Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang, yang ditetapkan berdasarkan ketetentuan perundang-undangan yang diberikan kepada DPRD dan pegawai pemerintah daerah baik yang bertugas di dalam maupun di luar daerah sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal (lihat PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah). Contohnya gaji dan tunjangan, honorarium, lembur, kontribusi sosial, dan lain-lain sejenis. Belanja pegawai bersifat mengikat artinya dibutuhkan secara terus-menerus dan harus dialokasikan oleh pemerintah daerah dengan jumlah yang cukup untuk keperluan setiap bulan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Berapa sebenarnya persentase ideal belanja pegawai dalam APBD? Belum ada angka yang pasti. Secara tersirat pemerintah menekankan di bawah 50 persen, yakni berdasarkan peraturan bersama antara Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Keuangan pada tahun 2011 tentang Penundaan Sementara Penerimaan CPNS. Perber ini menegaskan adanya moratorium rekrutmen CPNS mulai 1 September 2011 sampai dengan 31 Desember 2012. Namun ada pengecualian, misalnya untuk memenuhi tenaga pendidik, tenaga dokter, bidan, dan perawat asalkan belanja pegawai dalam APBD di bawah 50 persen. Dalam berbagai kesempatan beberapa pejabat pemerintah pusat juga melarang pengadaan rekrutmen CPNS di daerah apabila belanja pegawai dalam APBD-nya lebih dari 50 persen.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa dana pendidikan dialokasikan minimal 20 persen dari APBD. Anggaran ini di luar dana untuk gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Selain itu berdasarkan Pasal 171 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan diamanatkan besarnya anggaran untuk kesehatan dalam APBD adalah minimal 10 persen di luar gaji. Dengan demikian APBD telah terkunci minimal 30 persen untuk pendidikan dan kesehatan. Ini bisa lebih terutama untuk biaya-biaya selain pendidikan dan kesehatan, misalnya dana alokasi desa. Rancangan UU tentang Desa menyebutkan 10 persen anggaran untuk desa, tapi hingga sekarang belum di-dok. Karena belum terwujud maka besarnya ADD bergantung pada kemampuan masing-masing daerah.
Dana yang masih ada pada APBD, yakni 60 persen (selain pendidikan, kesehatan, dan desa) itulah yang digunakan untuk belanja lain, misalnya belanja pegawai, hibah, bantuan sosial, subsidi, belanda tak terduga, dan lain-lain. Atau disederhanakan belanja pegawai dan belanja non pegawai. Bila dibagi dua secara seimbang maka masing-masing mendapat jatah 30 persen. Angka 30 persen inilah yang mungkin dianggap ideal sebagai belanja pegawai.
Adakah daerah yang hanya menganggarkan 30 persen dari APBD untuk belanja pegawainya? Berdasarkan data APBD 2010, anggaran untuk belanja pegawai rata-rata di daerah baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota mencapai 54 persen (sumber: www.setagu.net). Angka ini termasuk tinggi karena berarti menekan alokasi belanja lain yang berkaitan dengan kepentingan khalayak misalnya untuk pembangunan infrastruktur. Data yang ada menunjukkan jumlah pemerintah daerah sebanyak 524 terdiri dari 33 provinsi dan 491 kabupaten/kota. Jumlah daerah yang persentase gajinya terhadap APBD di atas 50 persen sebanyak 340 Pemda. Berarti yang di bawah 50 persen sebanyak 151 daerah. Dari sebanyak itu yang di bawah 30 persen hanya 36 daerah. Artinya, mayoritas belanja pegawai di daerah masih jauh dari idealita.
Dengan belanja pegawai yang cukup besar di mayoritas daerah itu, sisa dana yang tersedia pun tersedot untuk kepentingan kantor atau pegawai juga. Misalnya belanja barang dan jasa yang habis pakai digunakan untuk keperluan kantor pemerintah. Sebut saja belanja makanan dan minuman rapat, bahan bakar minyak, servis kendaraan dinas, pembelian suku cadang, pelatihan pegawai, dan pemberian tali asih pensiunan. Selain itu ada juga biaya perjalanan dinas yang sebagian besar digunakan oleh pegawai. Sebagai catatan, BPK menyebutkan 30-40 persen biaya perjalanan dinas diselewengkan.
Ada pula belanja modal, yakni pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian atau pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah. Misalnya pembelian mobil dinas dan motor dinas, pengadaan mebel, dan komputer jinjing. Siapa yang memanfaatkannya? Tentu saja para pegawai juga.
Lha, lalu seberapa besar sebenarnya bagian untuk masyarakat? Wallahu a’lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya