rasikafm.co.id |
Siapa yang musti disalahkan? Yang memberi atau yang menerima? Pernah dalam kesempatan ngobrol ringan, teman yang biasa mengirim berkas kepegawaian saya sarankan nggak usahlah nyangoni orang-orang pusat maupun regional. Apalagi saya juga tidak pernah mendapati tulisan atau pengumuman di kantor mereka tentang besarnya tarif dalam pengurusan kepegawaian. Nggak bisa, Mas, jawabnya. Alasannya sudah kebiasaan, nanti kalau nggak memberi pengurusan kita akan dihambat. Benarkah? Sulit membuktikan. Itu urusan internal mereka. Siapa yang bermain duluan, siapa yang diuntungkan, siapa oh siapa...
Mereka pun ternyata juga menerima pemberian uang dari daerah. Atau mungkin begini ya prinsipnya, kalau tidak memberi tidak apa-apa, tapi kalau mau ngasih pun juga tidak apa-apa, akan kami terima toh ini rejeki. Tak baik menolak rejeki di depan mata. Boleh jadi mereka bersikap pasif. Tidak memaksa meminta namun kalau diberi juga tidak menolak. Abu-abu.
Kalau saya cenderung tidak ada saja. Ini kan birokrasi. Pelayanan publik. Tampaknya harus ada kebiasaan yang perlu dipotong, nggak bisa terus-menerus abu-abu seperti itu. Idealnya daerah tak usah memberi, sebaliknya pusat juga tegas menolak pemberian. Tapi kalau berharap daerah yang menghentikan teramat sulit (ya karena kebiasaan tadi, mungkin juga karena khawatir urusannya panjang dan lama) gimana kalau pusat dulu yang memulai. Prinsip tidak meminta tapi juga tidak menolak bila dikasih dirubah total menjadi tidak menerima sama sekali dalam bentuk apa pun jua! Biarlah daerah dengan kebiasaannya memberi karena takut, tapi tegaskan bila Anda tidak akan menerimanya. Satu dua kali daerah mungkin akan tetap memberi, tapi kuatkan tekad tidak akan menerima. Cepat atau lambat mereka akan berhenti jua. Nah, hilanglah kebiasaan ini.
Tapi, kira-kira bisa nggak ya segala urusan kepegawaian itu diproses dengan sistem online tanpa tatap muka secara langsung serta tanpa menyertakan berkas?
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya