisi untuk meraih kekuasaan negara dengan jalan sah. Orang mengenal Pak Dahlan bukan sebagai politisi, tapi orang media. Sejak muda beliau adalah wartawan, hingga akhirnya memiliki Jawa Pos Group yang mengakar hingga ke daerah. Beliau juga seorang pengusaha. Dengan demikian orang menilainya sebagai pejabat tanpa pamrih.
Ketiga, peran media. Alasan terakhir inilah yang paling penting. Tanpa media apa pula yang bisa kita sampaikan, bagaimana pula orang-orang tahu pekerjaan kita. Berharap media mau menayangkan segala kiprah kita bisa jadi sulit, maka yang paling mudah adalah menciptakan media itu sendiri. Saat ini, saya rasa, Pak Dahlan tengah memanen. Tengah menikmati hasil. Bertahun-tahun lalu dengan bersusah payah beliau membuka lahan, mengolah tanah, membajak, menabur benih, menyiram, memupuk, menyiangi, merawat hingga akhirnya media itu tumbuh subur. Jawa Pos, tanaman itu. Kini Pak Dahlan panen raya dengan pemberitaan positif Jawa Pos. Bahkan secara rutin beliau mengisi kolom di halaman depan. Motto beliau saat awal menjadi menteri yakni kerja kerja kerja, secara rutin terpampang pula di Jawa Pos. Juga di halaman depan.
Tinggal sekarang akankah Pak Dahlan tergoda untuk memasuki gelanggang politik. Arena yang terbuka adalah pemilihan presiden, wakil presiden, atau paling tidak menjadi pengurus partai politik. Saat ini namanya muncul pula pada survei beberapa lembaga sebagai capres atau cawapres. Beberapa bos media telah memasuki gelanggang politik dan tentu saja memanfaatkan medianya untuk membangun citra dan komunikasi. Sebut saja Surya Paloh, Aburizal Bakrie, dan Hary Tanoesoedijo. Media Group (Media Indonesia, Metro TV), tvOne, MNC (RCTI, Global TV, MNC TV, Seputar Indonesia) bakal bersaing meraih simpati. Belum lagi isunya Chairul Tanjung (Trans TV, Trans 7) merapat ke Cikeas. Akankah Jawa Pos ikut serta dalam gelanggang itu? 2014 tampaknya semakin dekat, lho.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Pengalaman yang mengasyikkan bos :)
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya