Tragedi konflik sosial terutama di tingkat horisontal membuat kita semakin prihatin karena baik kualitas maupun kuantitasnya semakin membengkak. Ribuan nyawa melayang dan korban materi pun tak terhitung jumlahnya. Bila kita membaca berita di media-media massa seakan-akan terjadi “perlombaan” memuat cerita tetang kekerasan massa., tawuran antar warga, konflik antar etnis, pembunuhan, pembakaran massa terhadap orang, dan lain-lain. Hal ini tentu saja menimbulkan ketakutan dan keresahan masyarakat. Sedangkan di sisi lain dunia telah menampilkan sosok-sosok manusia Indonesia yang “beringas” dan haus darah”.
Yang sering terjadi dalam fenomena sekarang ini adalah kian merebaknya aksi sepihak massa untuk mengadakan “pengadilan sendiri”, terutama terhadap pelaku kriminalitas. Seharusnya di dalam negara hukum, yang paling berwenang dalam pelaksanaan sanksi adalah monopoli penguasa. Perorangan tidak diperkenankan melaksanakan sanksi untuk menegakkan hukum. Namun sepertinya masyarakat tidak cukup bersabar. Di dalam istilah hukum hal ini disebut dengan eigenrichting, atau tindakan menghakimi sendiri.
Tindakan menghakimi sendiri ini dilarang dan pada hakekatnya merupakan perbuatan pidana. Setiap pelanggaran kaidah hukum pada dasarnya harus dikenakan sanksi. Jika ada pelanggaran kaidah-kaidah hukum tertentu yang tidak dikenakan sanksi, maka ini merupakan penyimpangan atau pengecualian.
Di dalam ilimu hukum pengecualian ini dapat dikategorikan dalam dua kelompok. Pertama, ialah perbuatan yang pada hakekatnya merupakan pelanggaran kaidah hukum, tetapi tidak dikenakan sanksi karena dibenarkan atau mempunyai dasar pembenaran (rechvaardigingsground). Termasuk perbuatan ini adalah keadaan darurat (noodtoestand), pembelaan terpaksa (noodweer), ketentuan undang-undang, dan perintah jabatan. Yang kedua adalah perbuatan yang pada hakekatnya merupakan pelanggaran kaidah hukum tetapi tidak dikenakan sanksi karena si pelaku pelanggaran dibebaskan dari kesalahan. Perbuatan ini terjadi karena apa yang dinamakan force mayeur, overmacht, atau keadaan memaksa.
Paparan di atas hanya membuka ingatan kita tentang hal-hal yang berhubungan dengan aksi massa secara sepihak yang ada di dalam ilmu hukum. Untuk selanjutnya kita akan membicarakan tentang kekerasan massa yang terjadi di dalam kampanye Pemilihan Umum (Pemilu).
Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat dalam NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang diselenggarakan secara demokratis dan transparan, jujur dan adil dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Pemilu merupakan pelaksanaan asas demokrasi, sekaligus prasyarat bagi terlaksananya perubahan politik secara konstitusional. Di dalam pelaksanaan Pemilu secara jelas keterlibatan rakyat akan nyata dengan munculnya partai politik (parpol).
Pembentukan parpol pada dasarnya merupakan salah satu pencerminan hak warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat sesuai dengan pasal 28 UUD 1945. Dalam keragaman partai politik ini setiap parpol mempunyai kedudukan, fungsi, hak, dan kewajiban yang sama dan sederajat. Parpol adalah setiap organisasi yang dibentuk oleh warga negara RI secara sukarela atas dasar persamaan kehendak untuk memperjuangkan baik kepentingan anggotanya maupun bangsa dan negara melalui Pemilu. Secara sederhana parpol dapat diartikan sebagai sebuah organisasi dengan visi, misi, dan paham politik tertentu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan berusaha memegang kekuasaan negara.
Bagi para pemimpin partai, tak ada jalan lain apabila ingin mewujudkan cita-cita partai maka harus memegang kekuasaan negara. Tapi, cara untuk memperolehnya harus dilakukan dengan demokratis melalui Pemilu untuk mementukan wakil-wakilnya di lembaga legislatif. Dengan demikian, anggota legislatif itu nantinya benar-benar merupakan representasi dari rakyat.
Dalam penyelenggaraan Pemilu dapat diadakan kampanye. Rakyat mempunyai kesempatan dan kebebasan untuk menghadirinya. Dalam kampanye Pemilu dilarang dipersoalkan ideologi negara Pancasila dan UUD 1945, menghina seseorang, agama, ras, golongan, serta partai politik lain, menghasut dan mengadu domba kelompok-kelompok masyarakat, mengganggu ketertiban umum, mengancam atau melakukan kekerasan kepada seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dan/atau parpol lain, mengancam atau menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintah yang sah, menggunakan fasilitas pemerintah dan sarana ibadah, serta menggerakkan massa dari satu daerah ke daerah lain untuk mengikuti kampanye. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat berakibat dibubarkannya atau diberhentikannya pelaksaan kampanye oleh yang berwenang.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa dengan banyaknya parpol peserta Pemilu maka akan menyebabkan semakin rawan terjadi kekerasan dalam kampanye yang mengarah pada konflik antar partai. Bahkan konflik tersebut bisa saja akan berlanjut setelah Pemilu usai.
Fenomena kekerasan dalam Pemilu dapat dilihat dari gejala-gejala yang berkembang pada masyarakat antara lain sebagai berikut. Pertama, tumbuhnya semangat keyakinan yang berlebihan pada kader bahwa hanya partainya yang mendapat dukungan rakyat, oleh karena itu harus menang dalam Pemilu sehingga kemenangan partai lain akan menimbulkan kecurigaan. Kedua, tumbuhnya pandangan bahwa Pemilu itu seolah-olah seperti berperang menghadapi musuh, karena itu perlu ada persiapan untuk menghadapi musuh.
Ketiga, tumbuhnya radikalisme pada level grassroot dan semakin dipicu oleh pandangan yang mengabsahkan tindakan radikal sebagai wujud pemberontakan terhadap pressing yang pernah dialami rakyat dari rezim sebelumnya. Keempat, munculnya gejala arogansi masyarakat sehingga kontak antar partai selalu memicu timbulnya konflik. Kelima, ketidaksiapan aparat menghadapi gejolak sosial.
Tulisan ini akan mencoba untuk mencari faktor timbulnya kekerasan massa dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Banyak hal yang patut direnungkan dan dicermati berkaitan dengan fenomena kekerasan massa dan konflik sosial, terutama saat kampanye. Meskipun fenomena kekerasan massa dalam kampanye lebih bersifat insidental dengan motif tertentu dan kepentingan sesaat, namun menariknya hal itu justru menjadi semacam ritus setiap kampanye.
Kekerasan massa setidaknya bisa dibedakan antara motif yang bersumber dari himpitan ekonomi dan yang bersifat sosial politik. Selain itu tindakan kekerasan massa harus ditelusuri dalam kaitannya dengan faktor dasar (basic factors) dan factor pencetus (precipitating factors).
Faktor dasar pertama adalah ketidakadilan struktur yang telah berlangsung bertahun-tahun dalam masa Orde Baru. Kekerasan massa dalam hal ini berkaitan erat dengan kultur dan sistem politik Orde Baru yang tertutup, sentralistik, dan terkontrol dari atas, sehingga menimbulkan kesenjangan. Rakyat merasa terpinggirkan dan sekedar menjadi obyek.
Faktor dasar kedua adalah penyalahgunaan dan penyimpangan penggunaan kekerasan di luar yang dimiliki oleh negara. Dalam negara hukum, penggunaan kekerasan diatur oleh hukum dan hanya institusi negara yang memiliki legitimasi penggunaan kekerasan. Merosotnya legitimasi peran negara dalam memonopoli penggunaan kekerasan memunculkan seseorang atau sekelompok orang menggunakan kekarsan sebagai media ekspresi untuk mencapai tujuannya.
Faktor dasar ketiga adalah tekanan sosial ekonomi dan demografi yang timpang, sehingga menyimpan konflik dan kekerasan dalam masyarakat.
Sementara itu dilihat dari faktor pencetus, situasi krisis baik ekonomi maupun legitimasi, di mana sebagian masyarakat mengalami kebuntuan, ada kecenderungan untuk menggunakan caranya sendiri sesuai dengan kebutuhan dan rasa keadilan mereka masing-masing. Banyak sikap dan tindakan anarkis dari masyarakat sulit dihindari. Mengingat kekecewaanyang begitu mendalam dan terus-menerus terhadap pengelolaan administrasi negara dan pelayanan birokrasi yang tak baik, sehingga sebagian masyarakat menganggap penggunaan kekerasan terhadap orang lain dianggap sah. Ketika argumentasi rasional tak mampu menjawab masalah yang dihadapi, ia dapat memilih cara kekerasan.
Jadi, faktor pencetus secara umum dapat dilihat dari adanya situasi emosional, karena kelompok masyarakat secara langsung mengalami peristiwa duka, kejadian yang menyakitkan, atau direndahkan harga dirinya yang dipicu oleh adanya kebijakan yang diskriminartif.
Secara konsepsional dan pragmatis tindakan kekerasan massa dalam kampanye Pemilu mungkin bisa diatasi dengan cara menanggulangi faktor penyebabnya, kemudian dicari pemecahan masalah terhadap sebab-sebab tersebut. Selain itu juga harus ada penegakan hukum yang pasti. Dan terakhir perlu juga sosialisasi sikap anti kekerasan dalam kampanye sebagai media yang efektif untuk mengikis kebiasaan kekerasan yang hidup dalam masyarakat.
Tulisan ini pernah dimuat di Tabloid Lentera Tahun 2005
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya