Sejumlah anggota DPR dari Komisi I melakukan kunjungan kerja ke luar negeri, yakni Jerman. Berita seperti ini sepertinya sudah dianggap biasa saja. Wajar. Umum. Orang tak peduli mau kemana wakil rakyat terhormat bepergian. Dengan kata lain mau apa kek, ingin apa kek, sudah banyak yang cuek. Meski sering disorot, toh kafilah tetap berlalu meninggalkan si rakyat yang capek menggonggong terus.
Tapi yang menarik dari kunjungan Komisi I itu adalah adanya penolakan dari PPI (Persatuan Pelajar Indonesia). Anggota DPR yang berkunjung ke Jerman diprotes oleh para mahasiswa dan pelajar Indonesia yang sedang menempuh studi di sana. Intinya, kunjungan kerja anggota DPR merupakan bentuk pemborosan, merepotkan pihak KBRI, dan mestinya bisa dilakukan dengan mengandalkan teknologi yang kini tak asing lagi semisal teleconference. Parahnya, dalam kunker ini (dan seperti sebelum-sebelumnya) para anggota dewan mengajak keluarganya.
Kunjungan kerja anggota dewan di era reformasi memang seolah menjadi primadona. Alasannya untuk studi banding, konsultasi, bimbingan teknis, mencari bahan untuk membuat regulasi, dan mungkin juga tebersit (meski tidak tertulis di atas kertas) keinginan untuk pelesir dan menambah kocek. Tak cuma di pusat, mereka yang di daerah pun sama saja. Kalau yang di pusat favoritnya adalah luar negeri, sedangkan yang di daerah biasanya ke Jakarta, Batam, atau Bali. Atau tempat-tempat lain yang menggoda untuk berwisata dan berbelanja.
Saya baca di media, para anggota dewan salah satu kota yang merupakan ibukota salah satu provinsi di pulau Jawa sering melakukan kunker ke luar kota hampir secara bersamaan. Bisa dipastikan kantor dewan menjadi sepi. Mulanya Komisi A, berikutnya Komisi B, begitu seterusnya. Lalu bagaimana dengan Ngawi?
Pertengahan Maret 2012 seluruh anggota dewan Ngawi berkunjung ke Jakarta selama beberapa hari. Rombongan mengikuti workshop/pembekalan penyelesaian kerugian daerah di dua tempat berbeda, yakni BPKP dan Kementerian Dalam Negeri. Menurut ketua dewan, tujuan diadakan kegiatan ini adalah untuk menambah wawasan seluruh anggota dewan mengingat permasalahan keuangan yang mendera daerah. Saat ini permasalahan di Ngawi antara lain kasus tagihan macet di koperasi, tunjangan komunikasi intensif, asuransi kedewanan, belanja pegawai yang amat besar di APBD. Praktis dengan berangkatnya seluruh wakil rakyat ke Jakarta itu, suasana gedung dewan menjadi sepi.
Berapa anggaran yang dibutuhkan untuk acara itu? Sayang masyarakat tidak memiliki akses untuk melihatnya. Saya, Anda, kita tak pernah tahu berapa rupiah yang dibutuhkan dan berapa yang dibelanjakan. Tapi saya coba perkirakan saja.
Sebut saja jumlah anggota dewan semuanya ada 45 orang, 3 diantaranya menjabat sebagai pimpinan, dengan demikian sisanya yang non pimpinan 42. Antara anggota dan pimpinan ada perbedaan standar harga. Kalau anggota itu standarnya sama dengan pejabat eselon II yakni Kelas I, sedangkan pimpinan sama dengan kepala daerah yakni Kelas Utama. Untuk kunjungan ke luar daerah semisal ke Jakarta komponen yang dibutuhkan adalah uang transportasi, uang penginapan, uang harian, dan uang representasi.
Jatah yang diberikan kepada pimpinan dewan masing-masing adalah transportasi Rp 3.000.000,00 pergi pulang, penginapan Rp 1.000.000,00 per hari, uang harian Rp 2.250.000,00 per hari, dan uang representasi Rp 200.000,00 per hari. Sedangkan setiap anggota dewan dijatah transportasi Rp 2.400.000,00 pergi pulang, penginapan Rp 850.000,00 per hari, uang harian Rp 1.850.000,00 per hari, dan uang representasi Rp 150.000,00 per hari. Informasi yang saya dapatkan ini merupakan data tahun 2010 yakni berdasarkan Keputusan Bupati Nomor 188/134/404.012/2010 Tahun 2010. Mungkin standar sekarang telah berubah. Berubah, biasanya nominalnya semakin bertambah.
Perkiraan saya, uang yang dikeluarkan dari anggaran daerah adalah Rp 19.350.000,00 untuk 3 pimpinan (3 orang x @Rp 6.450.000,00) yang merupakan alokasi penginapan, uang harian, dan uang representasi dalam satu hari. Sedangkan dari 42 anggota dikeluarkan dana Rp 220.500.000,00 (42 orang x @Rp 5.250.000,00). Sehingga totalnya Rp 239.850.000,00. Itu belum menghitung biaya transportasi pergi pulang Ngawi-Jakarta. Biasanya pula kunker didampingi oleh staf dari Sekretariat Dewan yang tentunya juga telah dianggarkan biayanya. Oh ya jangan lupa, perhitungan di atas hanya untuk satu hari, lho. Bila lebih silakan dihitung sendiri.
Besarkah anggaran itu? Boroskah kegiatan itu? Relatif. Jawaban tak akan sama pada benak setiap orang. Jika Anda bertanya pada wakil rakyat itu maka jawabnya tentu tidak, mungkin sepadan dengan hasil yang didapat atau informasi yang diperoleh. Tapi jika ditanyakan pada buruh pabrik, misalnya, bisa jadi jawabannya iya. Uang sebesar itu merupakan 239 kali UMR kalau UMR dipatok Rp 1 juta.
Kegiatan itu digunakan untuk konsultasi ke lembaga dan kementerian terkait dengan fokus permasalahan pengelolaan keuangan daerah. Istilah lainnya adalah bimbingan teknis, cuma yang ini bedol desa semuanya ke Jakarta. Sebenarnya kalau ada political will dari segenab wakil rakyat ada cara lain yang lebih efektif dan efisien, sangkil dan mangkus. Undang saja ahli di lembaga dan kementerian itu ke Ngawi untuk memberikan bimbingan teknis. Berapa biayanya?
Ini saya gunakan cara bodon (baca: bodoh-bodohan, angger ngitung). Misalnya mengundang narasumber 1 orang dan membutuhkan waktu 3 hari untuk bimtek. Biaya transportasi Jakarta-Ngawi Rp 3 juta, biaya penginapan Rp 1 juta per hari (kalau 3 hari berarti Rp 3 juta), itu sudah termasuk mewah untuk ukuran Ngawi. Karena PNS, saya rasa ia sebenarnya sudah mendapatkan anggaran itu dalam item biaya perjalanan dinas dari instansinya. Anggaran daerah bisa lebih diirit kan.
Kewajiban dari daerah adalah memberikan honor sebagai narasumber. Standar narasumber tertinggi yakni eselon I adalah Rp 1 juta per jam. Jika setiap hari waktu yang diperlukan untuk memberikan materi adalah 8 jam (standar jam kerja PNS dalam sehari) maka dalam tiga hari dibutuhkan anggaran Rp 24 juta (3 hari x 8 jam x Rp 1 juta). Bila ditambahkan dengan transportasi dan penginapan tadi berarti Rp 30 juta. Hemat bukan. Bandingkan 30 juta dan 239 juta, 1 : 7,967. Para anggota dewan tak perlu bersusah payah meninggalkan anak istri. Tak perlu pula meninggalkan tempat kerja.
Lalu kenapa cara yang lebih efektif dan efisien ini tidak dipakai. Saya tak tahu. Saya juga tak berhak menghakimi mereka boros anggaran. Saya juga tak mau memvonis mereka bersalah. Etika pun masih dapat diperdebatkan. Kepantasan memiliki beragam versi. Mereka orang-orang yang terhormat, tahu mana yang layak dan tidak. Tak ada aturan hukum yang dilanggar. Biarlah rakyat sebagai konstituen yang akan menilainya. Mereka pula pilihan rakyat melalui ritual rutin pesta demokrasi saban lima tahun sekali. Inilah harga yang diterima rakyat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya