Di Kota Madiun terdapat komplek makam yang sangat luas. Selain untuk pemakaman umum di dalamnya terdapat makam para mantan bupati Madiun, mulai dari Kanjeng Pangeran Ronggo Prawirodirjo I dan penasihatnya Kiai Ageng Misbach, hingga sejumlah bupati Madiun penerusnya. Komplek makam ini dari rumah saya di Jalan Sarean sangatlah dekat. Bahkan nama Jalan Sarean diambilkan dari adanya makam ini sebagai jalan masuk menuju makam.
Selain itu di sekitar kompleks makam juga terdapat sebuah masjid yang sangat tua.
Namanya Masjid Kuno Taman. Saya dulu sering sholat Jumat di sana saat masih kecil. Sekolah TK saya ada di sebelah selatan masjid, yakni TK Siwi Peni Taman 1. Selain itu di sebelah selatannya terdapat Kantor Kelurahan Taman. Namun sekarang di selatan masjid sudah tidak ada bangunan, tinggal tersisa lahan kosong yang cukup luas untuk parkir kendaraan. Gedung TK saya dan kantor kelurahan telah dipindah.
Saat di TK itu saya dan kawan-kawan sering bermain bola di halaman masjid saat istirahat. Sering pula kami bermain menimba air di kolah tempat wudhu masjid yang terletak di sebelah timur, di pinggir Jalan Asahan. Berangkat dan pulang sekolah saya melewati areal makam bersama teman-teman, melewati jalan setapak.
Masjid Kuno Taman yang terletak di Kelurahan/Kecamatan Taman, Kota Madiun itu terasa adem dan menyejukkan. Masjid yang bangunan utamanya terbuat dari kayu jati itu dahulu dikenal sebagai Masjid Donopuro, karena disesuaikan dengan nama pendirinya, yaitu Kyai Ageng Ngabehi Donopuro atau lebih dikenal dengan nama Kyai Ageng Misbach. Dia adalah putra dari Mangkudipuro.
Masjid yang didirikan sekitar tahun 1756 itu berdiri di atas tanah perdikan kerajaan Mataram. Tanah perdikan itu diberikan kepada Kanjeng Pangeran Ronggo Prawirodirjo I yang menjabat sebagai Bupati Wedono Timur. Mangkudipuro sendiri adalah menantu sekaligus penasehat Kanjeng Pangeran Ronggo Prawirodirjo I. Selanjutnya tanah perdikan di Desa Taman itu lewat otonomi khusus akhirnya pengelolaannya diserahkan kepada Kyai Ageng Donopuro, putra Mangkudipuro.
Pada tahun 1981, masjid Donopuro itu masuk dalam daftar peninggalan cagar budaya dan namanya pun diganti menjadi Masjid Kuno Taman Madiun. Arsitektur Masjid Kuno Taman memang mirip dengan Masjid Agung Demak. Saat ini, bentuk bangunan masjid masih seperti aslinya, beratap joglo, kubahnya ada 3, memiliki 3 pintu dan ditopang 4 buah tiang yang tidak berukir. Atapnya dari sumping (kayu), bukan dari genteng.
Sebenarnya Masjid Kuno Taman telah beberapa kali. direnovasi Sekitar tahun 1950, perbaikan dilakukan ketika atap kayunya mulai rusak. Oleh ahli warisnya kala itu, atapnya diganti dengan genteng. Sekitar tahun 1990, salah seorang ahli waris mengusulkan ke pemerintah pusat agar membantu renovasi masjid kuno tersebut. Ternyata usulan itu disetujui dan atap yang sempat diganti dengan genteng diubah lagi menjadi kayu. Bangunan masjid dikembalikan keasliannya dan penambahan hanya pada fiberglass yang dipasang di sekitar masjid.
Masjid Kuno Taman juga memiliki beberapa tradisi. Seperti perayaan 1 Muharam yang diwarnai dengan pembacaan Al Qur'an serta sajian makanan jenang sengkolo, nasi liwet, sayur bening dan lauk pauk tradisional seperti tahu dan tempe. Sayur bening yang disajikan pada malam 1 Muharam itu memiliki arti kebeningan jiwa. Sementara nasi liwet identik dengan kekentalan, sehingga kebeningan jiwa semakin kental di hati manusia. Jenang sengkolo memiliki arti adanya harapan agar dijauhkan dari musibah, sedangkan tahu tempe mewakili makanan khas yang digemari rakyat kebanyakan.
Selain menyajikan aneka makanan bagi jamaah dan warga sekitar, masjid juga menggelar seni Gembrung berupa senandung shalawat yang diiringi alat musik jidor dan lesung. Seni Gembrung memang sempat musnah tapi mulai sekarang sudah bangkit lagi.
Tentang sejarah Masjid Kuno Taman sebagian saya ambil dari http://renijudhanto.blogspot.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya