Setidaknya dalam satu bulan terakhir dua orang bule menghebohkan negeri Indonesia. Setiap hari pemberitaan di media massa, baik cetak maupun elektronik tak henti-hentinya memuat. Opini yang terpampang di media yang ditulis oleh orang-orang pun beragam, baik yang pro maupun yang kontra. Latar belakang penulis pun beragam. Ada yang berasal dari akademisi, agamawan, seniman, budayawan, pegiat LSM, mahasiswa, anggota dewan, ahli hukum. Di jejaring media sosial kegaduhan tak ketinggalan menyeruak, bahkan lebih luas lagi. Diskusi dan bantah-membantah tak hanya milik orang-orang yang telah punya nama.
Dua orang bule yang kebetulan keduanya sama-sama perempuan itu adalah Lady Gaga dan Schapelle Corby. Yang satu terkenal sebagai artis, satunya lagi terkenal karena kasus narkoba. Lady Gaga berasal dari Amerika Serikat, sedangkan Corby adalah orang Australia.
Menurut situs Wikipedia, Lady Gaga bernama asli Stefani Joanne Angelina Germanotta, lahir di Amerika Serikat pada tanggal 28 Maret 1986. Ia seorang penyanyi pop. Gaga menjadi terkenal setelah merilis album debutnya The Fame (2008), yang sukses baik secara kritik maupun komersial dan meraih popularitas internasional. Kontribusinya terhadap industri musik telah mengumpulkan banyak prestasi.
Rencana konsernya di Indonesia pada tahun ini menjadi pro kontra. Sebagian kalangan menolak kedatangannya dengan berbagai alasan antara lain penampilan dalam setiap konsernya selalu menampakkan aurat dan meliukkan tarian erotis. Hal ini dianggap tidak cocok dengan budaya Indonesia dan ajaran agama Islam yang dianut mayoritas masyarakat. Alasan-alasan yang lain adalah bahwa ia dituduh sebagai pemuja setan, penyebar gaya hidup lesbian, penyeru seks bebas, penghina agama, perusak moral dan pemikiran kaum muda.
Sedangkan Corby, yang menurut situs Wikipedia pula, bernama asli Schapelle Leigh Corby, lahir pada 10 Juli 1977, adalah seorang mantan pelajar sekolah kecantikan dari Brisbane, Australia yang ditangkap membawa obat terlarang di dalam tasnya di Bandara Ngurah Rai, Denpasar pada 8 Oktober 2004. Dalam tas Corby ditemukan 4,2 kg ganja. Ia akhirnya divonis hukuman penjara selama 20 tahun pada 27 Mei 2005. Selain itu, ia juga didenda sebesar Rp100 juta. Kemudian pada 12 Oktober 2005, setelah melalui banding, hukuman Corby dikurangi lima tahun menjadi 15 tahun. Pada 12 Januari 2006, melalui putusan kasasi, MA memvonis Corby kembali menjadi 20 tahun penjara, dengan dasar bahwa narkotika yang diselundupkan Corby tergolong kelas I yang berbahaya. Saat itu beritanya begitu ramai hingga ia pun dijuluki sebagai Ratu Narkoba.
Kasusnya menjadi makin kontroversial ketika Presiden SBY pada tahun ini memberikan grasi kepadanya. Ini adalah sejarah karena sepanjang kemerdekaan Indonesia baru kali inilah untuk pertama kalinya presiden memberikan grasi kepada seorang narapidana narkoba. Di sisi lain pemerintah sedang menggembar-gemborkan perang melawan narkoba.
Tulisan ini tidak untuk menambah kegaduhan yang terlanjur muncul di tengah-tengah masyarakat. Sudah puluhan opini dari berbagai kalangan yang menghiasi koran. Sudah begitu banyak diskusi hangat di televisi. Sudah ribuan komentar yang ditulis di situs jejaring sosial. Tak terhitung banyaknya demo di jalanan. Toh, Lady Gaga tak jadi berkunjung ke Indonesia. Dan toh, hak prerogratif presiden atas grasi Ratu Narkoba tak goyah oleh omongan.
Tulisan ini sekadar menanggapi tulisan yang sempat termuat sebagai opini di media massa. Bukan isinya yang menjadikan menarik untuk ditanggapi, namun pemuatan ulang sebuah tulisan dalam dua media massa yang berbeda yang sepertinya menarik untuk dikaji.
Tanggal 23 Mei 2012 Jawa Pos menayangkan tulisan berjudul ”Berkah Kontroversi Lady Gaga”. Lalu tanggal 24 Mei 2012 Republika menampilkan opini berjudul ”Virus Gaga”. Ditilik dari judulnya artikel tersebut membahas tentang Lady Gaga. Betul. Tapi sekali lagi tulisan ini tidak membahas substansi tulisan tersebut. Terpampang penulis kedua artikel adalah Joko Wahyono, Peneliti pada Center for Indonesian Political Studies (CIPS) Yogyakarta.
Dua tulisan yang termuat dalam dua media massa tersebut berselisih satu hari. Dan ternyata isinya sama. Artinya tak hanya sekadar kesamaan dalam membahas sebuah persoalan, namun juga substasinya, bahkan kalimat-kalimat di dalamnya. Memang, kalimat pembuka di kedua tulisan berbeda, namun selebihnya sama persis.
Pada tanggal 28 Mei 2012 Koran Tempo menurunkan opini berjudul ”Saling Garuk di Belakang Corby”. Selanjutnya (lagi-lagi) Jawa Pos pada tanggal yang sama menayangkan artikel berjudul ”Saat SBY Menjadi Hakim”. Kedua tulisan yang sama-sama membahas tentang kontroversi turunnya grasi atas Corby tersebut ditulis oleh Reza Indragiri Amriel, Dosen Psikologi Forensik Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Tulisan di kedua media massa itu pun isinya sama persis, hanya paragraf terakhir yang berbeda. Kalimat awal hingga isi berikutnya sama.
Sepertinya orang yang mengirim tulisan tentang Lady Gaga dan dimuat di Jawa Pos itu orang yang sama dengan yang tulisannya termuat di Republika. Kedua tulisan mencantumkan nama Joko Wahyono sebagai penulisnya, seorang peneliti CIPS. Kemungkin yang amat kecil apabila ada dua orang yang bernama sama bekerja sebagai peneliti dengan lembaga yang bernama sama. Demikian juga hampir tak mungkin ada dua dosen di Universitas Binus dengan nama yang sama yakni Reza Indragiri Amriel. Kemungkin besar orang itu memang orang yang sama. Kesimpulannya keduanya mengirim tulisan yang sama pada dua media yang berbeda (mungkin lebih tapi selebihnya tidak dimuat).
Peristiwa termuatnya dua tulisan yang sama di dua media yang berbeda mengingatkan kita pada kasus plagiat beberapa saat yang lalu. Di awal tahun ini juga, seorang anggota dewan yang kebetulan Ketua Fraksi PKB, Marwan Ja’far dituduh melakukan plagiatisme. Tulisannya yang dimuat di Koran Tempo yang membahas tentang Libya ternyata sebagian besar isinya sama dengan tulisan Jusman Dalle. Tulisan Jusman Dalle sendiri sebelumnya telah termuat di situs detik.com dan situs okezone.
Tapi perlu diingat repetisi bukanlah plagiat. Amat gegabah memang jika menganggap bahwa pengulangan tulisan disamakan dengan pencotekan. Namun demikian sepertinya ada kesamaan yakni pengabaian standar penulisan di media massa. Hanya saja yang membedakan adalah derajat pengabaiannya. Juga dampak bagi pelakunya.
Oleh beberapa media seorang yang ketahuan sebagai plagiator biasanya dicekal. Naskah tulisannya tak akan mendapatkan ruang di media. Ia dianggap penjahat intelektual. Namun pengulang tulisan bukanlah penjahat. Ia bersusah payah, berpikir, menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan, lalu mengirimkannya ke media massa. Itu karya orisinal dirinya sendiri. Hanya saja ia mengirimkannya tidak hanya satu, tapi lebih.
Apa maksudnya? Apa tujuannya? Berpikir positif sepertinya lebih baik daripada menuduh yang bukan-bukan. Pertama, membuka peluang dimuatnya tulisan di media massa. Dengan mengirim opini ke beberapa media massa maka peluang untuk dimuat lebih besar daripada bila mengirim ke satu media massa saja. Siapa tahu, pada media yang satu tidak dimuat, namun pada media yang lain berhasil.
Kedua, asumsikan saja tidak ada larangan mengirimkan tulisan pada beberapa media massa meskipun isi tulisan itu sama. Yang tak boleh adalah plagiat yakni menulis opini kepunyaan orang lain kemudian diklaim sebagai hasil karyanya sendiri. Selain itu yang tak boleh adalah mengirimkan ulang tulisan yang pernah dimuat di sebuah media massa ke media massa lain.
Ketiga, ada harapan segenap lapisan masyarakat akan tercerahkan dengan opini yang kita buat. Biasanya setiap media massa mempunyai segmen pembaca tertentu. Mereka juga memiliki pelanggan yang kebanyakan hanya berlangganan media massa itu pula. Masih belum banyak pelanggan yang berlangganan lebih dari satu media massa. Dengan tertayangnya tulisan di berbagai media massa masyarakat semakin mengetahui ide, gagasan, dan wacana yang kita tawarkan.
Sekarang tinggal pihak redaksi media massa. Bolehkah repetisi ditoleransi. Memang alasan banyaknya tulisan yang masuk membikin pihak media massa kesulitan untuk mendeteksi. Maka diperlukanlah kontrol dari masyarakat. Diperlukan masukan dari pembaca. Teknologi semakin memudahkan kita dalam kehidupan, termasuk akses mendapatkan informasi melalui media massa, termasuk untuk mengetahui pengulangan tulisan.
Tulisan ini bukanlah bentuk penghakiman orang-orang yang (saya yakin) terbiasa mengirimkan opini di media massa, dan sukses dimuat. Bukan pula menyebarkan aib di hadapan khalayak (kalau memang merasakan repetisi sebagai aib). Ini sekadar perenungan bersama. Terus terang, ”meniru” aksi penulis-penulis sebelumnya yang sukses termuat opininya, tulisan ini dikirim kepada media yang menerima repetisi seperti disinggung di muka. Kalaupun dimuat, tak usahlah disediakan honor, karena sudah ada keterusterangan di awal bahwa tulisan ini dikirim ke beberapa media. Namun kalaupun ada honornya, sumbangkan saja pada lembaga yang menangani korban keganasan Ratu Narkoba atau Ratu Erotika.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya