Menurut Polri, sebagaimana bantahannya di Tempo, setelah dilakukan pemeriksaan oleh Irwasum sementara dari sisi mekanisme pengadaan barang dan jasa sudah berjalan dengan aturan yang ada. Kewajiban dari kontraktor pengadaan alat drive simulator polres-polres se-Indonesia, ini sudah terpenuhi. Namun, keanehan terjadi ketika KPK melakukan gebrakan. Polri seakan kebakaran jenggot dengan melakukan tindakan-tindakan yang dilihat oleh publik sebagai bentuk pengamanan diri.
KPK mengusut kasus simulator sejak Januari 2012. Pada 27 Juli 2012, KPK menetapkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo, bekas Kepala Korps Lalu Lintas, sebagai tersangka. Pada 30 Juli 2012, KPK menggeledah kantor Korps Lalu Lintas. Polisi "menyandera" dengan alasan bahwa kasus simulator juga sedang diusut.
Markas Besar Kepolisian berkukuh mengusut kasus korupsi simulator. Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri menyelidiki kasus simulator setelah melihat pemberitaan Tempo. Perintah penyelidikan bernomor Sprinlid /55/V/2012/Tipidkor tanggal 21 Mei 2012.
Pada saat KPK telah menetapkan tersangka, yaitu Irjen Djoko Susilo pada tanggal 27 Juli 2012 itu, polisi mengaku baru memeriksa 33 saksi, belum ada tersangka. Pada 31 Juli 2012, polisi menetapkan lima tersangka. Tiga orang di antaranya sama dengan KPK.
Polri mengklaim memutuskan untuk memulai penyelidikan kasus tersebut setelah membaca berita pada Majalah Tempo tanggal 29 April 2012, halaman 35-38 yang berjudul "Simsalabim Simulator SIM". Kepala Bareskrim memerintahkan Direktur Tindak Pidana Korupsi, Brigjen Nur Ali untuk melakukan penyelidikan tentang kemungkinan terjadinya tindak pidana yang ada di Korlantas khususnya terkait dengan pengadaan simulator.
Pada 21 Mei 2012, Polri mengeluarkan surat perintah dimulainya penyelidikan (Sprindlid) dengan telah melakukan interogasi dan memeriksa 33 saksi yang diduga terkait kasus tersebut. Dalam interogasi dengan Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI), Sukoco S Bambang, penyelidik memperoleh informasi bahwa ada data dan informasi yang telah diberikan kepada KPK. Oleh karenanya pada 17 Juli 2012 Bareskrim mengirimkan surat ke KPK perihal Dukungan Penyelidikan. Bareskrim meminta data dan informasi yang dimiliki KPK.
Pada 31 Juli 2012 Bareskrim Polri meningkatkan penyelidikan menjadi penyidikan dan menetapkan Budi Susanto sebagai penyedia barang menjadi tersangka, sesuai Sprindik nomor Sprindik/184a/VIII/2012/Tipidkor. Pada 1 Agustus 2012 Polri mengirim Surat Pemberitahuan Dilakukan Penyidikan (SPDP) ke Kejaksaan Agung RI. Tanggal itu juga Bareskrim Polri juga telah menetapkan Wakakorlantas Brigjen Pol Didik Purnomo, Kompol Legimo, Bendahara Korlantas Teddy Rusmawan, dan Sukoco S Bambang sebagai tersanga dan menahannya di Bareskrim Polri. Pada keempatnya Bareskrim juga telah mengeluarkan sprindik dan mengirimkan SPDP ke Kejagung. Ternyata KPK juga telah menetapkan tersangka yang sama dengan Polri yaitu Didik Purnomo, Sukoco Bambang, dan Budi Susanto.
Bareskrim Polri tetap melakukan penyidikan simulator SIM sebelum ada ketentuan beracara yang mengatur hal tersebut atau melalui keputusan pengadilan yang menyatakan penyidik Polri tidak berwenang menangani kasus yang sedang atau bersamaan ditangani KPK.
Sikap Polri ini mendapatkan pembelaan dari pakar hukum tatanegara, Prof. Yusril Ihza Mahendara. Menurutnya, KPK tak berwenang menyidik kasus simulator ujian SIM. Secara hukum, KPK dinilai tidak bisa mengambil alih proses penyidikan terkait kasus korupsi itu, karena yang lebih dulu melakukan penyidikan adalah polisi. Jika ingin menggunakan UU KPK, KPK tidak bisa langsung menggunakan Pasal 50 tentang pengambialihan penyidikan. KPK harus melihat keberadaan pasal lain yani Pasal 6, 7, 8, dan 10 mengenai tugas KPK sebagai supervisi (Tempo, 2012).
Alasan lain Polri bersikukuh ingin menangani kasus dugaan korupsi simulator SIM di Korlantas Polri yang juga sudah ditangani KPK adalah karena adanya Memorandum of Understanding (MoU) antara KPK, Polri dan Kejagung yang ditandatangani pada 29 Maret 2012. Berisi 31 pasal, MoU ini disusun antara lain untuk mengatasi berbagai kendala dalam penanganan tindak pidana korupsi, terutama penanganan kasus di daerah. Kedudukan MoU inilah yang memunculkan silang pendapat. Polri menyebut MoU sebagai kesepakatan yang mengikat para pihak, kedudukannya setara dengan UU (http://www.inilah.com, 2012).
Pasal 8 MoU menyebutkan dalam hal PARA PIHAK melakukan penyelidikan pada sasaran yang sama, untuk menghindari duplikasi penyelidikan maka penentuan instansi yang mempunyai kewajiban untuk menindaklanjuti penyelidikan adalah instansi yang lebih dahulu mengeluarkan surat perintah penyelidikan atau atas kesepakatan PARA PIHAK.
MoU tersebut juga mengatur tentang supervisi, yakni pengawasan, penelitian, penelaahan, atau pengambilalihan penyidikan atau penuntutan perkara tindak pidana korupsi. Supervisi dapat dilaksanakan bersama terhadap perkara tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian/meresahkan masyarakat dan atau menjadi atensi PARA PIHAK. Supervisi dapat ditindaklanjuti dengan pengambilalihan penyidikan atau penuntutan, sesuai ketentuan yang berlaku.
Dengan demikian Polri merasa penangaan kasus korupsi simulator SIM seharusnya berada di bawah kewenangan Polri karena:
- Sesuai UU Polri dan KUHAP, Polri berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua jenis tindak pidana, termasuk tidak pidana korupsi.
- Dalam kasus korupsi simulator SIM, Polri merasa telah lebih dahulu melakukan penyelidikan, yakni setelah munculnya berita di Majalah Tempo.
- Berdasarkan MoU antara Polri, Kejagung, dan KPK, Polri merasa paling berhak menangani kasus korupsi simulator SIM, dengan demikian Polri berwenang mengambilalih penyidikan.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya