Dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Desain Reformasi Birokrasi 2010-2025 disebutkan bahwa reformasi yang sudah dilakukan sejak terjadinya krisis multidimensi tahun 1998 telah berhasil meletakkan landasan politik bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Berbagai perubahan dalam sistem penyelenggaraan negara, revitalisasi lembaga-lembaga tinggi negara, dan pemilihan umum dilakukan dalam rangka membangun pemerintahan negara yang mampu berjalan dengan baik (good governance).
Dalam hal perwujudan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, masih banyak hal yang harus diselesaikan dalam kaitan pemberantasan korupsi. Hal ini antara lain ditunjukkan dari data Transparency International pada tahun 2009, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih rendah (2,8 dari 10) jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya.
Dalam kurun tahun 2001 hingga 2007 Indonesia masih menempati kelompok negara terkorup di dunia. Corruption Perception Index (CPI) dalam lima tahun tersebut skornya hanya naik 0.5 dari 1,9 (2001) ke 2,4 (2006) dan turun kembali 0,1 poin menjadi 2,3 pada tahun 2007 (ICW, 2008).
UU KPK menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.
Sengkarut Penuntasan Korupsi
Senin, 31 Desember 2012
Label:
hukum,
pustaka,
saat kuliah,
tentang jogja
Nasib Pedagang Ritel Kecil
Jumat, 28 Desember 2012
Demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar. Selain itu setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu. Hal-hal seperti itulah yang mendasari lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.
Lahirnya UU ini bisa jadi sebagai koreksi terjadinya praktek monopoli yang jamak dilakukan di era Orde Baru. Namun sebagian kalangan juga menyangka jika nilai-nilai persaingan sebagaimana diatur dalam UU adalah titipan IMF, organisasi neoliberal yang eksploitatif, mendewakan persaingan, anti subsidi dan anti kepentingan nasional. Pola berpikir demikian tidak salah bila dikaitkan dengan waktu berlakunya UU pada tahun 1999 yang bersamaan dengan tahun-tahun awal efektifnya Letter of Intent (LoI) IMF.
Sebagaimana diajarkan dalam mata kuliah Ekonomi untuk Kebijakan Publik, kita harus kritis dengan ekonomi liberal. Perkembangan liberalisme dengan pemupukan modal sebesar-besarnya. Modal dan barang memerlukan pasar, sehingga terjadi perluasan pasar ke negara lain. Selanjutnya lahirlah ide dasar pasar bebas. Asas dasar neo liberalisme adalah biarkan pasar bekerja, kurangi pemborosan dengan memangkas anggaran tidak produktif, lakukan deregulasi ekonomi, lakukan privatisasi, buang gagasan mengenai barang publik, gotong royong, paham sosial, ganti dengan tanggung jawab individu.
Structural Adjusment Program (SAP) sebagai salah satu contoh instrumen Bank Dunia, IMF dan WTO agar MNC leluasa bergerak di negara manapun sebagai berikut: hapuskan tarif untuk industri (kecil, lokal), hapuskan aturan yang menghambat investasi luar negeri untuk masuk, hapuskan kontrol harga bahkan untuk harga kebutuhan pokok, kurangi terus menerus pelayanan social, penghancuran local wisdom dalam mencapai kemandirian barang kebutuhan pokok, laksanakan produksi untuk ekspor, subsidi pada produk pangan.
Lahirnya UU ini bisa jadi sebagai koreksi terjadinya praktek monopoli yang jamak dilakukan di era Orde Baru. Namun sebagian kalangan juga menyangka jika nilai-nilai persaingan sebagaimana diatur dalam UU adalah titipan IMF, organisasi neoliberal yang eksploitatif, mendewakan persaingan, anti subsidi dan anti kepentingan nasional. Pola berpikir demikian tidak salah bila dikaitkan dengan waktu berlakunya UU pada tahun 1999 yang bersamaan dengan tahun-tahun awal efektifnya Letter of Intent (LoI) IMF.
Sebagaimana diajarkan dalam mata kuliah Ekonomi untuk Kebijakan Publik, kita harus kritis dengan ekonomi liberal. Perkembangan liberalisme dengan pemupukan modal sebesar-besarnya. Modal dan barang memerlukan pasar, sehingga terjadi perluasan pasar ke negara lain. Selanjutnya lahirlah ide dasar pasar bebas. Asas dasar neo liberalisme adalah biarkan pasar bekerja, kurangi pemborosan dengan memangkas anggaran tidak produktif, lakukan deregulasi ekonomi, lakukan privatisasi, buang gagasan mengenai barang publik, gotong royong, paham sosial, ganti dengan tanggung jawab individu.
Structural Adjusment Program (SAP) sebagai salah satu contoh instrumen Bank Dunia, IMF dan WTO agar MNC leluasa bergerak di negara manapun sebagai berikut: hapuskan tarif untuk industri (kecil, lokal), hapuskan aturan yang menghambat investasi luar negeri untuk masuk, hapuskan kontrol harga bahkan untuk harga kebutuhan pokok, kurangi terus menerus pelayanan social, penghancuran local wisdom dalam mencapai kemandirian barang kebutuhan pokok, laksanakan produksi untuk ekspor, subsidi pada produk pangan.
Birokrasi, Hambatan Buruh dan Pengusaha
Selasa, 25 Desember 2012
Kompas 27 September 2012 memberitakan bahwa para buruh mengancam akan melakukan aksi mogok nasional pada 3 Oktober 2012 apabila tuntutan penghapusan sistem kerja outsourcing, menolak upah murah, dan pelaksanaan jaminan kesehatan tidak dikabulkan. Menurut Koordinator Aksi dari Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) Baris Silitongan, aksi mogok bekerja itu direncanakan pada tanggal 3-30 Oktober 2012 kalau tidak ada tanggapan dari pemerintah.
Secara umum masyarakat kita banyak menyuarakan ketidakpuasan terhadap pemerintah. Mahasiswa menuntut biaya pendidikan murah, petani menuntut lahan, pedagang pasar menolak kehadiran supermarket, pedagang kaki lima menolak digusur, dan buruh melakukan mogok kerja. Rangkaian gejolak dan protes dari rakyat ini akan semakin banyak jika tidak ditanggapi oleh pemerintah.
Inda Suhendra, Wakil Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), dalam opininya di Republika 4 Oktober 2012 dengan judul “Keterasingan Buruh”, mengutip analisis Karl Marx dalam Economic and Philosophical Manuscripts of 1844, mengatakan bahwa dalam dunia kapitalis, manusia tidak bekerja secara bebas dan universal, tetapi karena terpaksa hanya untuk bertahan hidup. Pekerjaan yang dilakukannya tidak mengembangkan, tetapi mengasingkan dirinya.
Relevan dengan kondisi buruh di Indonesia, dengan upah minimum yang benar-benar minim, buruh terpaksa memenuhi kebutuhannya dengan mencari tambahan uang lembur atau side income lainnya. Hal ini berakibat minimnya interaksi antara buruh dengan keluarga dan lingkungan. Tapi buruh tak punya pilihan lain karena faktor kebutuhan yang mendesak.
Secara umum masyarakat kita banyak menyuarakan ketidakpuasan terhadap pemerintah. Mahasiswa menuntut biaya pendidikan murah, petani menuntut lahan, pedagang pasar menolak kehadiran supermarket, pedagang kaki lima menolak digusur, dan buruh melakukan mogok kerja. Rangkaian gejolak dan protes dari rakyat ini akan semakin banyak jika tidak ditanggapi oleh pemerintah.
Inda Suhendra, Wakil Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), dalam opininya di Republika 4 Oktober 2012 dengan judul “Keterasingan Buruh”, mengutip analisis Karl Marx dalam Economic and Philosophical Manuscripts of 1844, mengatakan bahwa dalam dunia kapitalis, manusia tidak bekerja secara bebas dan universal, tetapi karena terpaksa hanya untuk bertahan hidup. Pekerjaan yang dilakukannya tidak mengembangkan, tetapi mengasingkan dirinya.
Relevan dengan kondisi buruh di Indonesia, dengan upah minimum yang benar-benar minim, buruh terpaksa memenuhi kebutuhannya dengan mencari tambahan uang lembur atau side income lainnya. Hal ini berakibat minimnya interaksi antara buruh dengan keluarga dan lingkungan. Tapi buruh tak punya pilihan lain karena faktor kebutuhan yang mendesak.
Label:
coretan,
oase,
pustaka,
saat kuliah,
tentang jogja
Mengontrol Wakil Rakyat
Sabtu, 22 Desember 2012
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia menyatakan terdapat 259 kasus penyimpangan perjalanan dinas di pemerintah pusat dan daerah pada 2012 dengan kerugian negara senilai Rp 77 miliar. Hal tersebut ditemukan BPK dari hasil pemeriksaan semester I tahun 2012. Dari total kerugian negara tersebut, sebanyak 86 kasus sebesar Rp 40,13 miliar merupakan perjalanan dinas fiktif. Sedangkan 173 kasus senilai Rp 36,87 miliar merupakan perjalanan dinas ganda atau melebihi standar yang ditetapkan. (Sumber: Tempo.co, 3 Oktober 2012).
Menurut Marwan (2012), penyimpangan terjadi akibat lemahnya pengawasan internal pada setiap kementerian dan lembaga negara. Kinerja pemimpin kementerian dan lembaga negara seharusnya juga diukur dari tingkat penyimpangan anggaran perjalanan dinas. Harapan sebenarnya bisa dilekatkan pada anggota dewan (legislatif) yang memiliki hak anggaran untuk berani memangkas anggaran perjalanan dinas pegawai negeri. Namun ini pun tidak mudah lantaran banyak anggota dewan yang juga mengambil keuntungan saat kunjungan kerja ke luar negeri.
Sebenarnya kasus penyimpangan perjalanan dinas tidak hanya terjadi di kalangan eksekutif saja, namun juga di kalangan legislatif (anggota dewan). Tidak hanya di tingkat pusat, namun juga di daerah. Secara formal bukti-bukti pertanggungjawaban sah, namun secara material sebenarnya yang bersangkutan tidak melaksanakan apa yang tertera dalam surat perintah perjalanan dinas, baik waktu, biaya, alat trasportasi, dan sebagainya.
Fenomena lain, yang mirip dengan apa yang dilakukan oleh anggota DPR, anggota DPRD sering melakukan perjalanan dinas keluar daerah untuk urusan yang sebenarnya tidak harus dilakukan dengan keluar daerah. Beragam alasan disampaikan, seperti studi banding, konsultasi, mengikuti pembekalan, persiapan membuat perda, dan lain-lain. Tak jarang perjalanan dinas itu dilakukan dalam rombongan besar, bahkan melibatkan seluruh anggota.
Menurut Marwan (2012), penyimpangan terjadi akibat lemahnya pengawasan internal pada setiap kementerian dan lembaga negara. Kinerja pemimpin kementerian dan lembaga negara seharusnya juga diukur dari tingkat penyimpangan anggaran perjalanan dinas. Harapan sebenarnya bisa dilekatkan pada anggota dewan (legislatif) yang memiliki hak anggaran untuk berani memangkas anggaran perjalanan dinas pegawai negeri. Namun ini pun tidak mudah lantaran banyak anggota dewan yang juga mengambil keuntungan saat kunjungan kerja ke luar negeri.
Sebenarnya kasus penyimpangan perjalanan dinas tidak hanya terjadi di kalangan eksekutif saja, namun juga di kalangan legislatif (anggota dewan). Tidak hanya di tingkat pusat, namun juga di daerah. Secara formal bukti-bukti pertanggungjawaban sah, namun secara material sebenarnya yang bersangkutan tidak melaksanakan apa yang tertera dalam surat perintah perjalanan dinas, baik waktu, biaya, alat trasportasi, dan sebagainya.
Fenomena lain, yang mirip dengan apa yang dilakukan oleh anggota DPR, anggota DPRD sering melakukan perjalanan dinas keluar daerah untuk urusan yang sebenarnya tidak harus dilakukan dengan keluar daerah. Beragam alasan disampaikan, seperti studi banding, konsultasi, mengikuti pembekalan, persiapan membuat perda, dan lain-lain. Tak jarang perjalanan dinas itu dilakukan dalam rombongan besar, bahkan melibatkan seluruh anggota.
Label:
coretan,
oase,
pustaka,
tentang ngawi
Mewujudkan Pegawai yang Berkompeten
Rabu, 19 Desember 2012
BKN menyebutkan bahwa jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia (data tahun 2011) sudah berjumlah hampir 4,7 juta atau setara dengan kurang lebih 2% penduduk Indonesia. Tugas PNS adalah melayani publik, namun ternyata masih banyak ditemui keluhan oleh masyarakat. Di dalam buku Reformasi Aparatur Negara Ditinjau Kembali karya Dr. Wahyudi Kumorotomo disebutkan perilaku-perilaku birokrasi yang menjengkelkan antara lain:
- Memperlambat proses penyelesaian pemberian izin
- Mencari berbagai dalih, seperti ketidaklengkapan dokumen pendukung, keterlambatan pengajuan permohonan, dan dalih lain sejenis
- Alasan kesibukan melaksanakan tugas lain
- Senantiasa memperlambat dengan menggunakan kata “sedang diproses”.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, mengatakan bahwa dari 4,7 juta PNS tersebut, sebanyak 95% PNS tidak kompeten, dan hanya 5% memiliki kompetensi dalam pekerjaannya (Sumber: Harian Umum Pikiran Rakyat, Kamis 1 Maret 2012). Tidak kompetennya PNS tentu saja sangat berpengaruh terhadap pelayanan publik.
Membahas tentang kompetensi, maka yang pertama untuk dilakukan adalah mendefinisikan istilah itu. Apa definisi kompetensi? Berikut ini definisi kompetensi dari berbagai sumber.
- Berdasarkan kamus bahasa Indonesia, pengertian kompetensi adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan atau memutuskan sesuatu hal;
- Menurut Burgoyne (1998), kompetensi adalah kemampuan dan kemauan untuk melakukan tugas;
- Menurut Woodruffe (1990), kompetensi ialah dimensi perilaku yang mempengaruhi kinerja;
- Menurut Furnham (1990), kompetensi adalah kemampuan dasar dan kualitas kinerja yang diperlukan untuk mengerjakan pekerjaan dengan baik;
- Menurut Mitrani (1992), kompetensi adalah karakteristik yang mendasari seseorang dan berkaitan dengan efektivitas kinerja individu dalam pekerjaannya;
- Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Diklat Jabatan PNS, bahwa kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang PNS berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam melaksanakan tugas jabatannya.
Label:
coretan,
kepegawaian,
pustaka,
saat kuliah,
tentang jogja
Polri Versus KPK (Bagian 3): Ada Apa?
Minggu, 16 Desember 2012
Konflik antara KPK dan Polri dalam penanganan kasus korupsi simulator SIM merupakan konflik antar lembaga yang sama-sama berperan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Sesuai dengan kewenangan masing-masing yang diberikan oleh UU, baik Polri dengan UU Nomor 2 Tahun 2002 (UU Polri) dan UU Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) maupun KPK dengan UU Nomor 30 Tahun 2011 (UU KPK) dapat melakukan penyidikan kasus tindak pidana korupsi. Permasalahan terjadi ketika kedua lembaga melakukan penyidikan pada kasus yang sama, dan tersangka yang ditetapkan pun ternyata ada juga yang sama.
Dugaan kasus korupsi simulator SIM sebenarnya menggunakan modus yang jamak dilakukan dalam proses pengadaan barang dan jasa, yakni mark up. Pengadaan simulator SIM ini terdiri atas jenis sepeda motor berjumlah 700 unit dengan nilai Rp 54,453 miliar, sedangkan untuk jenis simulator mobil disediakan 556 unit dengan pagu kontrak Rp 142,415 miliar. Pemenang tender, yakni PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA), ternyata membeli peralatan-peralatan yang dibutuhkan sekaligus sampai pemasangannya kepada PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI), yang dipimpin oleh Sukotjo S. Bambang, hanya sebesar Rp 83 miliar. Dari sini sudah kelihatan bahwa penentuan harga patokan setempat (HPS) oleh Korlantas Mabes Polri sebesar Rp 196,87 miliar terlalu tinggi, karena harga pasar sekitar Rp 83 miliar atau mark up sampai 137,19 persen (Subiyanto, 2012).
Pada 27 Juli 2012, KPK menetapkan Inspektur Jenderal Pol Djoko Susilo, bekas Kepala Korps Lalu Lintas, sebagai tersangka. Selain itu KPK juga menetapkan tersangka kepada Brigjen Pol Didik Purnomo dan kedua rekanan dari pihak swasta yakni Abadi Budi Susanto dan Sukotjo S Bambang.
Sedangkan di pihak Polri pada tanggal 31 Juli 2012 menetapkan Budi Susanto sebagai penyedia barang menjadi tersangka, sesuai Sprindik nomor Sprindik/184a/VIII/2012/Tipidkor. Pada 1 Agustus 2012 Polri mengirim Surat Pemberitahuan Dilakukan Penyidikan (SPDP) ke Kejaksaan Agung RI. Tanggal itu juga Bareskrim Polri juga telah menetapkan Wakakorlantas Brigjen Pol Didik Purnomo, Kompol Legimo, Bendahara Korlantas Teddy Rusmawan, dan Sukoco S Bambang sebagai tersanga dan menahannya di Bareskrim Polri. Polri tidak menetapkan Irjen Pol Djoko Susilo sebagai tersangka, hanya beberapa pejabat Polri di bawah Irjen Pol Djoko Susilo yang ditetapkan sebagai tersangka.
Dugaan kasus korupsi simulator SIM sebenarnya menggunakan modus yang jamak dilakukan dalam proses pengadaan barang dan jasa, yakni mark up. Pengadaan simulator SIM ini terdiri atas jenis sepeda motor berjumlah 700 unit dengan nilai Rp 54,453 miliar, sedangkan untuk jenis simulator mobil disediakan 556 unit dengan pagu kontrak Rp 142,415 miliar. Pemenang tender, yakni PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA), ternyata membeli peralatan-peralatan yang dibutuhkan sekaligus sampai pemasangannya kepada PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI), yang dipimpin oleh Sukotjo S. Bambang, hanya sebesar Rp 83 miliar. Dari sini sudah kelihatan bahwa penentuan harga patokan setempat (HPS) oleh Korlantas Mabes Polri sebesar Rp 196,87 miliar terlalu tinggi, karena harga pasar sekitar Rp 83 miliar atau mark up sampai 137,19 persen (Subiyanto, 2012).
Pada 27 Juli 2012, KPK menetapkan Inspektur Jenderal Pol Djoko Susilo, bekas Kepala Korps Lalu Lintas, sebagai tersangka. Selain itu KPK juga menetapkan tersangka kepada Brigjen Pol Didik Purnomo dan kedua rekanan dari pihak swasta yakni Abadi Budi Susanto dan Sukotjo S Bambang.
Sedangkan di pihak Polri pada tanggal 31 Juli 2012 menetapkan Budi Susanto sebagai penyedia barang menjadi tersangka, sesuai Sprindik nomor Sprindik/184a/VIII/2012/Tipidkor. Pada 1 Agustus 2012 Polri mengirim Surat Pemberitahuan Dilakukan Penyidikan (SPDP) ke Kejaksaan Agung RI. Tanggal itu juga Bareskrim Polri juga telah menetapkan Wakakorlantas Brigjen Pol Didik Purnomo, Kompol Legimo, Bendahara Korlantas Teddy Rusmawan, dan Sukoco S Bambang sebagai tersanga dan menahannya di Bareskrim Polri. Polri tidak menetapkan Irjen Pol Djoko Susilo sebagai tersangka, hanya beberapa pejabat Polri di bawah Irjen Pol Djoko Susilo yang ditetapkan sebagai tersangka.
Polri Versus KPK (Bagian 2): Penyidikan KPK di Polri
Kamis, 13 Desember 2012
KPK mengusut kasus korupsi simulator kendaraan roda dua dan roda empat di Korlantas Mabes Polri sejak Januari 2012. Pada 27 Juli 2012, KPK menetapkan Inspektur Jenderal Pol Djoko Susilo, bekas Kepala Korps Lalu Lintas, sebagai tersangka. Perwira tinggi ini diduga menyalahgunakan kewenangan dalam pengadaan alat simulator pada tahun anggaran 2011. Selain itu KPK juga menetapkan tersangka kepada Brigjen Pol Didik Purnomo, Abadi Budi Susanto, dan Sukotjo S Bambang. Brigjen Pol Didik Purnomo merupakan Wakakorlantas, Abadi Budi Susanto adalah Direktur Utama PT. Citra Mandiri Metalindo, sedangkan Sukotjo S. Bambang adalah Direktur Utama PT. Inovasi Teknologi Indonesia. Budi dan Sukotjo merupakan rekanan dari pihak swasta (Priatna, 2012).
Perbuatan Djoko Susilo, Didik Purnomo, Budi Susanto, dan Sukotjo S Bambang diduga mengakibatkan negara mengalami kerugian hingga miliaran rupiah. Djoko dan Didik dikenakan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Tipikor. Sementara direktur perusahaan rekanan, Budi dan Sukotjo dikenakan Pasal 11 UU Tipikor.
Penanganan kasus korupsi simulator SIM menjadi bermasalah ketika Polri juga menangani kasus tersebut. Pihak Mabes Polri juga sudah menetapkan lima tersangka, yaitu Wakil Kepala Korlantas Brigadir Jenderal Pol Didik Purnomo, AKBP Teddy Rusmawan, dan Bendahara Korlantas Polri Kompol Legimo Pudjo Sumarto. Tersangka lainnya adalah Direktur Utama PT. Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto, dan Direktur Utama PT. Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo S. Bambang.
Terkait dengan MoU tanggal 29 Maret 2012, KPK merujuk pada Pasal 29 MoU tersebut yakni apabila terdapat suatu ketentuan dalam kesepakatan bersama ini yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan setelah ditandatanganinya Kesepakatan Bersama yang menyebabkan ketentuan tersebut tidak berlaku, maka hal tersebut membatalkan semua ketentuan-ketentuan lainnya dalam Kesepakatan Bersama ini dan ketentuan lainnya dalam Kesepakatan Bersama ini tetap berlaku serta mengikat. Artinya dalam siapa yang berwenang melakukan penyidikan dalam kasus korupsi simulator SIM, KPK mengembalikan kembali dalam peraturan perundang-undangan.
Perbuatan Djoko Susilo, Didik Purnomo, Budi Susanto, dan Sukotjo S Bambang diduga mengakibatkan negara mengalami kerugian hingga miliaran rupiah. Djoko dan Didik dikenakan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Tipikor. Sementara direktur perusahaan rekanan, Budi dan Sukotjo dikenakan Pasal 11 UU Tipikor.
Penanganan kasus korupsi simulator SIM menjadi bermasalah ketika Polri juga menangani kasus tersebut. Pihak Mabes Polri juga sudah menetapkan lima tersangka, yaitu Wakil Kepala Korlantas Brigadir Jenderal Pol Didik Purnomo, AKBP Teddy Rusmawan, dan Bendahara Korlantas Polri Kompol Legimo Pudjo Sumarto. Tersangka lainnya adalah Direktur Utama PT. Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto, dan Direktur Utama PT. Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo S. Bambang.
Terkait dengan MoU tanggal 29 Maret 2012, KPK merujuk pada Pasal 29 MoU tersebut yakni apabila terdapat suatu ketentuan dalam kesepakatan bersama ini yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan setelah ditandatanganinya Kesepakatan Bersama yang menyebabkan ketentuan tersebut tidak berlaku, maka hal tersebut membatalkan semua ketentuan-ketentuan lainnya dalam Kesepakatan Bersama ini dan ketentuan lainnya dalam Kesepakatan Bersama ini tetap berlaku serta mengikat. Artinya dalam siapa yang berwenang melakukan penyidikan dalam kasus korupsi simulator SIM, KPK mengembalikan kembali dalam peraturan perundang-undangan.
Polri Versus KPK (Bagian 1): Alasan Polri Menyidik Kasus Simulator SIM
Senin, 10 Desember 2012
Majalah Tempo edisi 23 April 2012 menulis tentang korupsi proyek simulator. Pemberitaan itu dibantah oleh juru bicara Mabes Polri pada 13 Mei 2012. Isinya, tidak ada korupsi di Korps Lalu Lintas Polri sebesar Rp 196 miliar terkait dengan proyek simulator. Dalam hal ini, pada April 2012 diberitakan Brigjen Pol Boy Rafli Amar yang saat itu masih menjabat sebagai Kepala Bagian Penerangan Umum Polri membantah Inspektur Pol Djoko Susilo menerima suap Rp 2 miliar dari proyek pengadaan simulator kemudi motor dan mobil senilai Rp 196,87 miliar ketika memimpin Korps Lalu Lintas Polri. Menurut Boy proyek tersebut telah sesuai prosedur.
Menurut Polri, sebagaimana bantahannya di Tempo, setelah dilakukan pemeriksaan oleh Irwasum sementara dari sisi mekanisme pengadaan barang dan jasa sudah berjalan dengan aturan yang ada. Kewajiban dari kontraktor pengadaan alat drive simulator polres-polres se-Indonesia, ini sudah terpenuhi. Namun, keanehan terjadi ketika KPK melakukan gebrakan. Polri seakan kebakaran jenggot dengan melakukan tindakan-tindakan yang dilihat oleh publik sebagai bentuk pengamanan diri.
KPK mengusut kasus simulator sejak Januari 2012. Pada 27 Juli 2012, KPK menetapkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo, bekas Kepala Korps Lalu Lintas, sebagai tersangka. Pada 30 Juli 2012, KPK menggeledah kantor Korps Lalu Lintas. Polisi "menyandera" dengan alasan bahwa kasus simulator juga sedang diusut.
Markas Besar Kepolisian berkukuh mengusut kasus korupsi simulator. Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri menyelidiki kasus simulator setelah melihat pemberitaan Tempo. Perintah penyelidikan bernomor Sprinlid /55/V/2012/Tipidkor tanggal 21 Mei 2012.
Pada saat KPK telah menetapkan tersangka, yaitu Irjen Djoko Susilo pada tanggal 27 Juli 2012 itu, polisi mengaku baru memeriksa 33 saksi, belum ada tersangka. Pada 31 Juli 2012, polisi menetapkan lima tersangka. Tiga orang di antaranya sama dengan KPK.
Menurut Polri, sebagaimana bantahannya di Tempo, setelah dilakukan pemeriksaan oleh Irwasum sementara dari sisi mekanisme pengadaan barang dan jasa sudah berjalan dengan aturan yang ada. Kewajiban dari kontraktor pengadaan alat drive simulator polres-polres se-Indonesia, ini sudah terpenuhi. Namun, keanehan terjadi ketika KPK melakukan gebrakan. Polri seakan kebakaran jenggot dengan melakukan tindakan-tindakan yang dilihat oleh publik sebagai bentuk pengamanan diri.
KPK mengusut kasus simulator sejak Januari 2012. Pada 27 Juli 2012, KPK menetapkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo, bekas Kepala Korps Lalu Lintas, sebagai tersangka. Pada 30 Juli 2012, KPK menggeledah kantor Korps Lalu Lintas. Polisi "menyandera" dengan alasan bahwa kasus simulator juga sedang diusut.
Markas Besar Kepolisian berkukuh mengusut kasus korupsi simulator. Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri menyelidiki kasus simulator setelah melihat pemberitaan Tempo. Perintah penyelidikan bernomor Sprinlid /55/V/2012/Tipidkor tanggal 21 Mei 2012.
Pada saat KPK telah menetapkan tersangka, yaitu Irjen Djoko Susilo pada tanggal 27 Juli 2012 itu, polisi mengaku baru memeriksa 33 saksi, belum ada tersangka. Pada 31 Juli 2012, polisi menetapkan lima tersangka. Tiga orang di antaranya sama dengan KPK.
Promosi Koruptor, Pemerintah Mestinya Taat Hukum
Minggu, 25 November 2012
Promosi jabatan atas Azirwan, mantan terpidana kasus korupsi di Pemprov Kepulauan Kepri (Kepri) memantik kontroversi. Di tengah giat-giatnya upaya pemberantasan korupsi dan ucapan manis presiden untuk memimpin sendiri berperang melawan korupsi, promosi tersebut merupakan sebuah tamparan. Pemerintah, dalam hal ini Mendagri dan Pemprov Kepri tidak mempersalahkan karena tidak ada larangan UU bagi mantan narapidana menduduki jabatan struktural.
Terkait dengan tidak adanya peraturan yang dilanggar, pemerintah benar. Dalam PP 100/2000 tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural tidak mencantumkan larangan mantan narapidana menjadi pejabat struktural. Persyaratan untuk diangkat dalam jabatan struktural sebagaimana disebut dalam Pasal 5 adalah berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil, serendah-rendahnya menduduki pangkat satu tingkat di bawah jenjang pangkat yang ditentukan, memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan yang ditentukan, semua unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam dua tahun terakhir, memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan, serta sehat jasmani dan rohani.
Berdasarkan kualifikasi persyaratan di atas, barangkali Pemerintah menilai Azirwan memenuhi semuanya, baik itu status sebagai PNS, kualifikasi pendidikan, kompetensi, maupun kesehatan. Sebagai mantan Sekretaris Daerah yang merupakan jabatan karir tertinggi di kabupaten tentu saja ia memenuhi persyaratan minimal kepangkatan, bahkan lebih dari cukup. Sedangkan penilaian prestasi kerja yang selama ini diwujudkan dalam bentuk DP3 menjadi hak prerogatif atasan langsungnya yang lebih bersifat subyektif.
Pada titik ini seolah-olah Pemerintah benar. Pemerintah (dalam hal ini Pemprov) melakukan suatu kebijakan dengan argumentasi telah sesuai dengan hukum, atau kalau menurut Mendagri tidak ada aturan undang-undang yang dilarang. Namun sejatinya Pemerintah lalai atau abai dengan aturan hukum itu sendiri. Pengangkatan PNS dalam jabatan struktural memang legal (berdasarkan PP 100/2000), namun yang menjadi persoalan serius adalah status kepegawaian seorang PNS yang terlanjur menjadi terpidana kasus korupsi.
Label:
coretan,
kepegawaian,
saat kuliah,
serba-serbi
Permasalahan Pajak
Kamis, 22 November 2012
Salah satu sumber pembiayaan terpenting dan paling aman adalah pajak. Peran pajak dalam pembiayaan pembangunan bagi Indonesia diakui cukup besar (lebih dari 60%), namun demikian dibandingkan dengan dengan negara lain keadaan perpajakan di Indonesia masih relatif belum baik. Di antara 182 negara yang disurvei oleh World Bank dan Price Water House Coopers, Indonesia berada pada urutan ke-127 dalam hal tingkat pembayaran pajak, kemudahan pembayaran pajak, waktu yang diperlukan untuk mengurus perpajakan, dan biaya terkait dengan perpajakannya.
Pajak merupakan sumber atau pos penerimaan negara yang amat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila dbandingkan dengan sumber penerimaan lainnya, penerimaan negara dari aspek pajak adalah sumber penerimaan negara paling aman dan potensial untuk memberikan kontribusi bagi persediaan fiskal negara. Secara umum, negara memperoleh penerimaan dalam negeri yang terdiri dari penerimaan minyak dan gas bumi, penerimaan pajak, dan penerimaan negara bukan pajak. Dari sekian sumber penerimaan tersebut, pajak merupakan sumber potensial dalam memenuhi fiskal negara. (Irianto, 2009).
Lebih lanjut dikatakan oleh Irianto, pajak juga berpotensi menciptakan keseimbangan sosial dalam masyarakat. Pajak memiliki dua fungsi pokok antara lain:
1. Fungsi budgeter, yakni sebagai upaya penghimpunan dana masyarakat untuk mengisi kas negara yang digunakan untuk penyelenggaraan negara.
2. Fungsi pengaturan, yakni sebagai upaya pemerintah mendorong kegiatan perekonomian dan memberikan keadilan kepada masyarakat.
Namun yang menjadi masalah adalah rakyat masih menyangsikan alokasi dana pajak sebab mereka tidak menemukan relevansi antara pajak yang disetorkan kepada negara dengan program dan kebijakan negara untuk menciptakan keseimbanan sosial yang adil. Apalagi rakyat menyaksikan sendiri betapa besar uang negara yang telah dikorupsi oleh para penyelenggara negara. Korupsi masih menjadi persoalan amat pelik di negeri ini.
Korupsi Berdampak “Luar Biasa”
Senin, 19 November 2012
Tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Selain dilakukan secara meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Oleh karena itu upaya pemberantasannya pun tidak hanya dengan cara yang biasa, namun dengan cara-cara yang luar biasa. Namun pengangkatan seorang mantan narapidana kasus korupsi dalam promosi sebuah jabatan PNS menjadi pertanyaan di tengah-tengah publik. Inikah model perlakuan secara “luar biasa” terhadap pelaku korupsi?
Pertama, “luar biasa” karena dengan diangkatnya seorang koruptor dalam jabatan birokrasi maka selama itu pula ia tidak pernah diberhentikan sebagai PNS. Pun, ketika ia berada di penjara selama beberapa tahun. Maka konsekuensinya ia tetap menikmati gaji pokok dan tunjangan-tunjangan, termasuk kenakan gaji setiap tahun. Sebagai PNS bergolongan IV, maka paling tidak setiap bulan gaji yang diterima sebesar Rp 3 juta. Selama mendekam di penjara 2,5 tahun itu maka pemerintah mesti menyediakan uang Rp 90 juta. Bahkan selepas mendekam dalam bui, diangkat pula ia menjadi salah satu komisaris BUMD.
Kedua, “luar biasa” karena status sebagai PNS tidak tergoyahkan. Padahal berbagai regulasi memberikan ancaman sanksi pemecatan bagi terpidana korupsi, seperti UU 43/1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, PP 4/1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian Pegawai Negeri, PP 32/1979 tentang Pemberhentian PNS, dan PP 53//2010 tentang Disiplin PNS. Dalam hal ini Presiden turut mengambil sikap yang “luar biasa”, karena menurut PP 9/2003 tentang Kewenangan Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian PNS, sebenarnya Presiden mempunyai kewenangan memberhentikan yang bersangkutan dari PNS. Namun realitanya, Presiden tidak mengacuhkannya.
Ketiga, “luar biasa” karena mendapatkan promosi jabatan. Patut disadari bahwa jabatan dalam birokrasi, apalagi jabatan struktural tidaklah mungkin diberikan kepada pegawai yang biasa saja. Proporsi jumlah pegawai yang berlipat dibandingkan dengan jumlah jabatan yang tersedia mengakibatkan munculnya persaingan/kompetisi di antara pegawai. Tidaklah mungkin semua pegawai mendapatkan jabatan struktural. Maka, pemerintah menyediakan seperangkat regulasi untuk menyeleksinya.
Promosi Jabatan bagi Koruptor
Jumat, 16 November 2012
Di saat tingginya semangat masyarakat menyatakan perang terhadap korupsi (ditandai dengan dukungan kepada KPK atas konfliknya dengan Polri), publik dikejutkan dengan berita dipromosikannya Azirwan, seorang mantan narapidana kasus korupsi menjadi pejabat eselon II di Pemprov Kepulauan Riau (Kepri). Azirwan ini dulu seorang Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bintan. Sekda merupakan jabatan struktural eselon II, puncak karir PNS di pemerintah kabupaten.
Azirwan bersama seorang anggota DPR ditangkap oleh KPK dalam kasus penyuapan pada tahun 2008. Setelah divonis 2 tahun 6 bulan, tahun 2010 ia bebas. Kabarnya, kemudian ia menduduki posisi salah satu komisaris BUMD di Bintan. Jika pada tahun 2012 ini ia diangkat dalam sebuah jabatan struktural, berarti selama ini pula ia tidak pernah diberhentikan sebagai PNS, pun ketika berada di dalam penjara. Sebagai konsekuensi menjadi PNS, ia berhak atas gaji pokok dan tunjangan-tunjangan. Maka, betapa “baik hatinya” pemerintah kita ini, menggaji orang yang tidak bertugas bahkan menjadi narapidana selama bertahun-tahun.
Terkait dengan promosi jabatan mantan narapidana korupsi, Menpan dan RB menyerahkan kepada masing-masing daerah, pemerintah pusat tak bisa membatalkannya dengan alasan otonomi daerah. Sedangkan Mendagri menyatakan kebolehannya karena tidak ada undang-undang yang melarang hal itu. Hal ini senada dengan sikap Pemprov Kepri yang mendasarkan pada tiadanya peraturan yang dilanggar.
Aturan Mana yang Tidak Ada?
Pasal 23 ayat 4 UU 43/1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian menyatakan bahwa PNS dapat diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman hukumannya 4 tahun atau lebih. Adanya kata “boleh” mengandung arti bukanlah sebuah keharusan. Artinya meskipun PNS tersebut telah dijatuhi hukuman pidana tidak berarti harus dipecat.
Azirwan bersama seorang anggota DPR ditangkap oleh KPK dalam kasus penyuapan pada tahun 2008. Setelah divonis 2 tahun 6 bulan, tahun 2010 ia bebas. Kabarnya, kemudian ia menduduki posisi salah satu komisaris BUMD di Bintan. Jika pada tahun 2012 ini ia diangkat dalam sebuah jabatan struktural, berarti selama ini pula ia tidak pernah diberhentikan sebagai PNS, pun ketika berada di dalam penjara. Sebagai konsekuensi menjadi PNS, ia berhak atas gaji pokok dan tunjangan-tunjangan. Maka, betapa “baik hatinya” pemerintah kita ini, menggaji orang yang tidak bertugas bahkan menjadi narapidana selama bertahun-tahun.
Terkait dengan promosi jabatan mantan narapidana korupsi, Menpan dan RB menyerahkan kepada masing-masing daerah, pemerintah pusat tak bisa membatalkannya dengan alasan otonomi daerah. Sedangkan Mendagri menyatakan kebolehannya karena tidak ada undang-undang yang melarang hal itu. Hal ini senada dengan sikap Pemprov Kepri yang mendasarkan pada tiadanya peraturan yang dilanggar.
Aturan Mana yang Tidak Ada?
Pasal 23 ayat 4 UU 43/1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian menyatakan bahwa PNS dapat diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman hukumannya 4 tahun atau lebih. Adanya kata “boleh” mengandung arti bukanlah sebuah keharusan. Artinya meskipun PNS tersebut telah dijatuhi hukuman pidana tidak berarti harus dipecat.
Proses Pembangunan
Minggu, 11 November 2012
Definisi Pembangunan
Mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam seperti halnya perencanaan. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya, negara satu dengan negara lain. Namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005, dikutip oleh Badrudin, 2009).
Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasasmita (1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”. (Badrudin, 2009).
Aktor Pembangunan
Aktor pembangunan terdiri dari:
1. Pemerintah
2. Dunia usaha
3. Lembaga keuangan
4. Rumah tangga
5. Sektor luar negeri.
Kapasitas Birokrasi, Antara Profesionalitas dan Moralitas
Minggu, 28 Oktober 2012
Permasalahan birokrasi merupakan permasalahan yang tak kunjung usai di negeri ini. Berbagai catatan buruk menghiasi pemberitaan media, diskusi publik, jurnal penelitian, maupun percakapan sehari-hari di tengah masyarakat. Aparat pemerintah sebagai pelayan masyarakat dituding sebagai biang keladi. Hal ini mungkin saja terjadi karena mulai dari rekrutmen, manajemen, dan promosi jabatan kurang memperhitungkan profesionalitas.
Regulasi, lepas dari segala kelemahannya, sebenarnya telah menyediakan perangkatnya, namun realita di lapangan jauh dari idealita. Penerimaan pegawai negeri misalnya, masih saja ditemui permainan kolutif dan manipulatif. Selain itu, pengangkatan dalam sebuah jabatan tidak jarang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bisa jadi, orang menjadi pegawai atau pejabat dalam birokrasi bukan karena kualitasnya, tapi lebih karena mampu membayar mahal untuk menembusnya. Urusan kemampuan menjadi urusan nomor terakhir. Hal itu tentu saja menimbulkan dampak negatif seperti lemahnya pelayanan kepada publik.
Beberapa kelemahan pelayanan publik di Indonesia antara lain kurang responsif, kurang informatif, dan kurang koordinatif. Kekurangan responsif bisa saja terjadi di unsur pelayanan langsung kepada masyarakat hingga ke level penanggung jawab instansi. Sementara itu antar intansi juga kurang koordinasi sehingga acapkali terjadi ketumpangtindihan bahkan pertentangan kebijakan. Masyarakat juga kurang mendapatkan informasi tentang pelayanan publik. Ada yang terlambat bahkan ada yang tidak diinformasikan sama sekali.
Peningkatan kualitas pegawai negeri bukannya tidak ada sama sekali. Sekali lagi regulasi telah mengaturnya, misalnya dengan kewajiban mengikuti pendidikan dan latihan pra jabatan bagi Calon PNS sebagai salah satu persyaratan pengangkatan menjadi PNS, kewajiban mengikuti diklat kepemimpinan bagi PNS yang menduduki jabatan struktural, dan berbagai diklat fungsional sesuai dengan jabatan masing-masing. Di beberapa instansi malah tersedia anggaran untuk tugas belajar mulai dari jenjang diploma hingga pasca sarjana kepada para pegawainya. Tujuannya semata untuk meningkatkan profesionalitas.
Label:
hukum,
pustaka,
saat kuliah,
tentang jogja
Tujuh tahun yang lalu...
Kamis, 25 Oktober 2012
Pria sepuh itu berujar, "Ini lho nak, anak lanangku ini mau jadi pendamping hidupmu. kamu terima apa ndak?" Dengan tersipu si gadis menjawab "Insya Allah, Pak..." Meski nyaris tak terdengar, tapi seisi ruangan itu tahu bahwa sang gadis menerima lamaran sang jejaka.
Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari penantian bagi si gadis. Menanti saat itu tiba, saat mereka bisa bersanding melewati waktu bersama. Dan saat penantian itulah saat yang sangat indah bagi si gadis. Karena selama hidupnya, baru saat itulah ia merasa benar-benar jatuh cinta pada pria yang belum genap sebulan dikenalnya. Saat itulah ia benar- benar merasakan rindu.
Dan ketika saat itu tiba.......
Pesta itu sederhana saja. Karena sang gadis sendirilah yang menyiapkan semuanya. Bundanya telah tiada. Ayahnya juga baru saja mantu kakaknya. Beruntung honornya yang enam bulan keluar seminggu sebelum hari-H.
Tak ada undangan yang dicetak indah, hanya di-print saja. Dekorasinya kaligrafi sederhana dan sedikit bunga. Gaun putihnya ia jahit sendiri. Tapi tamu yang datang melebihi perkiraan. Alhamdulillah...........
Berebut Peluang Kerja
Minggu, 21 Oktober 2012
http://www.ugm.ac.id |
Sore hari seusai kuliah, perjalanan pulang menuju kos melewati GSP lagi. Kali ini saya melewati sisi sebelah timur. Kendaraan, motor dan mobil masih banyak terparkir. Rombongan orang tampak bergerombol di beberapa bagian gedung. Saya menduga-duga, sepertinya ada bursa kerja di dalam gedung. Saya membayangkan kenangan beberapa tahun silam.
Delapan tahun yang lalu, saya menjadi bagian dari mereka. Menjadi pencari kerja, berebut peluang mencari penghidupan, selepas bertahun-tahun lelah menuntut ilmu. Beberapa saat setelah diwisuda memang ada bursa kerja. Tempatnya juga di GSP. Persis seperti hari ini. Entah karena apa ya (saya lupa), meskipun datang dan melihat-lihat, waktu itu saya tak mengirimkan aplikasi lamaran. Mungkin saya tak masuk dalam kualifikasi yang dibutuhkan perusahaaan.
Beruntung UGM termasuk kampus yang diperhitungkan oleh banyak perusahaan. Di antara itu ada beberapa perusahaan melakukan rekrutmen langsung di kampus. Ini sungguh menguntungkan, karena pertama, kami tidak perlu mengeluarkan biaya dan tenaga untuk mendatangi lokasi perusahaan mereka. Mereka sendiri yang menjemput bola. Dan kedua, persaingan dipersempit hanya untuk internal alumni UGM saja. Sehingga peluang lebih besar.
Label:
saat kuliah,
serba-serbi,
tentang jogja
Catatan terhadap Konsep Birokrasi Weber
Minggu, 14 Oktober 2012
Dalam buku Birokrasi Pemerintah karya Prof. Dr. Miftah Thoha, MPA disebutkan bahwa setiap organisasi harus mempunyai aturan main agar dalam organisasi tersebut tercapai rasionalitas. Max Weber menciptakan model untuk mengatur organisasi, yang kemudian orang menyebutnya dengan birokrasi. Konsep birokrasi yang dimodelkan Weber antara lain, pertama harus ada prinsip kepastian dan hal-hal kedinasan yang diatur berdasarkan hukum, yang biasanya diwujudkan dalam bentuk peraturan atau ketentuan administrasi.
Kedua, diterapkannya prinsip tata jenjang dalam kedinasan dan tingkat kewenangan. Ketiga, manajemen yang moderen harus didasarkan pada dokumen tertulis. Keempat, spesialisasi dalam manajemen atau organisasi harus didukung oleh keahlian yang terlatih.ckelima, hubungan kerja di antara orang-orang dalam organisasi didasarkan atas impersonal.
Catatan untuk konsep birokrasi Weber. Pertama, Max Weber sendiri tidak pernah secara definitif menyebutkan makna Birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep ini lalu menganalisis ciri-ciri apa yang seharusnya melekat pada birokrasi.
Kedua, gejala birokrasi yang dikaji Weber sesungguhnya birokrasi-patrimonial. Birokrasi-Patrimonial ini berlangsung di waktu hidup Weber, yaitu birokrasi yang dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di Prussia. Birokrasi tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional. Banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan negara yang “salah-urus” atau tidak mencapai hasil secara maksimal. Atas dasar “ketidakrasional” itu, Weber kemudian mengembangkan apa yang seharusnya (ideal typhus) melekat di sebuah birokrasi.
Turun Paksa Bis Kota
Senin, 01 Oktober 2012
Suatu hari saya harus menghadiri acara penting di kampus UGM. Karena sendirian, saya putuskan naik bis saja, lebih murah. Berangkat dari rumah saya usahakan pagi agar tiba di Jogja tidak terlalu sore. Meskipun di Ngawi telah tersedia terminal baru yang sangat luas (tapi sangat sepi) saya mengambil pilihan menanti bis di terminal lama. Pilihan itu pula yang dilakukan sebagian besar penumpang bis di Ngawi. Lebih mudah dan praktis.
Setelah agak lama datanglah bis Surabaya-Jogja. Tak disangka ternyata penuh, padahal ini bukanlah hari libur. Yah, akhirnya dengan kondisi penuh sesak, berdirilah saya berpegangan pada bangku penumpang sembari sesekali menepi jika ada pedagang asongan atau kernet yang melintas. Memasuki Sragen barulah saya mendapati bangku kosong. Jadi, paling tidak satu jam saya berdiri di dalam bis. Kesempatan duduk itu saya pergunakan sebaik-baiknya untuk memejamkan mata, meskipun susah untuk pulas.
Seperti biasa (maksudnya seperti biasa dulu waktu kuliah) saya tak turun di terminal tapi di pertigaan Janti. Kalau harus ke terminal untuk menuju kampus UGM terlalu jauh. Belum lagi bis kotanya juga tidak mengambil rute terdekat seperti kalau kita menggunakan kendaraan pribadi. Turun dari bis banyak tukang ojek menawarkan jasa. Dulu sepertinya tak sebanyak itu. Saya tolak karena saya sudah berniat untuk naik bis kota saja, lebih murah. Cukup menyeberang jalan menunggulah saya di sana, bersama beberapa ibu setengah baya.
Dulu (dulu itu maksudnya ya sekitar 10 tahun yang lalu) setiap saya turun dari bis Surabaya-Jogja dan menyeberang jalan, di sana pasti sudah menanti bis kota jurusan 7. Kadang-kadang malah ada dua. Bis jalur7 itulah yang siap mengantar ke kampus UGM. Tapi kali ini saya mengalami keanehan. Tidak ada bis kota sama sekali. Ah, paling-paling sedang belum sampai, pikir saya.
Setelah agak lama datanglah bis Surabaya-Jogja. Tak disangka ternyata penuh, padahal ini bukanlah hari libur. Yah, akhirnya dengan kondisi penuh sesak, berdirilah saya berpegangan pada bangku penumpang sembari sesekali menepi jika ada pedagang asongan atau kernet yang melintas. Memasuki Sragen barulah saya mendapati bangku kosong. Jadi, paling tidak satu jam saya berdiri di dalam bis. Kesempatan duduk itu saya pergunakan sebaik-baiknya untuk memejamkan mata, meskipun susah untuk pulas.
Seperti biasa (maksudnya seperti biasa dulu waktu kuliah) saya tak turun di terminal tapi di pertigaan Janti. Kalau harus ke terminal untuk menuju kampus UGM terlalu jauh. Belum lagi bis kotanya juga tidak mengambil rute terdekat seperti kalau kita menggunakan kendaraan pribadi. Turun dari bis banyak tukang ojek menawarkan jasa. Dulu sepertinya tak sebanyak itu. Saya tolak karena saya sudah berniat untuk naik bis kota saja, lebih murah. Cukup menyeberang jalan menunggulah saya di sana, bersama beberapa ibu setengah baya.
Dulu (dulu itu maksudnya ya sekitar 10 tahun yang lalu) setiap saya turun dari bis Surabaya-Jogja dan menyeberang jalan, di sana pasti sudah menanti bis kota jurusan 7. Kadang-kadang malah ada dua. Bis jalur7 itulah yang siap mengantar ke kampus UGM. Tapi kali ini saya mengalami keanehan. Tidak ada bis kota sama sekali. Ah, paling-paling sedang belum sampai, pikir saya.
Idul Fitri
Senin, 27 Agustus 2012
Selamat Idul Fitri 1433 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin...
Taqobbalallahu minna wa minkum taqobbal yaa karim...
Taqobbalallahu minna wa minkum taqobbal yaa karim...
Kami yang Senantiasa Merindukanmu
Rabu, 15 Agustus 2012
Aku masih ingat betul pertemuan pertama itu, beliau berkata "anggaplah aku ibumu sendiri. Ibumu sudah ndak ada toh?"
Hari - hari berikutnya tak banyak waktuku untuk berinteraksi dengan beliau. Jarak dan waktu jadi alasan. Saat berkunjung pun, aku tak bisa lagi menuntunnya ke mana-mana karena sibuk mengurusi bayiku. Beliau sempat menyesal "Maaf ya Nak, Uti tak bisa gendong kamu...."
Setahun belakangan, beliau tak bisa lagi bangun dari tempat tidurnya karena osteoporosis. Sungguh, itu ujian kesabaran bagi kami anak-anaknya. Tak heran mengapa sampai Rasulullah menyampaikan bahwa ”rugi, masih punya orang tua yang renta tapi tak bisa masuk surga”. Saat kami lelah dan merasa repot, kami ingat kembali bahwa dulu pasti beliau lebih repot dan lelah mengurus kelima anaknya.
Ah, ibu... cepat sekali waktu berlalu rupanya. Tanggal 7 Juli 2012 pukul 06.00 aku resmi kehilangan seorang ibu lagi selain ibu kandungku. Yang ada adalah penyesalan. Penyesalan tak bisa menemanimu di ujung usiamu, tak bisa memberimu yang terbaik.Penyesalan tak sempat memohon maaf atas segala khilafku.
Hari - hari berikutnya tak banyak waktuku untuk berinteraksi dengan beliau. Jarak dan waktu jadi alasan. Saat berkunjung pun, aku tak bisa lagi menuntunnya ke mana-mana karena sibuk mengurusi bayiku. Beliau sempat menyesal "Maaf ya Nak, Uti tak bisa gendong kamu...."
Setahun belakangan, beliau tak bisa lagi bangun dari tempat tidurnya karena osteoporosis. Sungguh, itu ujian kesabaran bagi kami anak-anaknya. Tak heran mengapa sampai Rasulullah menyampaikan bahwa ”rugi, masih punya orang tua yang renta tapi tak bisa masuk surga”. Saat kami lelah dan merasa repot, kami ingat kembali bahwa dulu pasti beliau lebih repot dan lelah mengurus kelima anaknya.
Ah, ibu... cepat sekali waktu berlalu rupanya. Tanggal 7 Juli 2012 pukul 06.00 aku resmi kehilangan seorang ibu lagi selain ibu kandungku. Yang ada adalah penyesalan. Penyesalan tak bisa menemanimu di ujung usiamu, tak bisa memberimu yang terbaik.Penyesalan tak sempat memohon maaf atas segala khilafku.
Pembangunan PNS, Antara Jepang dan Indonesia
Minggu, 12 Agustus 2012
Tasroh, Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang menulis opini di MEDIA INDONESIA, 18 Juli 2012 dengan judul Strategi Membangun PNS ala Jepang. Disampaikannya bahwa birokrasi Indonesia amat lekat dengan birokrasi kotor. Berbagai kasus yang mendera PNS kian menambah daftar panjang birokrat yang terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Wajar apabila citra birokrasi Indonesia amat terpuruk.
Menurut Tasroh, Pemerintah Indonesia sudah harus mengubah strategi pembangunan disiplin dan mutu aparaturnya. Salah satunya ialah strategi membangun ‘mental bersih’ ala Jepang yang sudah dilakukan pemerintah ‘Negeri Matahari Terbit’ itu sejak 1978. Pemerintah Jepang dikenal sebagai pemerintah yang amat ngopeni semua hasrat dan harapan birokrat/aparatur/pegawai layanan publik Jepang. Hal itu terlihat dari minimnya pelanggaran, penyelewengan, dan penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan oleh aparatur di satu sisi, serta jarangnya keluhan, protes, dan demonstrasi rakyat/warga Jepang atas hasil kerja dan kinerja pegawai pemerintah.
Mengutip pendapat pakar manajemen pemerintahan dari Kyoto University, Tadaro Hanna dalam bukunya Beyond Productive Mental of Japan’s Public Officials (1998), Tasroh menyebutkan salah satu penyebab mental ‘bersih’ ala Jepang terbangun karena dua faktor simultan yang dikembangkan pemerintah dari generasi ke generasi.
Pertama, negara/pemerintah mendorong tumbuhnya sanksi sosial. Untuk alasan itu, pemerintah Jepang melakukan langkah revolusioner, yakni dengan cara membangun sanksi sosial secara sistemis. Antara lain, setiap pegawai negeri di sana wajib menandatangani pakta integritas dan sosial terkait dengan perubahan perilaku dan mental selama menjadi pegawai/aparatur. Pakta itu diteken di bawah sumpah dengan disaksikan semua elemen negeri, termasuk para guru spiritual dan intelektual.
Menurut Tasroh, Pemerintah Indonesia sudah harus mengubah strategi pembangunan disiplin dan mutu aparaturnya. Salah satunya ialah strategi membangun ‘mental bersih’ ala Jepang yang sudah dilakukan pemerintah ‘Negeri Matahari Terbit’ itu sejak 1978. Pemerintah Jepang dikenal sebagai pemerintah yang amat ngopeni semua hasrat dan harapan birokrat/aparatur/pegawai layanan publik Jepang. Hal itu terlihat dari minimnya pelanggaran, penyelewengan, dan penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan oleh aparatur di satu sisi, serta jarangnya keluhan, protes, dan demonstrasi rakyat/warga Jepang atas hasil kerja dan kinerja pegawai pemerintah.
Mengutip pendapat pakar manajemen pemerintahan dari Kyoto University, Tadaro Hanna dalam bukunya Beyond Productive Mental of Japan’s Public Officials (1998), Tasroh menyebutkan salah satu penyebab mental ‘bersih’ ala Jepang terbangun karena dua faktor simultan yang dikembangkan pemerintah dari generasi ke generasi.
Pertama, negara/pemerintah mendorong tumbuhnya sanksi sosial. Untuk alasan itu, pemerintah Jepang melakukan langkah revolusioner, yakni dengan cara membangun sanksi sosial secara sistemis. Antara lain, setiap pegawai negeri di sana wajib menandatangani pakta integritas dan sosial terkait dengan perubahan perilaku dan mental selama menjadi pegawai/aparatur. Pakta itu diteken di bawah sumpah dengan disaksikan semua elemen negeri, termasuk para guru spiritual dan intelektual.
Label:
hukum,
peraturan,
pustaka,
tentang madiun,
tentang ngawi
Saya Merindukan
Kamis, 09 Agustus 2012
Saya merindukan sebuah negeri yang teduh. Sengat mentarinya hangat terasa selembut angin sutera. Iklim yang mengalir menyejukkan hati mendatangkan kedamaian. Manusianya tiada pernah bercaci maki apalagi saling membenci. Saya merindukan bibir ini berujar betapa ringannya tapak-tapak kaki melangkah maju beriring melaju ke timur ke barat tamannya semerbak bunga setaman, ke utara dan ke selatan telaganya cantik anggun nan jelita. Kumbang-kumbang tersenyum manis di sela-sela pepohonan tauhid menumbuhkan daun-daunan yang rindang.
Saya merindukan sebuah kampung yang aman sentausa. Panorama langit biru dan semburat awan bergerak menambah kharisma menaungi kehidupannya. Orang-orangnya suka bekerja keras mencari nafkah, pulang membawa rezeki yang bersih dan berkah, selamat dari percikan lumpur dan kotoran yang menodai zaman. Perempuannya jadi tidak suka bergunjing, hemat dengan kata-kata, tidak mendengki pada tetangga, bila bersedekah tanpa perhitungan apalagi berharap pengharapan, dan senyumnya sepanjang hari jadi hiasan. Anak-anak penghuninya senantiasa menyanyikan wahyu Tuhan sembari berlinangkan air mata, dengan referensi budi pekerti digali dari teladan kehidupan rasul kecintaan, dan mereka semua itu dalam sujud bersama tak putus-putus berdoa.
Saya merindukan sebuah rumah di mana pijar cahayanya berkilau berlapis-lapis bagai berkas sejajar turun meluncur, jelas arahannya dan sangat teratur dan masuk sanubari membawa rasa ikhlas dalam keseharian. Ensiklopedi di ruang tamunya adalah 30 jilid tafsir Al Qur’an, suara yang keluar dari bebunyian adalah alunan lembut kalam Ilahi. Rumah itu berpondasikan takwa, berlantaikan syariah, berdindingkan akidah, berpoleskan akhlakul karimah, berjendelakan bashirah, berpintukan Islam, berpendingin iman, beratapkan ihsan. Pekarangan rumahnya penuh ditumbuhi kembang-kembang tawadhu’ dipagari berkeliling jernih warna fikrah, kokoh sekali. Tumpukan tanah di dalamnya, bertinggi berendah, tempat bernaung binatang-binatang memuji berzikir di sela rerimbun rerumputan nan berbaris berumpun menantikan siraman kasih sayang setiap kala.
Saya merindukan sebuah keluarga yang menorehkan cahaya kebenaran Ilahi. Bisikan lembut suara syukur dan doa terpanjat memaknai hakekat amanah yang diemban. Qonaah dan berzuhud menjadi acuan gerak nafas dalam menapaki tilasan jalan agar tidak tergelincir ke lembah nista. Sang bunda bersahaja mengasuh si buah hati menjaga arti cinta kasih berbalutkan kesetiaan dan ketakwaan dengan senyum yang riang pancarkan binar harapan. Anak-anaknya di malam hari rajin terpekur mengkaji lautan ilmu sembari membelakangi televisi yang padam di tengah ruangan yang wangi semerbak bersih dari asap.
Saya merindukan sebuah kampung yang aman sentausa. Panorama langit biru dan semburat awan bergerak menambah kharisma menaungi kehidupannya. Orang-orangnya suka bekerja keras mencari nafkah, pulang membawa rezeki yang bersih dan berkah, selamat dari percikan lumpur dan kotoran yang menodai zaman. Perempuannya jadi tidak suka bergunjing, hemat dengan kata-kata, tidak mendengki pada tetangga, bila bersedekah tanpa perhitungan apalagi berharap pengharapan, dan senyumnya sepanjang hari jadi hiasan. Anak-anak penghuninya senantiasa menyanyikan wahyu Tuhan sembari berlinangkan air mata, dengan referensi budi pekerti digali dari teladan kehidupan rasul kecintaan, dan mereka semua itu dalam sujud bersama tak putus-putus berdoa.
Saya merindukan sebuah rumah di mana pijar cahayanya berkilau berlapis-lapis bagai berkas sejajar turun meluncur, jelas arahannya dan sangat teratur dan masuk sanubari membawa rasa ikhlas dalam keseharian. Ensiklopedi di ruang tamunya adalah 30 jilid tafsir Al Qur’an, suara yang keluar dari bebunyian adalah alunan lembut kalam Ilahi. Rumah itu berpondasikan takwa, berlantaikan syariah, berdindingkan akidah, berpoleskan akhlakul karimah, berjendelakan bashirah, berpintukan Islam, berpendingin iman, beratapkan ihsan. Pekarangan rumahnya penuh ditumbuhi kembang-kembang tawadhu’ dipagari berkeliling jernih warna fikrah, kokoh sekali. Tumpukan tanah di dalamnya, bertinggi berendah, tempat bernaung binatang-binatang memuji berzikir di sela rerimbun rerumputan nan berbaris berumpun menantikan siraman kasih sayang setiap kala.
Saya merindukan sebuah keluarga yang menorehkan cahaya kebenaran Ilahi. Bisikan lembut suara syukur dan doa terpanjat memaknai hakekat amanah yang diemban. Qonaah dan berzuhud menjadi acuan gerak nafas dalam menapaki tilasan jalan agar tidak tergelincir ke lembah nista. Sang bunda bersahaja mengasuh si buah hati menjaga arti cinta kasih berbalutkan kesetiaan dan ketakwaan dengan senyum yang riang pancarkan binar harapan. Anak-anaknya di malam hari rajin terpekur mengkaji lautan ilmu sembari membelakangi televisi yang padam di tengah ruangan yang wangi semerbak bersih dari asap.
Label:
album,
keluarga,
oase,
pustaka,
saat kuliah
Stigma Teroris
Senin, 06 Agustus 2012
"Banyak orang berpendapat bahwa perang antara komunisme dengan Barat akan segera digantikan oleh perang antara Barat dengan Muslim." (William Pfaff)
Benarkah ramalan bahwa Islam dan Barat suatu saat akan mengalami perbenturan? Apakah Islam sebagai suatu keyakinan yang dipeluk oleh banyak manusia akan menjadi ancaman peradaban dan kepentingan bagi Barat? Inilah pertanyaan kritis saat ini.
Jauh sebelumnya pada tahun 1993, guru besar studi strategis pada Havard University, Samuel Huntington telah mengemukakan tesisnya yang sangat kontroversial, the Clash of Civilization. Ia memprediksikan akan terjadi ketegangan yang semakin parah antara peradaban Islam dan Barat pasca perang dingin.
Huntington mengemukakan lima alasan mengapa benturan peradaban menjadi sumber konflik. Pertama, perbedaan peradaban tidak hanya real, tapi juga mendasar. Kedua, dunia kini sudah kian menyempit sehingga interaksi antara orang yang berbeda peradaban akan semakin meningkat. Ketiga, peran Barat yang begitu dominan menimbulkan reaksi. Keempat, perbedaan budaya kurang bisa menyatukan, dibanding perbedaan ekonomi dan politik. Kelima, kesadaran peradaban bukanlah raison d’etre utama terbentuknya regionalisme politik atau ekonomi.
Tesis ini segera menimbulkan perdebatan di antara ilmuwan, bahkan sebagian kalangan menganggap tesis ini sebagai fantasi belaka. Orang-orang pun menganggap teori ini secara faktual maupun ilmiah lemah. Apalagi di dalam teori tersebut, dalam menghadapi Barat, Islam akan berkolaborasi dengan Konfusionisme. Namun terlepas dari krtitik-kritik yang disampaikan oleh tokoh-tokoh lain terhadap tesis Huntington, kita perlu menyadari bahwa ternyata Dunia Barat tampaknya was-was juga akan kebangkitan Islam.
Label:
album,
coretan,
oase,
pustaka,
saat kuliah,
serba-serbi
Untukmu Ukhti
Kamis, 02 Agustus 2012
komiocykid.wordpress.com |
Teriring hembusan lembut angin yang menerpa wajah, terasa segar. Melambaikan dedaunan bergemisik dan tak luput berguguran di bumi, sebagian. Rintik air itu pun hampir usai menangis. Tanah ini masih basah, meninggalkan genangan-genangan air yang tampak keruh kecoklatan. Dan terkadang memantulkan kembali sinar sang surya yang tampak malu-malu tersenyum. Wajahnya bersemu merah timbul tenggelam di balik awan nan berarak-arak. Sebentar lagi kembali ke peraduannya. Purna sudah tugasnya di belahan bumi ini. Sesaat lagi sang rembulan akan menampakkan pijar penerangan. Bertemankan kerlap-kerlip bintang di langit bak lentera beribu-ribu. Tak jemu-jemu. Kan kutuliskan memori alam itu untuk mengukir kenangan tentang kaummu wahai wanita. Ukhti, jangan pernah jemu. Jadilah melati yang menebarkan aroma lembut keharuman. Di mana pun berada. Apa pun namanya, melati kan tetap wangi. Dan kalianlah melati itu.
Ukhti...
Sesekali suara kelepak sayap burung yang hinggap di pucuk pepohonan itu terdengar. Setelah itu hening kembali. Senyap. Kesunyian yang datang tiba-tiba menyergap melahirkan kembali jalinan kisah yang telah lalu. Usang memang, tapi tetap terpatri di dalam angan. Terkenang kembali masa lalu. Teringat kembali sosok-sosok yang dulu terlihat asing dalam pandangan. Ada keanehan dan kejanggalan terasa tatkala langkah-langkah itu begitu tegar berpijak di negeri ini. Kenapa Ukhti? Kenapa kalian begitu kuatnya menutupi apa yang biasa ditampakkan oleh sebagian kaummu. Tidakkah itu keterbelakangan. Tidakkah itu kemunduran. Apa yang kalian banggakan dengan busana yang hanya menyisakan muka dan telapak tangan. Kadang mereka yang kebanyakan itu mengatakanmu dengan nada sinis, bahwa itu kuno, kolot, ekstrem, dan ketinggalan jaman. Aku takjup. Kalian membalasnya hanya dengan senyuman tulus kedamaian dan memahamkannya dengan lemah lembut. Aku heran, aku heran. Dan aku masih terus mencari jawaban demi jawaban. Tapi itu dulu. Sampai kemudian berlabuhlah hati ini ke pantai kedamaian. Telah tertambat perasaan memenuhi kalbu syiar agama Islam. Dan sekaligus memahami kalian. Terjawablah sudah.
Ukhti...
Rerumputan di hadapan ini masih tetap menyegarkan, hijau menyala. Basah memang, tapi menyejukkan tatapan. Kadang kerontang diterpa terik mentari yang teramat sangat ketika siang. Bunga-bunga pun gerah kepanasan, luruh menunduk. Entahlah, apa yang kupikirkan sesaat ini pernah jua kalian pikirkan. Tidakkah kalian rasakan betapa tidak nyamannya berpakaian lebar sedangkan matahari begitu semangat membakar. Peluhku saja bercucuran bahka rambutku pun sampai kemerahan. Duhai, apa yang kalian rasakan. Kecintaan kepada Rabbmu lebih dirasakan daripada sekadar panas terik menggelegar. Kalian tebarkan keindahan di tengah kekeringan. Dan kalian teduhkan panas menjadi sejuk membeku. Keteguhan yang kuat sedahsyat karang berbatu.
Label:
album,
oase,
saat kuliah,
serba-serbi
Santun Berkendara
Selasa, 31 Juli 2012
Jalanan di Ngawi terjenal sebagai jalur maut. Sering terjadi kecelakaan dengan korban jiwa yang tak sedikit. Jalur Ngawi-Geneng, Ngawi-Mantingan, dan Ngawi-Karangjati adalah beberapa di antaranya. Jalanan di Ngawi memang berbahaya, banyak yang rusak. Penyebabnya sih katanya tanah yang labil. Orang sering menyebutnya tanah gerak. Alhasil jalan yang baru saja diaspal beberapa tahun kemudian kembali rusak. Inilah yang menyebabkan kecelakaan.
Masih ingat artis kawakan Sopan Sofian. Ia mengalami kecelakaan di jalur Ngawi-Mantingan dalam rombongan tur mogenya. Maut pun merenggut nyawa. Saat itu jalanan dianggap sebagai biang keladi penyebabnya. Pasca itu, jalanan Ngawi-Mantingan mulus diperbaiki. Orang-orang yang bilang, kayaknya harus nunggu adanya tumbal dulu baru jalanan diperbaiki.
Namun menyalahkan rusaknya jalan semata juga bukan pikiran yang bijak. Ada pula faktor yang berperan di dalamnya yakni manusia. Kesadaran pengendara dituntut agar kelancaran berkendara menjadi terjamin.
Setiap berangkat ke kantor saya pasti melewati pertigaan Karangasri. Tempatnya strategis, menghubungkan jalur ke luar kota. Ke arah timur merupakan jalur ke Surabaya, sedangkan ke barat merupakan jalur ke Solo, sedangkan ke utara merupakan jalur menuju Bojonegoro. Agak ke utara sedikit, terutama jika malam hari banyak kendaraan berat yang ngetem di sana sebelum melanjutkan perjalanan. Pertigaan ini ditandai dengan adanya taman yang indah yang dibangun dengan sponsor salah satu bank daerah.
Masih ingat artis kawakan Sopan Sofian. Ia mengalami kecelakaan di jalur Ngawi-Mantingan dalam rombongan tur mogenya. Maut pun merenggut nyawa. Saat itu jalanan dianggap sebagai biang keladi penyebabnya. Pasca itu, jalanan Ngawi-Mantingan mulus diperbaiki. Orang-orang yang bilang, kayaknya harus nunggu adanya tumbal dulu baru jalanan diperbaiki.
Namun menyalahkan rusaknya jalan semata juga bukan pikiran yang bijak. Ada pula faktor yang berperan di dalamnya yakni manusia. Kesadaran pengendara dituntut agar kelancaran berkendara menjadi terjamin.
Setiap berangkat ke kantor saya pasti melewati pertigaan Karangasri. Tempatnya strategis, menghubungkan jalur ke luar kota. Ke arah timur merupakan jalur ke Surabaya, sedangkan ke barat merupakan jalur ke Solo, sedangkan ke utara merupakan jalur menuju Bojonegoro. Agak ke utara sedikit, terutama jika malam hari banyak kendaraan berat yang ngetem di sana sebelum melanjutkan perjalanan. Pertigaan ini ditandai dengan adanya taman yang indah yang dibangun dengan sponsor salah satu bank daerah.
Label:
album,
keluarga,
oase,
pustaka,
tentang madiun
Survei Toleransi
Sabtu, 28 Juli 2012
Penelitian lembaga studi Center of Strategic and International Studies menunjukkan toleransi beragama orang Indonesia tergolong rendah. "Masyarakat menerima fakta bahwa mereka hidup di tengah keberagaman. Tapi, mereka ragu-ragu menoleransi keberagaman," kata Kepala Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Philips Vermonte, dalam diskusi bertajuk "Demokrasi Minim Toleransi" di kantornya. (tempo.co.id, 5 Juni 2012).
Philips mencontohkan, masyarakat menerima kenyataan hidup bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Tapi, masyarakat relatif enggan memberikan kesempatan kepada tetangganya untuk mendirikan rumah ibadah. Dalam survei CSIS, sebanyak 59,5 persen responden tidak berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain. Sekitar 33,7 persen lainnya menjawab sebaliknya. Penelitian dilakukan pada Februari lalu di 23 provinsi dan melibatkan 2.213 responden. Saat ditanya soal pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya, sebanyak 68,2 persen responden menyatakan lebih baik hal itu tidak dilakukan. Hanya 22,1 persen yang tidak berkeberatan.
Saya tidak membaca secara lengkap hasil survei CSIS karena memang tidak tersedia bahannya secara luas, apalagi dipublikasikan secara online. Barangkali hanya wartawan yang memiliki, yang kemudian dipublikasikan dalam medianya. Itu pun tidak seluruhnya. Mudah-mudahan apa yang saya baca di media sama dengan hasil survei CSIS. Berdasarkan angka-angka survei di atas, CSIS (dalam hal ini Philips sebagai salah satu Kadep) menyimpulkan tingkat toleransi beragama masyarakat ternyata masih rendah.
Ada yang ingin saya sampaikan di sini. Pertama, saya masih belum bisa mengerti dengan angka-angka. Maafkanlah saya yang bukan ahli statistik. 33,7 persen berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain, padahal persentase yang lebih banyak (59,5) tidak keberatan, tapi hasil akhirnya malah disimpulkan intoleran. Selain itu saya rasa setiap orang memiliki pendapat pribadi, termasuk dengan siapa ingin bertetangga. Termasuk pula dengan siapa ia ingin berkenalan, dengan siapa ia ingin berteman, dengan siapa ia ingin menikah, dan sebagainya. Pendapat seperti ini sebenarnya wajar-wajar saja. Yang dilarang bila mengganggu orang lain.
Philips mencontohkan, masyarakat menerima kenyataan hidup bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Tapi, masyarakat relatif enggan memberikan kesempatan kepada tetangganya untuk mendirikan rumah ibadah. Dalam survei CSIS, sebanyak 59,5 persen responden tidak berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain. Sekitar 33,7 persen lainnya menjawab sebaliknya. Penelitian dilakukan pada Februari lalu di 23 provinsi dan melibatkan 2.213 responden. Saat ditanya soal pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya, sebanyak 68,2 persen responden menyatakan lebih baik hal itu tidak dilakukan. Hanya 22,1 persen yang tidak berkeberatan.
Saya tidak membaca secara lengkap hasil survei CSIS karena memang tidak tersedia bahannya secara luas, apalagi dipublikasikan secara online. Barangkali hanya wartawan yang memiliki, yang kemudian dipublikasikan dalam medianya. Itu pun tidak seluruhnya. Mudah-mudahan apa yang saya baca di media sama dengan hasil survei CSIS. Berdasarkan angka-angka survei di atas, CSIS (dalam hal ini Philips sebagai salah satu Kadep) menyimpulkan tingkat toleransi beragama masyarakat ternyata masih rendah.
Ada yang ingin saya sampaikan di sini. Pertama, saya masih belum bisa mengerti dengan angka-angka. Maafkanlah saya yang bukan ahli statistik. 33,7 persen berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain, padahal persentase yang lebih banyak (59,5) tidak keberatan, tapi hasil akhirnya malah disimpulkan intoleran. Selain itu saya rasa setiap orang memiliki pendapat pribadi, termasuk dengan siapa ingin bertetangga. Termasuk pula dengan siapa ia ingin berkenalan, dengan siapa ia ingin berteman, dengan siapa ia ingin menikah, dan sebagainya. Pendapat seperti ini sebenarnya wajar-wajar saja. Yang dilarang bila mengganggu orang lain.
Eksisnya Kelas Jauh
Rabu, 25 Juli 2012
Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Departemen Pendidikan
Nasional pada tahun 2007 menegaskan bahwa kelas jauh/kelas khusus/kelas
eksekutif bukanlah terminologi resmi Departemen Pendidikan Nasional,
dengan demikian istilah itu tidak dikenal. Istilah tersebut (kelas jauh
dan semacamnya) hanya digunakan oleh perguruan tinggi (PT) dalam upaya
menarik minat calon mahasiswa. Penyeleggaraan kelas jauh dan semacamnya
tidak sesuai dengan kaidah dan norma pendidikan tinggi dan Dirjen Dikti
mengancam akan menindak tegas para penyelenggaranya.
Dalam suratnya kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang bernomor 1506/D/T/2005 tanggal 16 Mei 2005 tersebut Dirjen Dikti mengusulkan kepada BKN untuk dapat menerapkan tambahan persyaratan dalam rangka penerapan civil effect. Hal ini dimaksud untuk memberikan keadilan bagi lulusan PT yang menempuh pendidikan melalui program reguler. Adapun tambahan persyaratan itu adalah jaminan dari pimpinan PT bahwa tidak ada kelas jauh dan semacamnya, dan bila ternyata ada maka penetapan civil effectnya akan dibatalkan. Civil efect ini berkaitan dengan pengelolaan kepegawaian PNS antara lain penerimaan CPNS, penyesuaian ijazah, kenaikan pangkat, dan promosi jabatan.
Namun sepertinya ancaman penyelenggaraan kelas jauh dianggap angin lalu. Masih banyak yang melanggarnya karena pada tahun 2007 Dirjen Dikti mengeluarkan lagi surat yang ditujukan kepada Kepala BKN termasuk seluruh regionalnya, Kepala BKD, Bupati, dan Koordinator Kopertis se-Indonesia. Dalam surat itu disebutkan bahwa masih banyak penyelenggaraan pendidikan dengan model ”Kelas Jauh dan Kelas Sabtu-Minggu”. Penyelenggaraan pendidikan tersebut melanggar norma dan kaidah akademik yang kualitas penyelenggaraan dan lulusannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Jauh sebelumnya Dikti sejak tahun 1997 telah melarang penyelenggaraan pendidikan model ”Kelas Jauh dan Kelas Sabtu Minggu” dan menetapkan bahwa ijazah yang dikeluarkan tidak sah dan tidak dapat digunakan terhadap pengangkatan maupun pembinaan jenjang karir/penyetaraan bagi pegawai negeri.
Dalam suratnya kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang bernomor 1506/D/T/2005 tanggal 16 Mei 2005 tersebut Dirjen Dikti mengusulkan kepada BKN untuk dapat menerapkan tambahan persyaratan dalam rangka penerapan civil effect. Hal ini dimaksud untuk memberikan keadilan bagi lulusan PT yang menempuh pendidikan melalui program reguler. Adapun tambahan persyaratan itu adalah jaminan dari pimpinan PT bahwa tidak ada kelas jauh dan semacamnya, dan bila ternyata ada maka penetapan civil effectnya akan dibatalkan. Civil efect ini berkaitan dengan pengelolaan kepegawaian PNS antara lain penerimaan CPNS, penyesuaian ijazah, kenaikan pangkat, dan promosi jabatan.
Namun sepertinya ancaman penyelenggaraan kelas jauh dianggap angin lalu. Masih banyak yang melanggarnya karena pada tahun 2007 Dirjen Dikti mengeluarkan lagi surat yang ditujukan kepada Kepala BKN termasuk seluruh regionalnya, Kepala BKD, Bupati, dan Koordinator Kopertis se-Indonesia. Dalam surat itu disebutkan bahwa masih banyak penyelenggaraan pendidikan dengan model ”Kelas Jauh dan Kelas Sabtu-Minggu”. Penyelenggaraan pendidikan tersebut melanggar norma dan kaidah akademik yang kualitas penyelenggaraan dan lulusannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Jauh sebelumnya Dikti sejak tahun 1997 telah melarang penyelenggaraan pendidikan model ”Kelas Jauh dan Kelas Sabtu Minggu” dan menetapkan bahwa ijazah yang dikeluarkan tidak sah dan tidak dapat digunakan terhadap pengangkatan maupun pembinaan jenjang karir/penyetaraan bagi pegawai negeri.
Label:
album,
keluarga,
pustaka,
saat kuliah
Oknum, Si Kambing Hitam
Minggu, 22 Juli 2012
Sekali lagi muncul kasus yang melibatkan pegawai pajak. Seorang pegawai pajak memiliki rekening dengan jumlah milyaran yang diduga diperoleh dengan cara yang tak benar. Suatu angka yang mencengangkan ditilik statusnya sebagai pegawai negeri sipil. Publik mereaksi dengan menyimpulkan bahwa mafia pajak tak pernah mati.
Dulu kita dihebohkan dengan Gayus, pegawai pajak yang kini mendekam di bui. Kasusnya juga bermula dengan kecurigaan adanya milyaran rupiah di rekening. Kasus Gayus amat menarik, karena dampaknya mengenai pula beberapa orang. Akibat dari terbongkarnya kasus ini, beberapa jenderal polisi, pejabat kejaksaan, kehakiman, dan aparat dari Departemen Keuangan kehilangan jabatan dan diperiksa atas dugaan bersekongkol untuk merugikan negara.
Mendekamnya Gayus di penjara tak membuat kebebasannya lenyap. Terbukti ia bisa menyaksikan pertandingan tenis di pulau Bali. Ternyata tempat tahanan di Markas Besar Brimob, satuan elit kepolisian, mudah saja ditembusnya. Polisi yang menjaganya dijatah jutaan rupiah setiap kali ia keluar penjara.
Munculnya kasus di berbagai instansi pemerintah dan penegak hukum membuat heran sekaligus geram masyarakat. Heran karena dengan sistem yang dibuat sedemikian rupa, baik ancaman sanksi maupun iming-iming remunerasi, toh uang negara tetap saja digarong. Geram, karena rakyat yang semakin terhimpit beban hidupnya dipaksa menyaksikan polah tingkah abdi negara. Terulang dan terus terulang. Tak sedikit rakyat yang menginginkan pengadilan jalanan. Banyak pula yang mengeluarkan uneg-uneg melalui situs jejaring sosial mengecam koruptor. Penjarakan seumur hidup, hukum mati, tembak di tempat, gantung, miskinkan koruptor adalah sebagian harapan.
Dulu kita dihebohkan dengan Gayus, pegawai pajak yang kini mendekam di bui. Kasusnya juga bermula dengan kecurigaan adanya milyaran rupiah di rekening. Kasus Gayus amat menarik, karena dampaknya mengenai pula beberapa orang. Akibat dari terbongkarnya kasus ini, beberapa jenderal polisi, pejabat kejaksaan, kehakiman, dan aparat dari Departemen Keuangan kehilangan jabatan dan diperiksa atas dugaan bersekongkol untuk merugikan negara.
Mendekamnya Gayus di penjara tak membuat kebebasannya lenyap. Terbukti ia bisa menyaksikan pertandingan tenis di pulau Bali. Ternyata tempat tahanan di Markas Besar Brimob, satuan elit kepolisian, mudah saja ditembusnya. Polisi yang menjaganya dijatah jutaan rupiah setiap kali ia keluar penjara.
Munculnya kasus di berbagai instansi pemerintah dan penegak hukum membuat heran sekaligus geram masyarakat. Heran karena dengan sistem yang dibuat sedemikian rupa, baik ancaman sanksi maupun iming-iming remunerasi, toh uang negara tetap saja digarong. Geram, karena rakyat yang semakin terhimpit beban hidupnya dipaksa menyaksikan polah tingkah abdi negara. Terulang dan terus terulang. Tak sedikit rakyat yang menginginkan pengadilan jalanan. Banyak pula yang mengeluarkan uneg-uneg melalui situs jejaring sosial mengecam koruptor. Penjarakan seumur hidup, hukum mati, tembak di tempat, gantung, miskinkan koruptor adalah sebagian harapan.
Label:
album,
keluarga,
pustaka,
saat kuliah
Macan Kertas UU Sisdiknas
Kamis, 19 Juli 2012
Beberapa tahun lalu timbul polemik tentang munculnya kelas jauh yang dilakukan oleh tiga perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka, yakni UGM, ITB, dan Unpad. UGM membuka kampus cabang di Jakarta untuk Program Magister Manajemen, tempatnya di bekas kantor pusat Bapindo. Para peminat kuliah pasca sarjana tak perlu repot-repot datang ke Bulaksumur Yogya untuk mendapatkan materi perkuliahan. Cukup kuliah di Gondangdia mereka bisa mendapatkan ijazah dari UGM.
Sama dengan UGM, ITB membuka kelas jauh di luar Bandung yakni kampus pasca sarjana di Lippo Cikarang, Bekasi. Sedangkan Unpad membuka kampus barunya di Bank Bumi Daya Plaza, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat.
Program "kelas jauh" itu pun menjadi perbincangan. Sempat timbul polemik di media massa. Pasalnya, Departemen Pendidikan Nasional dengan tegas melarangnya. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) melayangkan surat peringatan. Surat itu ditujukan kepada tiga perguruan tinggi yang bersikeras membuka program kelas jauhnya: UGM, ITB, dan Unpad.
Dirjen Dikti telah berkali-kali memperingatkan ketiga perguruan tinggi itu. Dalam surat terakhirnya, ia mengancam segera menjatuhkan sanksi jika perintah menutup program kelas jauh tetap tak diindahkan. Hukumannya seram: pemerintah tak akan memberi subsidi dan dukungan fasilitas. Proses kenaikan jabatan dan pangkat dosennya akan ditunda. Tapi, dari pihak kampus sepertinya tak terpengaruh oleh ancaman tersebut. Kelas jauh pun jalan terus. Tak jelas apakah sanksi itu benar-benar dijatuhkan atau tidak.
Sama dengan UGM, ITB membuka kelas jauh di luar Bandung yakni kampus pasca sarjana di Lippo Cikarang, Bekasi. Sedangkan Unpad membuka kampus barunya di Bank Bumi Daya Plaza, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat.
Program "kelas jauh" itu pun menjadi perbincangan. Sempat timbul polemik di media massa. Pasalnya, Departemen Pendidikan Nasional dengan tegas melarangnya. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) melayangkan surat peringatan. Surat itu ditujukan kepada tiga perguruan tinggi yang bersikeras membuka program kelas jauhnya: UGM, ITB, dan Unpad.
Dirjen Dikti telah berkali-kali memperingatkan ketiga perguruan tinggi itu. Dalam surat terakhirnya, ia mengancam segera menjatuhkan sanksi jika perintah menutup program kelas jauh tetap tak diindahkan. Hukumannya seram: pemerintah tak akan memberi subsidi dan dukungan fasilitas. Proses kenaikan jabatan dan pangkat dosennya akan ditunda. Tapi, dari pihak kampus sepertinya tak terpengaruh oleh ancaman tersebut. Kelas jauh pun jalan terus. Tak jelas apakah sanksi itu benar-benar dijatuhkan atau tidak.
Label:
album,
keluarga,
pustaka,
saat kuliah
Menyopankan Pelacur
Senin, 16 Juli 2012
Orang bilang pelacuran telah terjadi sepanjang sejarah manusia. Pelacuran muncul sebagai akibat kebutuhan manusia yang bersifat biologis. Sebenarnya agama telah menyediakan pranata berupa perkawinan. Antara laki-laki dan perempuan yang terikat dalam suatu perkawinan mendapatkan kesempatan menikmati hubungan biologis secara sah. Namanya juga manusia, perintah agama pun diabaikan. Sebagaimana kebutuhan akan makan dan minum, dalam hal ini ada pula manusia yang melanggar. Kebutuhan makan dan minum dilanggar dengan mencuri. Agar hasil lebih besar lagi dengan merampok. Kebutuan biologis dipenuhi dengan mendatangi pelacur. Maka, pencurian, perampokan, dan pelacuran pun menjadi bagian kriminal.
Pelacur menurut kamus Bahasa Indonesia artinya perempuan yang melacur. Melacur sendiri berarti menjual dirinya dengan imbalan uang. Dengan uang itu seorang perempuan bersedia melakukan hubungan biologis dengan orang lain. Bukan karena cinta, bukan pula karena ikatan perkawinan, tetapi lebih karena hubungan dagang. Istilah lain pelacur adalah sundal. Dulu malah ada istilah yang lebih kasar yakni lonte. Namun seiring berkembangnya jaman istilah pelacur berubah menjadi wanita tuna susila (WTS). Tapi, tetap saja mengacu pada perempuan.
Tuna artinya luka, kurang, rusak, atau tidak memiliki. Tuna secara umum biasanya berkaitan dengan kurang atau tidak sempurnanya fungsi bagian tubuh serta mental. Tuna netra berarti buta alias terganggu penglihatannya. Tuna daksa berarti cacat tubuh alias terganggu alat geraknya. Tuna grahita berarti keterbelakangan mental alias terganggu intelegensinya. Tuna rungu berarti tuli alias terganggu pendengarannya. Tuna wicara berarti bisu alias terganggu lisannya. Ada sekolah khusus bagi orang-orang (anak-anak) ini yakni Sekolah Luar Biasa. Untuk pendidikan negara memberikan kesempatan. Banyak pula di antara mereka yang berhasil dengan berwiraswasta.
Lalu bagaimana dengan tuna susila? Berbeda dengan tuna yang lain, negara dengan aparatnya seringkali memburunya untuk ditangkap. Mereka bukan terganggu, malah dianggap mengganggu ketertiban umum. Tuna susila berarti tidak punya susila, kesopanan. Dengan demikian wanita tuna susila mengandung arti wanita yang tidak memiliki kesopanan. Hal ini berkaitan dengan pekerjaannya yakni menjual tubuh yang menurut agama dan hukum dilarang. Entahlah apakah SLB juga menampung penyandang ini atau tidak. Saya rasa tidak. Wanita tuna susila biasanya dikumpulkan dalam area tertentu yang dinamakan lokalisasi. Ada pajak yang disetor ke negara. Di sinilah negara menemukan anomalinya. Menerima upeti dari perkara yang dilarangnya.
Pelacur menurut kamus Bahasa Indonesia artinya perempuan yang melacur. Melacur sendiri berarti menjual dirinya dengan imbalan uang. Dengan uang itu seorang perempuan bersedia melakukan hubungan biologis dengan orang lain. Bukan karena cinta, bukan pula karena ikatan perkawinan, tetapi lebih karena hubungan dagang. Istilah lain pelacur adalah sundal. Dulu malah ada istilah yang lebih kasar yakni lonte. Namun seiring berkembangnya jaman istilah pelacur berubah menjadi wanita tuna susila (WTS). Tapi, tetap saja mengacu pada perempuan.
Tuna artinya luka, kurang, rusak, atau tidak memiliki. Tuna secara umum biasanya berkaitan dengan kurang atau tidak sempurnanya fungsi bagian tubuh serta mental. Tuna netra berarti buta alias terganggu penglihatannya. Tuna daksa berarti cacat tubuh alias terganggu alat geraknya. Tuna grahita berarti keterbelakangan mental alias terganggu intelegensinya. Tuna rungu berarti tuli alias terganggu pendengarannya. Tuna wicara berarti bisu alias terganggu lisannya. Ada sekolah khusus bagi orang-orang (anak-anak) ini yakni Sekolah Luar Biasa. Untuk pendidikan negara memberikan kesempatan. Banyak pula di antara mereka yang berhasil dengan berwiraswasta.
Lalu bagaimana dengan tuna susila? Berbeda dengan tuna yang lain, negara dengan aparatnya seringkali memburunya untuk ditangkap. Mereka bukan terganggu, malah dianggap mengganggu ketertiban umum. Tuna susila berarti tidak punya susila, kesopanan. Dengan demikian wanita tuna susila mengandung arti wanita yang tidak memiliki kesopanan. Hal ini berkaitan dengan pekerjaannya yakni menjual tubuh yang menurut agama dan hukum dilarang. Entahlah apakah SLB juga menampung penyandang ini atau tidak. Saya rasa tidak. Wanita tuna susila biasanya dikumpulkan dalam area tertentu yang dinamakan lokalisasi. Ada pajak yang disetor ke negara. Di sinilah negara menemukan anomalinya. Menerima upeti dari perkara yang dilarangnya.
Kaburnya Penafsiran Kelas Jauh
Jumat, 13 Juli 2012
Periode kenaikan pangkat PNS pada bulan April 2012 lalu di daerah saya (Ngawi) menyisakan sedikit persoalan. Paling tidak ada 3 PNS yang terganjal kenaikan pangkatnya gara-gara ijazah. Ketiganya masing-masing lulusan perguruan tinggi yang kampusnya berlokasi di Yogya, Malang, dan Surabaya. Ketiganya memperoleh gelar sarjana di saat telah menjadi PNS. Dengan demikian proses perkuliahan hingga lulus dilaksanakan saat mereka berstatus PNS. BKN tidak dapat memroses kenaikan pangkatnya karena ijazah yang diperoleh dianggap sebagai produk kelas jauh.
Bisa dimaklumi jika BKN memberikan alasan sebagai kelas jauh. Logikanya untuk mendapatkan ijazah maka harus menjalani proses perkuliahan di kampus. Sedangkan lokasi kampus itu sendiri berada di luar Ngawi. Paling tidak untuk menempuh Yogya, Malang, atau Surabaya membutuhkan waktu 4 jam dengan kendaraan umum. Namun kenyataannya mereka berhasil menggondol ijazah, sedangkan di sisi lain mereka bukanlah peserta tugas belajar yang diberikan kesempatan untuk meninggalkan dinas. Dengan demikian tidaklah mungkin ijazah itu diperoleh bila tidak menggunakan model kelas jauh. Demikianlah kira-kira logika penolakan kenaikan pangkat.
Memang pemerintah melarang kelas jauh atau terminologi sejenis. Beberapa kali Dirjen Dikti mengeluarkan surat edaran. Yang saya catat setidaknya ada 8 SE yakni pada tanggal 7 Januari 1988, 21 Oktober 1997, 4 Agustus 2000, 20 September 2000, 23 September 2002, 16 Mei 2005, 27 Februari 2007, dan 15 Juli 2011. PT yang menyelenggarakan kelas jauh terancam sanksi. Namun sayangnya ancaman tersebut tidak begitu diindahkan, terbukti sampai sekarang pun kelas jauh masih marak.
Selain itu belum jelas pula tentang pendefinisian kelas jauh. Kenapa sebuah program studi dikategorikan sebagai kelas jauh. BKN sendiri selama ini belum pernah memberikan aturan secara formal dan tertulis tentang kelas jauh. Maka, bisa dimaklumi jika di tengah masyarakat versi kelas jauh pun beragam.
Bisa dimaklumi jika BKN memberikan alasan sebagai kelas jauh. Logikanya untuk mendapatkan ijazah maka harus menjalani proses perkuliahan di kampus. Sedangkan lokasi kampus itu sendiri berada di luar Ngawi. Paling tidak untuk menempuh Yogya, Malang, atau Surabaya membutuhkan waktu 4 jam dengan kendaraan umum. Namun kenyataannya mereka berhasil menggondol ijazah, sedangkan di sisi lain mereka bukanlah peserta tugas belajar yang diberikan kesempatan untuk meninggalkan dinas. Dengan demikian tidaklah mungkin ijazah itu diperoleh bila tidak menggunakan model kelas jauh. Demikianlah kira-kira logika penolakan kenaikan pangkat.
Memang pemerintah melarang kelas jauh atau terminologi sejenis. Beberapa kali Dirjen Dikti mengeluarkan surat edaran. Yang saya catat setidaknya ada 8 SE yakni pada tanggal 7 Januari 1988, 21 Oktober 1997, 4 Agustus 2000, 20 September 2000, 23 September 2002, 16 Mei 2005, 27 Februari 2007, dan 15 Juli 2011. PT yang menyelenggarakan kelas jauh terancam sanksi. Namun sayangnya ancaman tersebut tidak begitu diindahkan, terbukti sampai sekarang pun kelas jauh masih marak.
Selain itu belum jelas pula tentang pendefinisian kelas jauh. Kenapa sebuah program studi dikategorikan sebagai kelas jauh. BKN sendiri selama ini belum pernah memberikan aturan secara formal dan tertulis tentang kelas jauh. Maka, bisa dimaklumi jika di tengah masyarakat versi kelas jauh pun beragam.
Label:
album,
keluarga,
pustaka,
tentang madiun,
tentang ngawi
Belanja Pegawai Ideal
Selasa, 10 Juli 2012
Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang, yang ditetapkan berdasarkan ketetentuan perundang-undangan yang diberikan kepada DPRD dan pegawai pemerintah daerah baik yang bertugas di dalam maupun di luar daerah sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal (lihat PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah). Contohnya gaji dan tunjangan, honorarium, lembur, kontribusi sosial, dan lain-lain sejenis. Belanja pegawai bersifat mengikat artinya dibutuhkan secara terus-menerus dan harus dialokasikan oleh pemerintah daerah dengan jumlah yang cukup untuk keperluan setiap bulan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Berapa sebenarnya persentase ideal belanja pegawai dalam APBD? Belum ada angka yang pasti. Secara tersirat pemerintah menekankan di bawah 50 persen, yakni berdasarkan peraturan bersama antara Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Keuangan pada tahun 2011 tentang Penundaan Sementara Penerimaan CPNS. Perber ini menegaskan adanya moratorium rekrutmen CPNS mulai 1 September 2011 sampai dengan 31 Desember 2012. Namun ada pengecualian, misalnya untuk memenuhi tenaga pendidik, tenaga dokter, bidan, dan perawat asalkan belanja pegawai dalam APBD di bawah 50 persen. Dalam berbagai kesempatan beberapa pejabat pemerintah pusat juga melarang pengadaan rekrutmen CPNS di daerah apabila belanja pegawai dalam APBD-nya lebih dari 50 persen.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa dana pendidikan dialokasikan minimal 20 persen dari APBD. Anggaran ini di luar dana untuk gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Selain itu berdasarkan Pasal 171 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan diamanatkan besarnya anggaran untuk kesehatan dalam APBD adalah minimal 10 persen di luar gaji. Dengan demikian APBD telah terkunci minimal 30 persen untuk pendidikan dan kesehatan. Ini bisa lebih terutama untuk biaya-biaya selain pendidikan dan kesehatan, misalnya dana alokasi desa. Rancangan UU tentang Desa menyebutkan 10 persen anggaran untuk desa, tapi hingga sekarang belum di-dok. Karena belum terwujud maka besarnya ADD bergantung pada kemampuan masing-masing daerah.
Dana yang masih ada pada APBD, yakni 60 persen (selain pendidikan, kesehatan, dan desa) itulah yang digunakan untuk belanja lain, misalnya belanja pegawai, hibah, bantuan sosial, subsidi, belanda tak terduga, dan lain-lain. Atau disederhanakan belanja pegawai dan belanja non pegawai. Bila dibagi dua secara seimbang maka masing-masing mendapat jatah 30 persen. Angka 30 persen inilah yang mungkin dianggap ideal sebagai belanja pegawai.
Berapa sebenarnya persentase ideal belanja pegawai dalam APBD? Belum ada angka yang pasti. Secara tersirat pemerintah menekankan di bawah 50 persen, yakni berdasarkan peraturan bersama antara Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Keuangan pada tahun 2011 tentang Penundaan Sementara Penerimaan CPNS. Perber ini menegaskan adanya moratorium rekrutmen CPNS mulai 1 September 2011 sampai dengan 31 Desember 2012. Namun ada pengecualian, misalnya untuk memenuhi tenaga pendidik, tenaga dokter, bidan, dan perawat asalkan belanja pegawai dalam APBD di bawah 50 persen. Dalam berbagai kesempatan beberapa pejabat pemerintah pusat juga melarang pengadaan rekrutmen CPNS di daerah apabila belanja pegawai dalam APBD-nya lebih dari 50 persen.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa dana pendidikan dialokasikan minimal 20 persen dari APBD. Anggaran ini di luar dana untuk gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Selain itu berdasarkan Pasal 171 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan diamanatkan besarnya anggaran untuk kesehatan dalam APBD adalah minimal 10 persen di luar gaji. Dengan demikian APBD telah terkunci minimal 30 persen untuk pendidikan dan kesehatan. Ini bisa lebih terutama untuk biaya-biaya selain pendidikan dan kesehatan, misalnya dana alokasi desa. Rancangan UU tentang Desa menyebutkan 10 persen anggaran untuk desa, tapi hingga sekarang belum di-dok. Karena belum terwujud maka besarnya ADD bergantung pada kemampuan masing-masing daerah.
Dana yang masih ada pada APBD, yakni 60 persen (selain pendidikan, kesehatan, dan desa) itulah yang digunakan untuk belanja lain, misalnya belanja pegawai, hibah, bantuan sosial, subsidi, belanda tak terduga, dan lain-lain. Atau disederhanakan belanja pegawai dan belanja non pegawai. Bila dibagi dua secara seimbang maka masing-masing mendapat jatah 30 persen. Angka 30 persen inilah yang mungkin dianggap ideal sebagai belanja pegawai.
Negara Muslim, GKI Yasmin, dan Toleransi
Sabtu, 07 Juli 2012
Pada tanggal 5 Juni 2012 opini mantan Ketua PB NU, KH Hasyim Muzadi yang berjudul “Tudingan Intoleransi Beragama” dimuat oleh Sindo. Selanjutnya Victor Silaen, dosen FISIP Universitas Pelita Harapan mengritik dalam opininya yang berjudul “Pidato Muzadi dan Toleransi Beragama” yang dimuat Sinar Harapan pada tanggal 20 Juni 2012. Pangkal kritiknya mengenai istilah negara muslim, permasalahan GKI Yasmin yang sengaja dipelihara, dan toleransi beragama di Indonesia. Tulisan di bawah berupaya menanggapi kritikan Victor.
Negara Muslim
Indonesia adalah negara muslim artinya negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam. Dalam kenyataannya di antara agama yang diakui dan hidup di negara ini, agama Islam-lah yang dianut oleh sebagian besar penduduk. Negara muslim berbeda dengan negara Islam. Negara Islam diartikan sebagai negara yang berdasarkan pada ajaran agama Islam (syariat Islam). Dengan demikian Islam itu merujuk pada ajaran, sedangkan muslim merujuk pada penganut.
Masalah istilah memang terbuka lebar untuk diperdebatkan, namun secara umum penyebutan negara muslim sering diungkapkan untuk menggambarkan kondisi umat Islam di Indonesia. Ini mirip dengan penyebutan negara agraris yang menggambarkan negara dengan mayoritas penduduk bermatapencaharian sebagai petani. Atau negara bahari untuk menggambarkan negara yang wilayah lautnya lebih luas daripada daratan.
Indonesia memang bukan negara Islam, meskipun sebagian penganutnya menginginkannya. Atas dasar toleransi, umat Islam mengikhlaskan landasan negara dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bingkai Pancasila, bukan pada salah satu ajaran agama. Meskipun negara muslim, bukan berarti negara Indonesia hanya diperuntukkan bagi orang-orang muslim saja. Toh, warga yang beragama lain pun mendapatkan kebebasan menjalankan ibadan sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Negara Muslim
Indonesia adalah negara muslim artinya negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam. Dalam kenyataannya di antara agama yang diakui dan hidup di negara ini, agama Islam-lah yang dianut oleh sebagian besar penduduk. Negara muslim berbeda dengan negara Islam. Negara Islam diartikan sebagai negara yang berdasarkan pada ajaran agama Islam (syariat Islam). Dengan demikian Islam itu merujuk pada ajaran, sedangkan muslim merujuk pada penganut.
Masalah istilah memang terbuka lebar untuk diperdebatkan, namun secara umum penyebutan negara muslim sering diungkapkan untuk menggambarkan kondisi umat Islam di Indonesia. Ini mirip dengan penyebutan negara agraris yang menggambarkan negara dengan mayoritas penduduk bermatapencaharian sebagai petani. Atau negara bahari untuk menggambarkan negara yang wilayah lautnya lebih luas daripada daratan.
Indonesia memang bukan negara Islam, meskipun sebagian penganutnya menginginkannya. Atas dasar toleransi, umat Islam mengikhlaskan landasan negara dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bingkai Pancasila, bukan pada salah satu ajaran agama. Meskipun negara muslim, bukan berarti negara Indonesia hanya diperuntukkan bagi orang-orang muslim saja. Toh, warga yang beragama lain pun mendapatkan kebebasan menjalankan ibadan sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Label:
album,
oase,
pustaka,
tentang madiun,
tentang ngawi
Komersialisasi Pendidikan
Rabu, 04 Juli 2012
Awal saya bekerja sebagai PNS ada yang membuat diri saya terkagum-kagum. Saya perhatikan banyak pejabat di kota ini yang menyandang gelar S2 di belakang nama mereka. Sepertinya hampir semua pimpinan kantor telah menyandangnya. Jajaran di bawahnya pun tak mau kalah. Sebut saja gelar M.M., M.Si., M.Hum., M.H., dan sebagainya. Untuk ukuran sebuah kota Ngawi yang kecil hal itu bagi saya sungguh luar biasa. Birokrat ternyata peduli dengan pendidikan, tentu saja pendidikan bagi diri mereka sendiri.
Saat itu saya memang baru saja lulus kuliah dari UGM. Tentunya baru pada taraf S1. Untuk masuk saja sulitnya setengah mati, lebih-lebih untuk keluarnya. Artinya, tes menjadi mahasiswa di kampus tertua se-Indonesia itu harus bersaing dengan banyak orang. Antara yang melamar dan yang diterima perbandingannya amat jauh. Banyak yang gagal. Setelah menjadi mahasiswa pun butuh waktu bertahun-tahun untuk meraih gelar sarjana. Tidak instan. Kuliah reguler hampir setiap hari. Jatuh bangun mengulang mata kuliah yang nilainya amburadul. Mengerjakan tugas. Kuliah Kerja Nyata. Menyelesaikan skripsi. Ujian pendadaran. Di samping itu juga kesibukan di lembaga intra dan ekstra kampus. Meskipun berat namun sungguh mengasyikkan. Dan, gelar sarjana itu pun teraih.
Maka, demi melihat gelar Pasca Sarjana pada para birokrat itu, saya terkesima. Saya membayangkan betapa lebih beratnya meraih. Untuk meraih S1 saja sudah begitu beratnya apalagi yang S2. Belum lagi biayanya. SPP tiap semesternya. Uang kosnya. Transportasinya. Penelitiannya. Tesisnya. Dan sebagainya. Padahal mereka sudah menjadi pejabat. Mereka pula telah berkeluarga. Namun ketakjuban saya hanya sesaat. Ada teman yang membisiki, mereka itu produk kelas jauh. Apa maksudnya?
Kelas jauh diartikan sebagai proses perkuliahan yang dilaksanakan di luar domisili kampus. Misalnya kampus tersebut aslinya berada di Jakarta namun proses perkuliahannya dilakukan di Ngawi. Dosen-dosennya datang berkunjung ke Ngawi pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan jadwal. Saat itu ternyata lokasi yang digunakan masih di dalam lingkungan Pemda. Secara tidak langsung Pemda pun memberikan perlindungan.
Saat itu saya memang baru saja lulus kuliah dari UGM. Tentunya baru pada taraf S1. Untuk masuk saja sulitnya setengah mati, lebih-lebih untuk keluarnya. Artinya, tes menjadi mahasiswa di kampus tertua se-Indonesia itu harus bersaing dengan banyak orang. Antara yang melamar dan yang diterima perbandingannya amat jauh. Banyak yang gagal. Setelah menjadi mahasiswa pun butuh waktu bertahun-tahun untuk meraih gelar sarjana. Tidak instan. Kuliah reguler hampir setiap hari. Jatuh bangun mengulang mata kuliah yang nilainya amburadul. Mengerjakan tugas. Kuliah Kerja Nyata. Menyelesaikan skripsi. Ujian pendadaran. Di samping itu juga kesibukan di lembaga intra dan ekstra kampus. Meskipun berat namun sungguh mengasyikkan. Dan, gelar sarjana itu pun teraih.
Maka, demi melihat gelar Pasca Sarjana pada para birokrat itu, saya terkesima. Saya membayangkan betapa lebih beratnya meraih. Untuk meraih S1 saja sudah begitu beratnya apalagi yang S2. Belum lagi biayanya. SPP tiap semesternya. Uang kosnya. Transportasinya. Penelitiannya. Tesisnya. Dan sebagainya. Padahal mereka sudah menjadi pejabat. Mereka pula telah berkeluarga. Namun ketakjuban saya hanya sesaat. Ada teman yang membisiki, mereka itu produk kelas jauh. Apa maksudnya?
Kelas jauh diartikan sebagai proses perkuliahan yang dilaksanakan di luar domisili kampus. Misalnya kampus tersebut aslinya berada di Jakarta namun proses perkuliahannya dilakukan di Ngawi. Dosen-dosennya datang berkunjung ke Ngawi pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan jadwal. Saat itu ternyata lokasi yang digunakan masih di dalam lingkungan Pemda. Secara tidak langsung Pemda pun memberikan perlindungan.
Label:
album,
keluarga,
oase,
pustaka,
saat kuliah
Peran Uang dalam Pengembangan Karir
Minggu, 01 Juli 2012
Uang mempunyai pengaruh dalam dunia kerja. Sedikit atau banyak keberadaan uang mempengaruhi diterimanya seseorang dalam sebuah instansi atau perusahaan. Memang tidak semuanya, tapi pasti ada. Dalam konteks yang agak mirip, kalau saja menjadi anggota dewan dianggap sebagai perburuan mencari pekerjaan, maka uang menjadi sesuatu yang amat penting. Hampir bisa dipastikan tanpa modal sekian J, M, atau T, mustahil menjadi anggota dewan. Bahkan untuk masuk daftar calon yang diusulkan parpol saja harus menyediakan duit. Masyarakat pun seakan bertangan terbuka dengan adanya politik uang dalam setiap pemilu.
Demikian pula dalam hal perebutan jabatan politis kepala daerah. Tak tanggung-tanggung kabarnya untuk sebuah kabupaten saja seorang calon mesti menyediakan uang 100 milyar. Padahal kalaupun terpilih, penghasilannya selama lima tahun tak akan bisa mengembalikan modal yang terlanjur dikeluarkan. Di tingkat desa bahkan dusun pun setali tiga uang, meskipun besarnya tak sefantastis pemilukada atau pemilu nasional. Di suatu daerah saya mendengar cerita ada calon yang mesti mengeluarkan modal sebesar 1 milyar hanya untuk njago kepala dusun. Saya tulis lagi: Kepala Dusun! Dan, kalah. Masya Allah.
Permainan uang juga selalu menjadi desas-desus dalam rekrutmen pegawai negeri. Sudah menjadi rahasia umum bila kursi pegawai negeri ditransaksikan dengan uang. Meskipun hal ini berkali-kali dibantah oleh para pejabat. Namun berkali-kali pula masyarakat tak segan menuduh ada permainan uang. Bisa jadi karena memang benar adanya. Atau bisa jadi sebagai pelampiasan emosi karena gagal dalam persaingan.
Jer basuki mawa beya. Motto ini bahkan menjadi semboyan resmi salah satu pemerintah provinsi di pulau Jawa. Artinya kurang lebih adalah kalau mau sukses atau berhasil harus dengan biaya. Selayaknya tak ada yang gratis di dunia ini. Tapi barangkali bukan itu maksud pembuat semboyan. Mungkin lebih dimaknai jika mau berhasil harus berusaha dulu, termasuk menyediakan biaya. Artinya biaya, uang, dana, anggaran, atau duit bukan parameter kunci dan satu-satunya, meskipun tetap saja penting. Ada parameter lain, misalnya kerja keras, kesungguhan, rajin, terus mencoba, dan seterusnya.
Demikian pula dalam hal perebutan jabatan politis kepala daerah. Tak tanggung-tanggung kabarnya untuk sebuah kabupaten saja seorang calon mesti menyediakan uang 100 milyar. Padahal kalaupun terpilih, penghasilannya selama lima tahun tak akan bisa mengembalikan modal yang terlanjur dikeluarkan. Di tingkat desa bahkan dusun pun setali tiga uang, meskipun besarnya tak sefantastis pemilukada atau pemilu nasional. Di suatu daerah saya mendengar cerita ada calon yang mesti mengeluarkan modal sebesar 1 milyar hanya untuk njago kepala dusun. Saya tulis lagi: Kepala Dusun! Dan, kalah. Masya Allah.
Permainan uang juga selalu menjadi desas-desus dalam rekrutmen pegawai negeri. Sudah menjadi rahasia umum bila kursi pegawai negeri ditransaksikan dengan uang. Meskipun hal ini berkali-kali dibantah oleh para pejabat. Namun berkali-kali pula masyarakat tak segan menuduh ada permainan uang. Bisa jadi karena memang benar adanya. Atau bisa jadi sebagai pelampiasan emosi karena gagal dalam persaingan.
Jer basuki mawa beya. Motto ini bahkan menjadi semboyan resmi salah satu pemerintah provinsi di pulau Jawa. Artinya kurang lebih adalah kalau mau sukses atau berhasil harus dengan biaya. Selayaknya tak ada yang gratis di dunia ini. Tapi barangkali bukan itu maksud pembuat semboyan. Mungkin lebih dimaknai jika mau berhasil harus berusaha dulu, termasuk menyediakan biaya. Artinya biaya, uang, dana, anggaran, atau duit bukan parameter kunci dan satu-satunya, meskipun tetap saja penting. Ada parameter lain, misalnya kerja keras, kesungguhan, rajin, terus mencoba, dan seterusnya.
Main Api Redistribusi Guru
Kamis, 28 Juni 2012
Para guru sedang galau bin geger alias gempar. Gara-garanya ada kebijakan pemindahan tempat tugas. Guru yang selama ini tenang-tenang saja menikmati kenyamanan menjadi terusik. Berdasarkan perhitungan orang-orang pintar (bukan paranormal lho) ada ketimpangan distribusi guru. SMA dan SMP kelebihan guru, sebaliknya SD kekurangan. Selain itu ada daerah-daerah tertentu, terutama yang berada jauh di luar kota kekurangan pula.
Regulasi dari pusat pun mewajibkan adanya redistribusi. Tak tanggung-tanggung peraturan bersama ditandatangani oleh lima menteri untuk menata dan memeratakan guru. Sanksi mengancam bagi instansi yang membangkang. Mendiknas mengancam menghentikan bantuan finansial pendidikan. Menpan dan RB mengancam menunda pemberian formasi guru PNS. Menkeu mengancam menunda penyaluran dana perimbangan. Mendagri mengancam memberikan penilaian kinerja kurang baik. Dengan ancaman seperti ini, mana ada daerah yang melawan.
Sebenarnya jauh sebelumnya pemerintah telah membuat standar jumlah guru dalam sekolah. Sesuai dengan Keputusan Menpan Tahun 2004 misalnya, dalam lingkungan SD kebutuhan tenaga pendidikan terdiri dari kepala sekolah, guru kelas, guru pendidikan jasmani (penjas), dan guru agama. Setiap guru kelas mengajar satu kelas/rombongan belajar (rombel). Sehingga rata-rata setiap SD memiliki 9 tenaga pendidikan, yakni 6 guru kelas dan masing-masing 1 KS, guru penjas, dan guru agama.
Kebutuhan tenaga pendidikan untuk SLTP terdiri dari kepala sekolah, guru mata pelajaran (mapel), dan guru pembimbing (BP). Komponen menghitung kebutuhan guru mapel adalah jumlah jam pelajaran yang wajib dilaksanakan oleh seorang guru per minggu (ditetapkan minimal 24 jam) dan alokasi waktu belajar efektif per mata pelajaran per minggu pelajaran per minggu. Alokasi waktu belajar itu setiap mapel ada yang sama dan ada yang beda. Misalnya pendidikan agama 2, bahasa Indonesia 6, bahasa Inggris 4, dan sebagainya. Sedangkan guru BP ditetapkan 1 guru membimbing 150 siswa.
Regulasi dari pusat pun mewajibkan adanya redistribusi. Tak tanggung-tanggung peraturan bersama ditandatangani oleh lima menteri untuk menata dan memeratakan guru. Sanksi mengancam bagi instansi yang membangkang. Mendiknas mengancam menghentikan bantuan finansial pendidikan. Menpan dan RB mengancam menunda pemberian formasi guru PNS. Menkeu mengancam menunda penyaluran dana perimbangan. Mendagri mengancam memberikan penilaian kinerja kurang baik. Dengan ancaman seperti ini, mana ada daerah yang melawan.
Sebenarnya jauh sebelumnya pemerintah telah membuat standar jumlah guru dalam sekolah. Sesuai dengan Keputusan Menpan Tahun 2004 misalnya, dalam lingkungan SD kebutuhan tenaga pendidikan terdiri dari kepala sekolah, guru kelas, guru pendidikan jasmani (penjas), dan guru agama. Setiap guru kelas mengajar satu kelas/rombongan belajar (rombel). Sehingga rata-rata setiap SD memiliki 9 tenaga pendidikan, yakni 6 guru kelas dan masing-masing 1 KS, guru penjas, dan guru agama.
Kebutuhan tenaga pendidikan untuk SLTP terdiri dari kepala sekolah, guru mata pelajaran (mapel), dan guru pembimbing (BP). Komponen menghitung kebutuhan guru mapel adalah jumlah jam pelajaran yang wajib dilaksanakan oleh seorang guru per minggu (ditetapkan minimal 24 jam) dan alokasi waktu belajar efektif per mata pelajaran per minggu pelajaran per minggu. Alokasi waktu belajar itu setiap mapel ada yang sama dan ada yang beda. Misalnya pendidikan agama 2, bahasa Indonesia 6, bahasa Inggris 4, dan sebagainya. Sedangkan guru BP ditetapkan 1 guru membimbing 150 siswa.
Label:
album,
keluarga,
pustaka,
saat kuliah
Media Pendidikan Politik Rakyat
Senin, 25 Juni 2012
Seorang Ramadhan Pohan pernah mencatat rekor di MURI sebagai anggota dewan yang pertama kali mengelola website sebagai ruang komunikasi dan informasi dengan konstituen. Wakil rakyat dari Partai Demokrat ini dulu memang berprofesi sebagai wartawan, jadi urusan jurnalistik sudah tidak begitu asing lagi. Pak AM Fatwa, saat menjadi anggota DPR dari PAN juga pernah menorehkan prestasi, yakni penulis buku terbanyak selama berkiprah di Senayan.
Anggota dewan seperti Pak Ramadan dan Pak Fatwa pasti juga punya kebiasaan banyak bicara. Ini sebagai konsekuensi menjadi wakil rakyat. Wakil rakyat kan penyambung lidah rakyat, apa jadinya jika diam membisu. Maka, seharusnya wakil rakyat juga menuangkan apa yang mereka suarakan dalam bentuk tulisan. Mereka harus menulis. Dengan tulisan ide-ide yang dikeluarkan akan lebih abadi. Jangkauannya pun meluas. Paling tidak bila dibandingkan dengan berbicara yang seketika gaungnya hilang. Kecuali bila direkam.
Orang dikenang karena tulisannya. Orang dikecam juga karena tulisannya. Banyak manfaat dari menulis. Selain menyalurkan hobi, menjadikan sebagai profesi, juga sebagai saluran komunikasi. Tapi jarang sekali orang mau menulis. Kalaupun ada yang mau, tak jarang mereka merasa tak mampu.
Berapa banyak anggota dewan yang telah menerbitkan buku. Atau berapa banyak anggota dewan yang rutin menulis. Berapa yang di pusat. Berapa yang di daerah. Berapa yang di Ngawi. Saya mau menyoroti Ngawi saja, karena dulu terlanjur memberikan suara di kota ini.
Kalau berbicara, mungkin saja anggota dewan sangat pintar. Merekalah ahli bersilat lidah. Inheren dengan tugasnya. Tapi saya membayangkan betapa indahnya jika mereka secara rutin mengisi kolom di media massa. Selain untuk mengetahui ide dan gagasan mereka, sekaligus agar isi media lokal tak melulu berisi berita kriminal dan advetorial. Tapi sayangnya hal ini tampaknya masih belum menjadi perhatian utama anggota dewan.
Anggota dewan seperti Pak Ramadan dan Pak Fatwa pasti juga punya kebiasaan banyak bicara. Ini sebagai konsekuensi menjadi wakil rakyat. Wakil rakyat kan penyambung lidah rakyat, apa jadinya jika diam membisu. Maka, seharusnya wakil rakyat juga menuangkan apa yang mereka suarakan dalam bentuk tulisan. Mereka harus menulis. Dengan tulisan ide-ide yang dikeluarkan akan lebih abadi. Jangkauannya pun meluas. Paling tidak bila dibandingkan dengan berbicara yang seketika gaungnya hilang. Kecuali bila direkam.
Orang dikenang karena tulisannya. Orang dikecam juga karena tulisannya. Banyak manfaat dari menulis. Selain menyalurkan hobi, menjadikan sebagai profesi, juga sebagai saluran komunikasi. Tapi jarang sekali orang mau menulis. Kalaupun ada yang mau, tak jarang mereka merasa tak mampu.
Berapa banyak anggota dewan yang telah menerbitkan buku. Atau berapa banyak anggota dewan yang rutin menulis. Berapa yang di pusat. Berapa yang di daerah. Berapa yang di Ngawi. Saya mau menyoroti Ngawi saja, karena dulu terlanjur memberikan suara di kota ini.
Kalau berbicara, mungkin saja anggota dewan sangat pintar. Merekalah ahli bersilat lidah. Inheren dengan tugasnya. Tapi saya membayangkan betapa indahnya jika mereka secara rutin mengisi kolom di media massa. Selain untuk mengetahui ide dan gagasan mereka, sekaligus agar isi media lokal tak melulu berisi berita kriminal dan advetorial. Tapi sayangnya hal ini tampaknya masih belum menjadi perhatian utama anggota dewan.
Label:
keluarga,
serba-serbi,
tentang madiun,
tentang ngawi
Belajar Ala DI
Jumat, 22 Juni 2012
Pernah suatu ketika seorang pejabat tinggi negara marah di tempat umum. Sebut saja beliau DI. Gara-garanya pada pagi hari Pak DI terjebak kemacetan di depan gerbang tol. Padahal hari itu beliau harus menghadiri rapat yang amat penting. Selidik punya selidik ternyata penyebabnya adalah tidak semua pintu tol terbuka. Padahal keberadaan pintu tol dibuat untuk melancarkan arus lalu lintas. Dengan semakin banyaknya pintu tol semakin banyak pula kendaraan yang masuk ke jalan tol, dengan demikian kemacetan akibatnya antrenya kendaraan yang akan masuk jalan tol terkurangi. Saking marahnya dihampirilah salah satu loket tol yang kosong melompong karena petugas belum datang. Kursi yang yang ada di situ dibuang keluar. Selanjutnya bak polisi lalu lintas Pak DI memerintahkan mobil-mobil yang antre segera melalui gerbang tol. Gratis, tak usah membayar. Arus lalu lintas pun lancar.
Tak berselang lama pejabat tinggi yang lain juga melakukan kemarahan. Inisialnya juga sama, DI. Ceritanya pada malam hari, dengan sepasukan polisi dan petugas Badan Narkoba Nasional (BNN) beliau merazia sebuah Lembaga Pemasyarakatan (LP). Karena pintu gerbang LP lama tak dibuka, marahlah orang-orang ini. Seketika, saat gerbang mulai terbuka terjadilah pemukulan terhadap sipir. Selanjutnya, sesuai tujuan razia, ditemukan narkoba di dalam LP. Beberapa tahanan dan sipir penjara diciduk, dibawa pergi.
Dari dua peristiwa di atas, yakni marahnya dua DI, jadilah berita sensasional di media massa. Namun perlakuannya tidak sama. DI yang pertama mendapat simpati. Sedangkan DI yang kedua banyak mendapat kecaman. DI yang pertama marah sampai membanting pintu loket tol. DI yang kedua marah hingga memukul sipir penjara, meski membantah memukul. Walau DI pertama bertindak ”anarkis”, ribuan pujian datang menghampiri. Sedangkan DI yang kedua, kesuksesan membongkar jaringan pengedar narkoba di LP berbuah kecaman banyak kalangan, bahkan sebagai bentuk solidaritas para pegawai LP di berbagai tempat mengancam aksi boikot.
Siapakah kedua DI itu? DI yang pertama adalah Pak Dahlan Iskan, Menteri BUMN. Sedangkan DI yang kedua adalah Pak Denni Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan HAM. Kemarahan keduanya ternyata tidak berbuah sama. Yang satu manis, yang satu pahit. Apa jadinya ya jika keduanya bertukar posisi. Akankah keduanya menghasilkan buah yang sama dengan sebelumnya. Misalnya Pak Dahlan Iskan yang merazia LP tengah malam, lalu Pak Deni Indrayana membanting kursi loket tol. Saya rasa buah itu tidak mengikuti peristiwanya, namun pelakunya. Artinya, bagaimanapun Pah Dahlan akan tetap berbuah manis, sedangkan Pak Denni sebaliknya, pahit. Di samping itu juga tidak lucu, masak Menteri BUMN ikut-ikutan merazia LP, sedangkan pejabat tinggi hukum membanting kursi. Saran saya, mestinya Pak Denni waktu merazia LP itu mengajak Pak Dahlan, haqqul yaqqin akan berbuah manis :>
Tak berselang lama pejabat tinggi yang lain juga melakukan kemarahan. Inisialnya juga sama, DI. Ceritanya pada malam hari, dengan sepasukan polisi dan petugas Badan Narkoba Nasional (BNN) beliau merazia sebuah Lembaga Pemasyarakatan (LP). Karena pintu gerbang LP lama tak dibuka, marahlah orang-orang ini. Seketika, saat gerbang mulai terbuka terjadilah pemukulan terhadap sipir. Selanjutnya, sesuai tujuan razia, ditemukan narkoba di dalam LP. Beberapa tahanan dan sipir penjara diciduk, dibawa pergi.
Dari dua peristiwa di atas, yakni marahnya dua DI, jadilah berita sensasional di media massa. Namun perlakuannya tidak sama. DI yang pertama mendapat simpati. Sedangkan DI yang kedua banyak mendapat kecaman. DI yang pertama marah sampai membanting pintu loket tol. DI yang kedua marah hingga memukul sipir penjara, meski membantah memukul. Walau DI pertama bertindak ”anarkis”, ribuan pujian datang menghampiri. Sedangkan DI yang kedua, kesuksesan membongkar jaringan pengedar narkoba di LP berbuah kecaman banyak kalangan, bahkan sebagai bentuk solidaritas para pegawai LP di berbagai tempat mengancam aksi boikot.
Siapakah kedua DI itu? DI yang pertama adalah Pak Dahlan Iskan, Menteri BUMN. Sedangkan DI yang kedua adalah Pak Denni Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan HAM. Kemarahan keduanya ternyata tidak berbuah sama. Yang satu manis, yang satu pahit. Apa jadinya ya jika keduanya bertukar posisi. Akankah keduanya menghasilkan buah yang sama dengan sebelumnya. Misalnya Pak Dahlan Iskan yang merazia LP tengah malam, lalu Pak Deni Indrayana membanting kursi loket tol. Saya rasa buah itu tidak mengikuti peristiwanya, namun pelakunya. Artinya, bagaimanapun Pah Dahlan akan tetap berbuah manis, sedangkan Pak Denni sebaliknya, pahit. Di samping itu juga tidak lucu, masak Menteri BUMN ikut-ikutan merazia LP, sedangkan pejabat tinggi hukum membanting kursi. Saran saya, mestinya Pak Denni waktu merazia LP itu mengajak Pak Dahlan, haqqul yaqqin akan berbuah manis :>
Langganan:
Postingan (Atom)