Perubahan yang ada di tingkat desa dengan berlakunya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah mulai dijalankannya prinsip-prinsip demokratisasi dan desentralisasi. Desentralisasi adalah pergeseran wewenang dari pemerintah yang lebih tinggi ke pemerintah yang lebih rendah, misalnya dari pusat ke daerah. Semangat yang ingin dibangun dengan dilaksanakannya desentralisai adalah mendekatkan masyarakat pada proses pembuatan kebijakan, dengan harapan kebijakan yang keluar memperhatikan kepentingan maupun kebutuhan masyarakat. Sedangkan demokratisasi artinya pendistribusian kekuasaan pemerintahan, di mana kekuasaan tidak lagi berpusat di tangan eksekutif (Presiden, Bupati, Kepala Desa), tapi juga dibagi dengan legislatif (DPR, DPRD, BPD/Baperdes).
Perubahan yang terjadi di tingkat desa tersebut dikerangkai oleh adanya UU baru yang mengatur tentang Desa, yaitu UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dua UU tersebut menggantikan UU No 5 Tahun 1979 yang digunakan selama masa Orde Baru dalam mengatur desa.
Yang kedua, desa diberi keleluasaan dalam mengatur kehidupannya dengan mengakui adanya keanekaragaman dan kekhasan dari masing-masing desa. Dengan kata lain desa sebagai sebuah kesatuan masyarakat yang mempunyai hak asal usul dan istiadat setempat diakui dan diberi keleluasaan untuk menerapkan adat istiadatnya dalam mengatur kehidupan masing-masing desa.
Dalam UU No 22 Tahun 1999 itu pula terjadi perubahan cukup penting berkaitan dengan struktur pemerintahan desa, yaitu pertama, adanya pemisahan antara kekuasaan eksekutif desa (Pemerintah Desa) dan legislatif desa atau Badan Perwakilan Desa (BPD). Dengan adanya pemisahan tersebut maka kekuasaan mulai dibagi, dipisahkan, serta dibatasi. Eksekutif desa (Pemerintah Desa) tidak lagi menjadi “pusat” dari proses pembuatan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan desa, namun sebagai pelaksana kebijakan. Proses pembuatan kebijakan desa dilakukan dengan melakukan pelibatan partisipasi masyarakat melalui saluran formal berupa lembaga legislatif desa (BPD) dan sekaligus, lembaga legislatif desa (BPD) tersebut dapat digunakan masyarakat untuk melakukan kontrol atas pelaksanaan kebijakan desa yang dilakukan oleh eksekutif desa (Pemerintah Desa). Dengan adanya pemisahan kekuasaan antara eksekutif desa dengan legislatif desa maka telah terjadi perubahan struktur pemerintahan desa yang tidak lagi bersifat sentralistik namun berganti dengan pengaturan pemerintahan desa secara demokratis melalui pemberian tempat bagi adanya partisipasi oleh warga desa.
Kedua, pengurangan mengenai sistem hirarki birokrasi. Jika pada masa Orde Baru, Pemerintah Desa hanya menjadi sub bagian dari kabupaten yang dapat dikontrol dan diintervensi melalui kecamatan. Maka dengan adanya struktur pemerintahan desa yang baru, kecamatan tidak lagi membawahi desa, tetapi desa langsung berhubungan dengan kabupaten. Hubungan antara desa dan kabupaten itu kemudian diatur dalam hubungan-hubungan yang bersifat formalistik. Hal tersebut misalnya tercermin dalam mekanisme pertanggungjawaban Kepala Desa yang lebih ditekankan untuk diberikan kepada masyarakat desa melalui lembaga BPD dan untuk ke tingkat kabupaten yang lebih bersifat pelaporan. Dengan adanya struktur yang demikian, maka jalannya pemrintahan desa lebih dikontrol oleh masyarakat desa sendiri dan bukan oleh pemerintah yang lebih atas. Dengan kata lain proses yang terjadi di desa lebih ditekankan pada dinamika internal desa dibandingkan dengan instruksi dari hirarki pemerintah di atasnya.
Dalam Pasal 94 UU No 22 Tahun 1999, Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Rakyat (BPD). Unsur dari Pemerintah Desa sesuai dengan Pasal 95 Ayat (1) UU No 22 Tahun 1999 adalah Kepala Desa (atau disebut dengan nama lain) dan Perangkat Desa.
Mengenai Badan Perweakilan Desa (BPD), sesuai dengan UU No 22 Tahun 1999, BPD merupakan sebuah lembaga demokrasi yang diperuntukkan bagi desa dengan memiliki peran sebagai lembaga penyalur aspirasi dari masyarakat desa. Tentang keanggotaannya dipilih dari dan oleh penduduk desa yang telah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku di daerah di mana desa itu berada.
Berdasarkan Pasal 102 UU No 22 Tahun 1999, Kepala Desa sebagai pucuk pimpinan pemerintah di tingkat desa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkannya kepada rakyat melalui BPD dan menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada Bupati.
Sedangkan BPD mempunyai tugas untuk menetapkan Kepala Desa dari hasil pemilihan yang dilaksanakan oleh masyarakat desa (Ayat (3) Pasal 103 UU No 22 Tahun 1999).
Hubungan antara BPD dan Kepala Desa yang lainnya adalah berkaitan dengan penetapan peraturan desa di mana peraturan desa hanya sah secara hukum jika peraturan desa tersebut telah ditetapkan oleh BPD. Jika salah satu dari BPD atau Kepala Desa tidak terlibat dalam penetapan peraturan desa maka peraturan tersebut tidak sah secara hukum. Peraturan desa yang ditetapkan oleh BPD dan Kepala Desa adalah juga termasuk dalam hal penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa setap tahunnya (Ayat (3) Pasal 107 UU No 22 Tahun 1999).
Dalam proses pembangunan desa maka perlu dibangun hubungan yang ideal di antara lembaga desa tersebut. Dengan kalimat lain perlu dibangun adanya partisipasi yang menyeluruh dan saling menguatkan antar lembaga yang ada di desa. Dalam bahasa akademis hubungan yang saling menguatkan tersebut dikenal dengan istilah Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance).
Tata pemerintahan yang baik (Good Governance) adalah suatu kesepakatan tentang penyelenggaraan pemerintahan yang diciptakan secara bersama oleh semua elemen yang ada di suatu wilayah. Jika di tingkat desa, tata pemerintahan yang baik adalah suatu kesepakatan tentang penyelenggaraan pemerintahan desa yang diciptakan secara bersama oleh pemerintah desa, kelembagaan politik, dan kelembagaan lain di desa. Tata pemerintahan yang baik merujuk pada proses penciptaan hubungan kerja sama antara lembaga desa yang ada di desa untuk membuat peraturan-peraturan yang digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di desa.[1]
Dengan demikian dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik, yang perlu dibangun adalah sebuah mekanisme dialog atau komunikasi antar lembaga desa sehingga sama-sama merasa memiliki tata peraturan tersebut.
Dengan adanya BPD sebagai lembaga parlemen di tingkat lokal (desa), tentu saja membawa suatu pengaruh yang sangat besar. Hal yang paling nyata yang akan terjadi adalah suatu proses pergeseran kekuatan politik, sebagai akibat dari perubahan konfigurasi politik. Kepala Desa bukan lagi menjadi pusat dari dinamika politik desa. Adanya BPD dengan fungsi legislasi, kontrol, dan penggalangan aspirasi, membuat BPD menggeser posisi dan fungsi politik Kepala Desa. Hal ini akan membawa akibat yang luas dalam tarik-menarik politik di desa.
Posisi BPD yang memungkinkan memainkan peran kontrol dan sekaligus dapat menjatuhkan Kepala Desa, membuat medan pertarungan bergeser. Dapat segera diduga bahwa dalam pemilihan anggota parlemen desa akan terjadi tarik ulur yang alot. Ada kemungkinan Kepala Desa memainkan peran dengan maksud menempatkan orang-orang yang sehaluan agar bisa bekerja sama dan menghindari tekanan politik yang berlebihan.[2]
Bagaimana pun BPD akan menjadi oposisi dari eksekutif. Keberadaan BPD tentu akan dipandang sebagai gangguan atas kemapanan yang sudah ada. Secara logis, pihak-pihak eksekutif tentu akan mengusahakan sedemikian rupa sehingga BPD yang terbentuk tidak menjadi penghalang gerak eksekutif, melainkan tetap sebagaimana format lama.
Kenyataan tersebut, mengisyaratkan bahwa BPD hanya akan efektif bila didukung oleh kekuatan-kekuatan riil di desa. Hal ini berari bahwa rakyat desa, bagaimana pun patut terorganisasi, dan bukan sekedar menjadi semacam himpunan dari individu-individu. Masyarakat yang terorganisasi, dengan sendirinya mengasumsikan adanya proses pendidikan yang sistematik dan memberi jalan bagi tumbuhnya kesadaran serta ketrampilan politik. Jika hal tidak tersedia, maka keberadaan BPD hanya akan menjadi makhluk baru tanpa makna, atau bahkan beban baru bagi rakyat. Kekuatan pendukung, pada gilirannya akan tertransformasi menjadi kekuatan penggerak dan sekaligus sebagai kekuatan penekan, sehingga kinerja BPD benar-benar mengabdi kepada kepentingan (aspirasi ) rakyat.
Sebagai organisasi yang akan bekerja bagi kepentingan rakyat banyak, tentu saja secara teknis BPD akan membutuhkan dukungan sarana dan prasarana operasional. Yang menjadi masalah adalah siapa atau darimana kebutuhan tersebut akan dipenuhui. Terhadap masalah ini, muncul beberapa dugaan yakni:
1. Pengurus BPD akan malas sebab tidak ada insentif yang jelas.
2. Pemerintah desa akan bisa mengendalikan BPD karena dalam hal pembiayaaan masuk dalam anggaran belanja desa yang dikelola oleh Kepala Desa.
3. Akan terjadi konflik baru di desa, sehubungan dengan kemungkinan akan membebankan administrasi operasional BPD pada rakyat, sehingga rakyat akan tidak begitu mendukung kehadiran BPD.[3]
[1] Joko Purnomo, dkk, Menuju Tata Pemerintahan Yang Baik (Pelaksanaan Good Governance di Tingkat Desa), Penerbit Institute for Research and Empowerment (IRE), Yogyakarta , hal 19
[2] Prof. Dr. Suhartono, dkk, Politik Lokal Parlemen Desa: Awal Kemerdekaan sampai Jaman Otonomi Daerah, Penerbit Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta , 2001, hal 157-158
[3] Ibid, hal 161-162
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya