Permasalahan Pajak
Kamis, 22 November 2012
Salah satu sumber pembiayaan terpenting dan paling aman adalah pajak. Peran pajak dalam pembiayaan pembangunan bagi Indonesia diakui cukup besar (lebih dari 60%), namun demikian dibandingkan dengan dengan negara lain keadaan perpajakan di Indonesia masih relatif belum baik. Di antara 182 negara yang disurvei oleh World Bank dan Price Water House Coopers, Indonesia berada pada urutan ke-127 dalam hal tingkat pembayaran pajak, kemudahan pembayaran pajak, waktu yang diperlukan untuk mengurus perpajakan, dan biaya terkait dengan perpajakannya.
Pajak merupakan sumber atau pos penerimaan negara yang amat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila dbandingkan dengan sumber penerimaan lainnya, penerimaan negara dari aspek pajak adalah sumber penerimaan negara paling aman dan potensial untuk memberikan kontribusi bagi persediaan fiskal negara. Secara umum, negara memperoleh penerimaan dalam negeri yang terdiri dari penerimaan minyak dan gas bumi, penerimaan pajak, dan penerimaan negara bukan pajak. Dari sekian sumber penerimaan tersebut, pajak merupakan sumber potensial dalam memenuhi fiskal negara. (Irianto, 2009).
Lebih lanjut dikatakan oleh Irianto, pajak juga berpotensi menciptakan keseimbangan sosial dalam masyarakat. Pajak memiliki dua fungsi pokok antara lain:
1. Fungsi budgeter, yakni sebagai upaya penghimpunan dana masyarakat untuk mengisi kas negara yang digunakan untuk penyelenggaraan negara.
2. Fungsi pengaturan, yakni sebagai upaya pemerintah mendorong kegiatan perekonomian dan memberikan keadilan kepada masyarakat.
Namun yang menjadi masalah adalah rakyat masih menyangsikan alokasi dana pajak sebab mereka tidak menemukan relevansi antara pajak yang disetorkan kepada negara dengan program dan kebijakan negara untuk menciptakan keseimbanan sosial yang adil. Apalagi rakyat menyaksikan sendiri betapa besar uang negara yang telah dikorupsi oleh para penyelenggara negara. Korupsi masih menjadi persoalan amat pelik di negeri ini.
Ketidakpercayaan Rakyat
Menurut Transparency International (dikutip dari http://www.setagu.net) skor Indonesia untuk CPI adalah 3.0. CPI (Corruption Perception Index) adalah sebuah indeks gabungan yang dihasilkan dari penggabungan hasil 17 survei yang dilakukan lembaga-lembaga internasional yang terpercaya. Tujuan peluncuran CPI setiap tahun adalah untuk selalu mengingatkan bahwa korupsi masih merupakan bahaya besar yang mengancam dunia. Tahun 2011 CPI mengukur tingkat korupsi dari 183 negara, dengan rentang indeks antara 0 sampai dengan 10, di mana 0 berarti negara tersebut dipersepsikan sangat korup, sementara 10 berarti negara yang bersangkutan dipersepsikan sangat bersih. Dua pertiga dari negara yang diukur memiliki skor di bawah lima, termasuk Indonesia.
Bersama dengan Indonesia, ada 11 negara lain yang mendapatkan skor 3.0. Negara-negara tersebut adalah Argentina, Benin, Burkina Faso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Sao Tome & Principe, Suriname, dan Tanzania. Indonesia dan negara-negara tersebut menempati posisi 100 dari 183 negara yang diukur. Di kawasan ASEAN, skor Indonesia berada di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. Sementara Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar skornya lebih rendah dari Indonesia.
Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (dikutip dari http://www.setagu.net) jumlah kerugian akibat korupsi sepanjang 2011 adalah sebagai berikut. Dari Pemkab Rp 657,7 M, BUMN Rp 249,4 M, dan Pemkot 88,1 M. Dengan demikian total kerugian sebesar Rp 995,2 milyar. Itu belum menperhitungkan kerugian negara pada korupsi di Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan BUMD.
Selain itu muncul berita tidak sedap tentang peyimpangan anggaran biaya perjalanan dinas. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia menyatakan terdapat 259 kasus penyimpangan perjalanan dinas di pemerintah pusat dan daerah pada 2012 dengan kerugian negara senilai Rp 77 miliar. Hal tersebut ditemukan BPK dari hasil pemeriksaan semester I tahun 2012. Dari total kerugian negara tersebut, sebanyak 86 kasus sebesar Rp 40,13 miliar merupakan perjalanan dinas fiktif. Sedangkan 173 kasus senilai Rp 36,87 miliar merupakan perjalanan dinas ganda atau melebihi standar yang ditetapkan. (Tempo.co, 3 Oktober 2012).
Yang tak kalah penting adalah belanja pegawai yang menyedot sebagian besar anggaran. Berdasarkan data APBD 2010, anggaran untuk belanja pegawai rata-rata di daerah baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota mencapai 54 persen (dikutip dari http://www.setagu.net). Angka ini termasuk tinggi karena berarti menekan alokasi belanja lain yang berkaitan dengan kepentingan khalayak misalnya untuk pembangunan infrastruktur. Data yang ada menunjukkan jumlah pemerintah daerah sebanyak 524 terdiri dari 33 provinsi dan 491 kabupaten/kota. Yang menganggarkan belanja pegawai di bawah 50% sebanyak 151 pemda. Mayoritas menganggarkan belanja pegawai di atas 50% yakni sebanyak 340 Pemda. Hal ini ironis karena jumlah pegawai negeri hanya sekitar 2% dari keseluruhan rakyat.
Menurut Ekonom UGM Mudrajad Kuncoro (dikutip oleh Hadi, 2012), hasil penerimaan pajak yang merupakan sumber utama dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta daerah (APBN/APBD) hanya menyumbang 7 persen terhadap perekonomian nasional. Menurutnya, ekonomi Indonesia justru ditopang oleh konsumsi dan investasi. Diungkapkannya bahwa penerimaan pajak yang masuk ke APBD dan APBN tidak banyak dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat Indonesia. "Di banyak daerah, 58 persen dana APBD dihabiskan untuk aparatur pemerintahan. Bahkan, bagi daerah pemekaran, 95 persen dana APBD untuk aparatur," ucap Guru Besar Ekonomi UGM itu saat menjadi salah satu panelis dalam seminar nasional Dinamika Perpajakan Nasional “Antara Idealisme dan Realita” di Graha Sabha Pramana UGM, di Yogyakarta, Kamis, 19 April 2012.
Hal-hal di ataslah yang barangkali turut mempengaruhi kesadaran rakyat untuk membayar pajak. Rakyat masih mempertanyakan apakah uang yang disetorkan telah dikelola dan dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah, sedangkan di satu sisi kondisi yang nyata masih banyak terjadi korupsi, penyimpangan anggaran, dan alokasi yang tidak mencerminkan keadilan. Maka tak heran jika beberapa saat yang lalu salah satu ormas keagaamaan mewacanakan boikot membayar pajak.
Upaya Pembenahan Pajak
Menurut Hadi (2012), berdasarkan data-data publikasi DJP ditemukan fakta-fakta menarik sebagai berikut:
1. Populasi orang pribadi di Indonesia sekitar 240 juta jiwa dan jumlah badan usaha (belum termasuk usaha mikro) adalah 22,6 juta badan usaha;
2. Angkatan kerja berkisar 110 juta jiwa dan jumlah badan usaha aktif adalah (di luar usaha mikro) adalah 12,9 juta badan usaha;
3. 8,7 juta orang pribadi menyampaikan SPT Tahun 2011 dan 466 ribu perusahaan melaporkan SPT Tahunan 2010;
4. Rasio penyampaian SPT terhadap populasi untuk orang pribadi adalah 3,5% sedangkan untuk badan usaha/perusahaan adalah sebesar 2,1%
5. Rasio penyampaian SPT terhadap WP orang pribadi terdaftar adalah 7,73% sedangkan untuk badan usaha/perusahaan adalah sebesar 3,6%
6. Kontribusi UMKM dalam PDB adalah sebesar 61,9%
7. Kontribusi Wajib Pajak Besar dalam PBD adalah sebesar 38,1%
8. Penerimaan PPh Badan dari sektor UMKM terhadap total PPh Badan di bawah 3% (untuk tahun 2009)
Dari data di atas bisa kita ambil kesimpulan bahwa dari sekitar 110 juta jiwa pekerja aktif, hanya 8,5 juta saja yang melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan. Melakukan laporan SPT itu pun belum tentu melakukan pembayaran pajak, karena fungsi SPT sebagai sarana pelaporan kewajiban perpajakan. Andaikan saja 8,5 juta itu sekaligus telah membayarkan pajaknya maka sungguh ironis, negara dengan jumlah penduduk lebih kurang 240 juta jiwa, hanya sekitar 8,5 juta jiwa saja yang menanggung pembangunan infrasuktur, pembangunan pendidikan, pembangunan kesehatan, dan sebagainya. Betapa besarnya jumlah wajib pajak yang belum menunaikan kewajibannya.
Dengan kondisi seperti di atas dan mengingat pentingnya pajak sebagai penyumbang pendapatan terbesar negara, maka diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Sosialisasi dan penyuluhan pajak dilaksanakan dengan gencar menggunakan berbagai media. Dapat pula melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dan public figure. Bahkan sangat perlu pemberian pemahaman pajak sejak dini pada usia sekolah.
2. Bagi aparat pemungut pajak, semangat pelayanan publik harus diutamakan dibandingkan sebagai aparat pemerintah yang berwenang memberikan sanksi atas keterlambatan pembayaran pajak.
3. Sistem pemungutan pajak harus jelas, sederhana, mudah, dan singkat.
4. Perlu ada reminder kepada masyarakat bahwa pajak yang mereka bayarkan telah digunakan untuk proses pembangunan. Ini bisa dituliskan pada plang sekitar jalan yang telah dibangun dari hasil pajak, dituliskan pada slip pembayaran gaji pegawai negeri, dituliskan pada buku-buku yang dibagikan ke seluruh sekolah, bungkus obat yang diberikan di puskesmas atau rumah sakit pemerintah, dan lain-lain.
5. Pemerintah harus mampu merencanakan dan menggunakan anggaran secara efektif dan efisien. Anggaran yang ada tidak hanya untuk belanja pegawai saja namun juga untuk belanja seluruh masyarakat.
6. Agar tidak ada penyimpangan dalam pengelolaan anggaran, perlu pengawasan/kontrol.
7. Terhadap penyimpangan penggunaan anggaran (seperti korupsi), harus dihukum dengan hukuman yang berat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
mas terimakasih tulisannya bagus sekali dan sangat membantu saya dalam membuat tugas kuliah, pengen tau referensi nya dari mana aja (irianto dan hadi) terimakasih mas.
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya