Undang-undang kepegawaian mengamanatkan bahwa jika PNS dihukum penjara berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena dengan sengaja melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 4 tahun atau lebih dapat diberhentikan sebagai PNS. Hal ini ditegaskan pula dalam PP Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS. Pemberhentian sebagai PNS karena dihukum penjara di atas pilihannya ada dua yakni dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat. Tapi itu pun sifatnya tidak wajib, karena masih ada pilihan lain yakni dengan tidak memberhentikannya sama sekali.
Pertimbangan untuk diberhentikan atau tidak, atau diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat perlu memperhatikan faktor-faktor yang mendorong PNS melakukan tindak pidana serta berat ringannya keputusan pengadilan yang dijatuhkan. Kalaupun akhirnya tidak diberhentikan maka untuk membangun kepercayaan masyarakat biasanya PNS tersebut dikenai hukuman disiplin. Misalnya perjudian dikenai sanksi pembebasan jabatan, perzinaan dikenai sanksi penurunan pangkat, pencurian dikenai sanksi penundaan kenaikan gaji berkala. Besar kecilnya tingkat hukuman tidak sama antar institusi, tergantung bagaimana menerjemahkan arti melanggar peraturan disiplin. Kini hukuman disiplin diatur dalam PP Nomor 53 tahun 2010. PP disiplin ini bisa jadi merupakan ”jalan” untuk menolong agar PNS yang terkena kasus pidana tidak seketika dipecat.
Jadi singkatnya begini. Ketika ada kasus pidana yang melibatkan PNS maka pejabat yang berwenang dihadapkan pada dua pilihan. Mau menggunakan PP pemberhentian atau PP disiplin. Kalau dia mau ”menyikat” PNS-nya maka bisa digunakan PP pemberhentian (PP 32/1979). Maka dipecatlah PNS itu. Tapi kalau dia mau ”menolong” PNS-nya dan sekaligus tetap menjaga kewibawaan pemerintah maka bisa menggunakan PP disiplin (PP 53/2010).
Ada sebuah celah dalam PP 53/2010 yang memungkinkan terjadinya main mata antara pejabat yang berwenang dan PNS yang akan dijatuhi hukuman disiplin. Pejabat yang berwenang itu mungkin adalah atasan langsung atau mungkin pula pejabat yang masih dalam satu kantor (atasan dari atasan langsungnya atau mungkin pula kepala kantor). Kasus pidananya dilokalisasi hanya sebatas di kantor saja. Tidak merembet sampai di luar. Peraturan disiplin ternyata masih menyisakan pasal karet pula. Dengan berdalih bahwa kewenangan menghukum masih berada di tangannya maka segala proses segera dilakukan termasuk penjatuhan sanksi.
Misalnya begini. PNS dipidana penjara 6 bulan karena kasus penipuan. Selama 6 bulan itu ia absen dari aktivitas kantor. Setelah selesai menjalani hukuman pidana ia kembali masuk kerja. Karena ancaman hukuman dalam kasus penipuan adalah 4 tahun maka berdasarkan PP 32/1979 ia semestinya dapat dipecat. Namun kantornya memutuskan tidak memecat karena sifatnya memang tidak mutlak. Masih ada peluang dengan adanya kata ”dapat”. Tetapi berhubung kasusnya terlanjur masuk koran maka banyak orang yang mengetahui. Untuk menghindari pertanyaan di masyarakat maka diproseslah kasus tersebut dengan PP 53/2010.
Proses tersebut sekaligus ”menolong” si PNS agar tidak dijatuhi sanksi berat. PP 53/2010 memberikan kewenangan kepada atasan langsung untuk menjatuhkan sanksi kepada anak buahnya, tentunya dengan memperhatikan pangkat yang disandang. Dengan kewenangan inilah dimungkinkan terjadinya ”main mata”. Sebelum pihak lain mengungkit-ungkit maka segeralah diturunkan sanksi berupa sanksi tingkat ringan. Sanksi tingkat ringan itu berupa teguran lisan, teguran tertulis, atau pernyataan tidak puas secara tertulis. Pejabat yang berwenang tinggal memilih salah satunya. Begitu si PNS terkena sanksi maka tak boleh ada yang mengungkit-ungkit lagi. Pimpinan tertinggi di institusi pun tak boleh memberikan sanksi lagi dengan tingkat yang lebih berat dalam kasus tersebut. Ingat dengan asas nebis in idem. Seseorang hanya dapat diperiksa dan dihukum dengan hukuman satu kali dalam kasus yang sama.
Selesai perkara. Aman. Si PNS selamat karena tidak mendapat sanksi yang berat. Pejabat yang menghukum juga merasa telah menjalankan kewajibannya. Tentu saja masyarakat akan nggrundel, masak PNS yang baru saja mendekam di balik jeruji cuma diberi sanksi ringan oleh atasannya. Tapi mereka tak bisa berbuat banyak. Bupati atau walikota sebagai pejabat pembina kepegawaian juga tak bisa merubah keputusan karena tak ada kewenangan.
PP 53/2010 memang tidak memberi peluang perubahan terhadap keputusan hukuman disiplin dalam kasus seperti di atas. Ini berbeda dengan PP Nomor 30 Tahun 1980, peraturan disiplin PNS sebelum berlakunya PP 53/2010. PP 30/1980 itu kini sudah tak berlaku lagi.
Dalam PP 30/1980 disebutkan bahwa apabila ada bukti dan alasan-alasan yang kuat, pejabat yang berwenang dapat meninjau kembali hukuman disiplin yang telah dijatuhkan oleh pejabat bawahannya dalam lingkungan masing-masing. Ketentuan seperti ini tidak ada dalam PP 53/2010. Artinya meskipun ditengarai ada hal-hal yang tidak wajar mengenai penjatuhan hukuman disiplin, keputusan hukuman tidak dapat lagi diperbaiki. Itulah harga yang mesti diterima semua pihak, meskipun kadangkala tidak mencerminkan keadilan karena ringannya sanksi.
Memang Pasal 37 PP 53/2010 menyebutkan bahwa atasan pejabat yang berwenang menghukum dapat memperkuat, memperingan, memperberat, atau membatalkan hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang menghukum yang ditetapkan dengan keputusan. Keputusan itu bersifat final dan mengikat artinya tidak dapat diajukan keberatan dan wajib dilaksanakan. Tetapi patut diingat bahwa Pasal 37 itu harus dibaca keseluruhan dengan pasal-pasal lain karena tidak berdiri sendiri.
Pasal 37 masuk dalam Bab IV Upaya Administratif. Bab IV ini terdiri dari Pasal 32 sampai dengan Pasal 42. Intinya adalah memberikan kesempatan kepada PNS yang dijatuhi sanksi apabila tidak puas dapat melakukan upaya administratif berupa keberatan kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum atau banding administratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian (Bapek). Apabila tidak ada upaya administratif itu maka PNS yang bersangkutan telah menerima sanksi. Dengan demikian tidak ada lagi pihak yang dapat mempermasalahkan keputusan hukuman disiplin. Atasan pejabat yang berwenang menghukum dan Bapek harus bersikap pasif. Ia tidak boleh mencampuri keputusan yang telah dijatuhkan. Tidak boleh ada inisiatif atau intervensi merubah keputusan sanksi selama tidak ada upaya administratif dari pihak terhukum. Tentu saja PNS yang terkena sanksi ringan menerima saja keputusan atas dirinya. Sudah untung tidak diberi sanksi tingkat sedang atau berat apalagi dipecat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
4 komentar:
Terima kasih banyak Bro atas artikelnya yang sangat komprehensif...
misalkan penipuan terkait jabatannya bukankan sudah harus diberhentikan ? (pasal 9 PP 32 th 1979)tanpa memandang lama masa hukuman
di kota kami PNS diberikan tunjangan Kesra.. tapi permasalahan yang saya hadapi setelah selesai menjalani hukuma pidana, saya masih bekerja seperti biasa dengan mendapat gaji. tetapi tunjangan Kesra tidak saya trima. Padahal ada kptsan keapla daerah bhw PNS yang mejalani hukuman tidak diberikan tunjangan kesra sedangkan saya telah bebas dan bekerja sebagaimana mestinya
pertanyaannya : apakah dengan tidak diberikannya tunjangan kesra merupakan bagian dari sanksi administrasi ?
@inda khristin: saya belum menemukan aturan tentang hukuman disiplin berupa pemberhentian tunjangan. dlm pp 4/1966 memang diatur jika pns ditahan dalam kasus pidana maka ia diberhentikan sementara dari jabatan negeri dg konsekuensi bagian gaji yg dibayarkan hanya 50% atau 75%, tapi ini bukanlah bentuk hukuman disiplin. jika sdh bebas keputusan pemberhentian sementara tsb dibatalkan. selanjutnya pns menjalani pemeriksaan, baru dikasih sanksi/hukuman disiplin.
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya