Tulisan ini dibuat saat saya kuliah di FH UGM. Pernah dimuat di Majalah SAKSI. Selamat menikmati.
BENTURAN PERADABAN
Selama ini stereotipe yang berkembang di dunia, khususnya di Barat mengenai Islam hampir selalu negatif, terutama pers-pers mereka yang cenderung memojokkan dan bahkan menuduh bahwa Islam itu identik dengan kekerasan, melanggar HAM, mengikat perempuan, dan sebagainya. Peliputan media dan publikasi selalu saja tidak seimbang dan hal ini menyebabkan masyarakat Barat mempunyai satu kesimpulan yang hampir seragam. Masih sering kita temui ada kecenderungan untuk mereduksi Islam dan aktivitas Islam dengan ekstrimis dan teroris. Antipati Barat ditumbuhkembangkan dengan suburnya.
Bagi banyak orang di Barat, Islam itu berarti agama yang agresif, bermusuhan, anti Amerika. Akhirnya yang terjadi adalah adanya prasangka dan permusuhan sehingga melahirkan polarisasi antara Islam dan Barat. Di masa lalu dan masa sekarang, prasangka seperti ini akan melahirkan seperangkat stereotipe yang mencuat ke permukaan bila terjadi konflik. Pikiran Barat yang yang menurut mereka maju, modern, sekuler, rasional berhadapan dengan pikiran Muslim yang menurut mereka tradisional, normatif, religius, emosional, dan irasional.
Pemerintah-pemerintah negara Barat seringkali menyebutkan bahwa fundamentalisme Islam atau Islam militan merupakan ancaman serius yang harus segera disingkirkan atau dihancurkan. Beberapa tokoh Islam yang memegang kendali di negara-negara mayoritas Muslim dengan seruannya akan bahaya hegemoni Barat (terutama Amerika Serikat) semakin memperkuat citra Islam yang bergerak melawan dominasi Barat. Sebut saja misalnya Ayatullah Khomeini yang menyebut Amerika Serikat sebagai “Setan Besar” atau seruan Saddam Husein untuk berjihad melawan kaum kafir asing. Selain itu ada juga tokoh dari Libya, Muammar Qaddafi yang terkenal sangat anti Amerika Serikat. Akhirnya timbullah anggapan bahwa Islam dan Barat sedang berada dalam posisi saling berhadapan.
Sebenarnya stereotipe yang diciptakan oleh Barat terhadap Islam di atas menunjukkan bahwa mereka tidak memahami Islam secara benar. Kalaupun ada orang yang beragama Islam melakukan perbuatan yang negatif, itu bukan berarti mewakili umat Islam secara keseluruhan. Islam sendiri berasal dari kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata itu dibentuk kata aslama yang artinya memelihara dalam keadaan selamat sentosa, dan berarti juga menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan taat. Kata aslama itulah yang menjadi pokok kata Islam, karena itu orang yang melakukan aslama atau masuk Islam dinamakan Muslim.
Tujuan Islam adalah kesejahteraan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akherat. Ia mengajarkan hubungan antara manusia dan Tuhannya di satu sisi (dimensi vertikal), dan di sisi yang lain mengatur manusia dengan sesamanya dan hubungannya dengan alam (dimensi horisontal). Karena itulah Islam itu bersifat universal (komprehensif/lengkap). Di sini pula perbedaan pokok antara Islam dan agama-agama lain.
Jadi sebenarnya anggapan yang negatif tentang Islam itu hanyalah sesuatu yang mengada-ada saja. Bahkan Islam adalah agama yang memberikan ajaran yang praktis, insaniah, dan rasional. George Bernard Shaw mengatakan, ”Agama masa depan bagi orang-orang berpendidikan, berbudaya, dan berpikiran maju, ialah Islam”. Seorang historikus, Arnold Toynbee pun dengan penuh kejujuran berkata, ”Sekarang pengharapan kita untuk menolong peradaban dunia hanya tinggal terhadap Islam yang memang masih sehat dan kuat, belum pernah melumuri kebenarannya dengan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dibawanya sebagai modalnya menolong seluruh dunia kemanusiaan.”
Sesungguhnya Islam dan Barat (biasanya diwakili oleh Kristen) mempunyai akar teologis yang sama dan terjadi interaksi yang cukup lama. Namun seringkali hubungan ini ditandai dengan konflik. Baik Kristen maupun Islam menyatakan bahwa misinya itu universal dan masing-masing mempunyai kepercayaan untuk menjadi teladan seluruh umat manusia di dunia. Persamaan teologis ini malah menyebabkan perbenturan.
Ekspansi dan kejayaan kerajaan Islam pada masa lalu berlangsung dengan cepat dan peradaban Islam semakin berkembang. Pada jaman orang-orang Eropa masih dalam kondisi kebiadaban yang gelap gulita, maka Baghdad dan Cordova, dua kota raksasa Islam telah menjadi pusat peradaban yang menerangi dunia. Mahasiswa-mahasiswa Arab sudah asyik mempelajari karya-karya Aristoteles tatkala Karel Agung bersama pembesar-pembesarnya masih asyik belajar menulis namanya. Kira-kira abad X, Cordova adalah kota kebudayaan Islam yang ternama di Eropa dengan jumlah rumahnya 113.000 buah, kota depannya 21 buah, perpustakaannya 70 buah, dan toko-toko buku yang banyak. Kota ini disinari oleh lampu-lampu rumah sepanjang jalan di waktu malam. Sedangkan di kota London saat itu belum ada sebuah lentera pun yang didapati di jalan-jalan di sana, dan di kota Paris dalam musim hujan, tebalnya lumpur sampai-sampai ke mata kaki. Hingga tahun 1000, Barat merupakan daerah miskin, terbelakang, buta huruf. Mereka mempertahankan diri dari serangan barbar yang terjadi di darat dan di laut…Selama empat abad, Islam mengalami kedamaian dan keamanan intern, sehingga mampu membangun kebudayaan urban yang cemerlang dan mengesankan.
Sejarah juga mencatat bahwa pemerintahan Islam membawa kedamaian bagi para penduduknya. Pada jaman Dinasti Utsmaniyah, ibukota kerajaan, Istanbul dengan penduduk yang tumbuh menjadi 700.000, menjadi pusat kebudayaan internasional. Para sultan kerajaan dengan kebijaksanaan mereka terhadap Kristen Ortodoks dan minoritas agama lainnya seringkali diterima dengan baik oleh penduduk. Kaum petani Balkan pada masa Sultan Mehmet (1451-1481) seringkali berucap,”Lebih baik hidup dalam turban Turki daripada tiran Paus.”
Namun perlu dicatat bahwa sejarah Muslim dan Kristen tidak bisa dilepaskan dari Perang Salib. Perang salib (Crusdases) namanya diambil dari “cross”. Bangsa Barat yang bangkit dari jaman kegelapan, mengadakan penyerangan untuk mengusir Muslim dari wilayah Eropa (Spanyol, Italia, Sisilia, Mediterania). Raja Byzantium, Alexius I, khawatir tentara Muslim akan menduduki ibukota kerajaannya, Konstantinopel. Ia pun memohon bantuan Barat untuk mengusir kaum Muslim membebaskan Yerusalem dari tangan orang-orang Islam. Sebenarnya di bawah pemerintahan Islam, gereja dan penduduk yang beragama Kristen di Yerusalem tidak pernah diganggu. Bahkan orang-orang Yahudi yang pada masa pemerintahan orang-orang Kristen sejak lama dilarang tinggal di kota itu diperbolehkan kembali tinggal dan beribadah di kota itu oleh pemerintahan Islam. Ketiga agama itu hidup berdampingan secara damai selama berabad-abad. Dan akhirnya peperangan menyebabkan Kristen dan Islam saling berhadapan menciptakan ketidakpercayaan pada masing-masing pihak.
Dunia Islam dan Kristen yang sangat membanggakan agama dan tradisi intelektual serta peradaban, dalam sejarah hubungannya, kerap dijumpai umatnya bersaing, dan terkadang terperangkap dalam peperangan. Peperangan tidak saja membawa korban, namun juga telah membawa dendam yang sulit sekali untuk dihapuskan. Seringkali kita mendengar adanya pergesekan di antaranya. Kedamaian yang merupakan harapan setiap umat pemeluk agama sudah seharusnya menjadi kenyataan.
Padahal pada masa lalu, ahli filsafat politik dari Perancis, Jean Bodin pernah mencatat, ”Raja Turki yang memerintah sebagian besar Eropa melindungi ritus agama dan para pangeran di dunia ini. Dia tidak memaksa seorang pun, tetapi justru menginjinkan orang untuk hidup sesuai dengan panggilan jiwanya. Lebih lagi, di istananya di Pera ia mengijinkan praktek empat macam agama, Yahudi, Kristen menurut ritus Roma, Kristen menurut ritus Yunani, serta Islam.”
Dan akhirnya, pasca pengeboman gedung kembar WTC dan kantor Pentagon pada 11 September 2001 lalu, membuat keprihatinan warga dunia, lebih-lebih warga negara AS, dan lebih-lebih lagi Sang Presiden Amerika Serikat sendiri, George W Bush. Ia pun tidak sekedar marah namun lebih jauh lagi mengeluarkan ancaman untuk menumpas segala bentuk terorisme. Dalam kaitan dengan peristiwa WTC ini sayangnya ia tanpa ada bukti yang sangat kuat menuduh Usamah Bin Laden berada di balik aksi ini, dan ia pun dengan arogannya menyuruh Afghanistan untuk menyerahkan Usamah yang bila tidak diserahkan, AS akan menggempur Afghanistan sampai tunduk kepada kemauan negara “super power” ini. Dan sayangnya lagi, Presiden AS pernah menyebut bakal perang ini dengan istilah Crusades, artinya Perang Salib. Entahlah apakah ini merupakan sebuah gejala untuk menimbulkan “kenangan” masa lalu dan peperangan antara dua kekuatan kembali akan terjadi. Apalagi akhir-akhir ini pasca mengobrak-abrik negeri Afghanistan, AS berusaha mencari musuh lagi yaitu negeri Seribu Satu Malam, Irak, yang mayoritas rakyatnya Muslim.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya