Ada dua hal yang saya soroti tentang berita-berita di Jawa Pos akhir-akhir ini. Pertama adalah tentang kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Dan yang kedua tentang Pemilihan Walikota Surabaya. Saya merasakan ada kejanggalan. Sekali lagi ini hanya perasaan, karena saya memang belum melakukan penelitian secara ilmiah.
Ada yang mengatakan bahwa media massa merupakan salah satu pilar pembangun demokrasi. Ia juga melakukan fungsi kontrol sosial. Jika ada kebijakan pemerintah yang kurang disukai masyarakat, misalnya, ia mesti memberikan koreksi. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini, ketika pemerintah berniat menaikkan tarif dasar listrik. Setiap media yang saya baca dan saya lihat selalu menyoroti tentang hal ini. Mereka memberitakan keberatan masyarakat atas kenaikan TDL, juga analis dan opini para tokoh yang menolak kenaikan TDL. Namun perasaan saya berita-berita di Jawa Pos cenderung menyetujui kenaikan TDL. Dugaan saya, barangkali karena Dahlan Iskan, orang yang membesarkan Jawa Pos sekarang menjadi Dirut PLN. Mana mungkin Jawa Pos mau mengkritik kebijakan dari orang yang telah membesarkan dirinya. Bisa kualat nanti, jadi anak durhaka. Akibatnya saya merasakan Jawa Pos kehilangan kekritisannya menyoroti kenaikan TDL.
Berkaitan dengan Pemilihan Walikota Surabaya, salah satu pasangan calon walikota Arif Afandi–Adies Kadir (Cacak) merasa dirugikan dengan pemberitaan Jawa Pos. Namun akhirnya Cacak dan Jawa Pos berdamai. Pada tanggal 13 Juli 2010 Dewan Pers telah memediasi dua pihak yang terkait dengan pengaduan tim Cacak tentang pemberitaan yang dianggap kurang berimbang. Hasilnya, Jawa Pos memberikan hak jawab kepada Cacak.
Dalam rapat mediasi tersebut, Dewan Pers mengemukakan beberapa pelanggaran kode etik pada sejumlah pemberitaan di Jawa Pos. Terutama tentang penyajian berita pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta coblos ulang di lima kecamatan dan dua kelurahan serta hitung ulang seluruh kotak suara.
Beberapa pelanggaran tersebut antara lain:
1. Narasumber di hampir semua berita sepihak. Yakni, mereka yang menolak putusan MK dan bersikap netral. Tidak ada yang mendukung putusan MK. Bahkan, tanggapan dari MK tidak ada.
2. Rubrik interaktif masyarakat hampir seluruhnya mencerca putusan MK.
3. Isi putusan MK tidak dijelaskan secara lengkap.
Beberapa bulan sebelum pelaksanaan Pilwakot Surabaya, hampir setiap hari Jawa Pos memang menampilkan berita yang sepertinya cenderung mendukung ke pasangan Risma–Bambang. Sedangkan pasangan yang lain tidak mendapatkan porsi sebesar pasangan tersebut. Sebelum resmi menjadi calon walikota, sosok seorang Risma sangat ditonjolkan. Agenda kegiatannya sehari-hari diberitakan. Fotonya ditampilkan lebih besar dan lebih banyak dibandingkan calon-calon yang lain.
Saya mengingat kira-kira hal ini mulai muncul sejak dimuatnya artikel Azrul Ananda, putra Dahlan Iskan (tokoh utama Jawa Pos, yang sekarang menjadi Dirut PLN). Dalam artikel tersebut, ia menuliskan tentang prestasi seorang ibu yang menjabat sebagai pimpinan suatu instansi di Kota Surabaya. Lewat tangan ibu tersebut, Surabaya menjadi lebih indah dengan tamanisasi. Kemudian Azrul pun mengaitkannya dengan perhelatan Pilwakot Surabaya yang akan tiba. Ia berharap Surabaya akan dipimpin oleh seorang ibu itu. Meskipun tidak menyebut nama, semua orang akan tahu bahwa seorang ibu itu adalah Risma. Maka sejak itulah pemberitaan di Jawa Pos sering memblow up beliau.
Saya sebenarnya kesal setiap membuka halaman Metropolis di Jawa Pos, isinya pasti tentang Bu Risma. Saya tidak membenci Bu Risma. Saya juga tidak tahu apakah Bu Risma telah membeli halaman di Jawa Pos. Saya hanya merasa aneh, ketika banyak sosok/tokoh yang ingin maju dalam pertarungan Pilwakot Surabaya, kenapa hanya satu sosok itu yang senantiasa di-blow up. Bahkan untuk ukuran foto sekalipun juga ada pembedaan. Coba Anda buka lagi koran Jawa Pos edisi-edisi menjelang Pilwakot Surabaya. Foto-foto Bu Risma lebih besar dan lebih banyak daripada calon yang lain.
Perasaan saya, kayaknya ada yang tidak beres dengan Jawa Pos. Saya menduga ada 2 kemungkinan, pertama Jawa Pos telah terbeli, atau yang kedua Jawa Pos memang mendukung salah satu calon. Atau mungkin kolaborasi keduanya. Tapi entahlah. Yang jelas pihak Jawa Pos telah mengakui kesalahan setelah diadukan oleh Tim Cacak ke Dewan Pers.
Terus terang saya tidak mempunyai kepentingan terhadap Pilwakot Surabaya, apalagi saya bukanlah warga Surabaya. Saya bukan pendukung salah satu pasangan. Saya hanya merasa ada kejanggalan. Setelah lahirnya teguran dari Dewan Pers kepada Jawa Pos ada beberapa hal yang yang ingin saya sampaikan:
1. Menurut saya media massa harusnya berada pada posisi yang tidak partisan. Ia juga memberikan berita yang berimbang.
2. Salah satu jalan dalam menyelesaikan pertikaian dengan media massa adalah melalui mediasi oleh Dewan Pers. Keberadaan Dewan Pers harus kita optimalkan, jangan terburu-buru melangkah ke jalur pidana (melaporkan adanya tindak pidana pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan). Sebaliknya media massa pun harus memberikan hak jawab kepada pihak yang merasa dirugikan.
3. Saya mengapresiasi pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media massa, dengan menggunakan jalur yang telah tersedia oleh Undang-Undang. Ia tidak menggunakan cara-cara pengerahan massa, apalagi melakukan pengrusakan yang lazim dilakukan oleh orang lain yang merasa dirugikan oleh suatu media massa.
4. Saya juga menyatakan salut atas keberanian media massa yang mengakui kekeliruannya serta berjanji untuk berubah.
Selanjutnya saya menyampaikan selamat memilih kepada warga Surabaya yang akan melakukan coblosan ulang. Mudah-mudahan lancar.
1 komentar:
Betul sekali mas......memang pada saat itu JP sangat sering memunculkan berita dan foto pasangan RIDHO...........
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya