Saat liburan sekolah tanggal 27 Juni 2011, ribuan orang menggeruduk kantor Pemda Ngawi. Pagi hari itu saya berangkat kerja. Kebetulan kantor saya berada di kompleks pemda. Jalanan sekitar alun-alun sudah penuh dengan kendaraan dan manusia. Saya lihat dari bajunya mereka berasal dari PGRI. Ribuan orang itu tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia. Mungkin ada upacara di alun-alun ya? Tapi kok arus kendaraan dan manusia itu menuju ke kompleks pemda. Di kompleks itu ada Pendopo Wedya Graha dan kantor bupati. Ternyata PGRI memusatkan acara di pendopo bahkan meluber hingga di halaman.
Awalnya saya pikir mereka mau demo, soalnya beberapa hari sebelumnya sebagian perwakilan PGRI beraudiensi dengan anggota DPRD mempertanyakan rapelan gaji yang belum terbayarkan. Sejatinya rapelan yang tertunda itu bukan hanya untuk guru saja tapi semua pegawai se-pemda. Nah, barangkali pengerahan massa yang demikian besarnya ini masih ada kelanjutan dengan aksi sebelumnya di gedung DPRD.
Tapi kabarnya tidak demikian. Acara ini merupakan sosialisasi akbar PGRI yang disampaikan oleh Ketua Umum PB PGRI Pusat Bapak Sulistiyo. Bapak Bupati juga turut hadir. Ada teman yang juga anggota PGRI saat itu mampir ke ruangan saya. Katanya tiap sekolah mengirimkan wakilnya 3 orang anggota PGRI. Hebat. Dalam waktu singkat ribuan guru bisa terkumpul dengan seragam yang sama. Begitu hebatnya PGRI mengumpulkan massa dan merekrut anggota. Di sisi yang lain ini merupakan kesempatan. Bisa membikin sebagian orang untuk memanfaatkan demi kepentingan pribadi dan sesaat, terutama dalam tataran politik praktis.
Jaman Orde Baru PGRI menjadi alat politik penguasa untuk mendulang suara Golkar. Namun di jaman reformasi PGRI telah berubah. PGRI berusaha kepada khittahnya, yaitu berpegang secara konsisten dan konsekuen pada tiga sifat dasar : unitristik, independen, dan non partai politik. Menghadapi pemilu multipartai, PGRI membebaskan anggotanya untuk menentukan pilihan. Menyejukkan memang, PGRI menegaskan tidak bermain di tataran politik praktis.
Tapi sepengetahuan saya (mungkin saja saya bisa salah), Bapak Sulistiyo yang kini menjadi Ketua Umum PB PGRI itu juga terpilih sebagai wakil rakyat, tepatnya sebagai anggota DPD pada periode 2009-2013. Sebelumnya PGRI dikomandani oleh Bapak Prof. Dr. Mohamad Surya, juga seorang anggota DPD periode 2004-2009 (kalau saya tidak salah juga lho). Itu di tingkat pusat, kalau di tingkat daerah, entahlah.
Saya kurang tahu apakah ini sebuah kebetulan saja, atau memang kecerdikan beliau berdua sehingga akhirnya terpilih menjadi wakil rakyat. Saya hanya berharap PGRI tidak menjadi batu loncatan atau kuda tunggangan untuk memuluskan ambisi pribadi mendapatkan kekuasaan. Kasihan PGRI, kasihan guru, kasihan dunia pendidikan, jika organisasi itu menjadi wadah perebutan elit politik. Mudah-mudahan saja dengan keberhasilan mereka menjadi wakil rakyat semakin bisa memajukan pendidikan.
Kembali ke lingkup lokal Ngawi, mudah-mudahan PGRI setempat konsisten dengan perjuangannya. Tapi alangkah eloknya jika perjuangan meningkatkan kesejahteraan guru itu juga dibarengi dengan upaya mengingatkan para guru yang terpeleset perbuatan tak baik. Contohnya guru yang berbuat asusila/mesum, guru yang berzina, guru pengguna narkoba, guru berjudi, guru yang sering membolos, guru yang memanipulasi proses sertifikasi, guru yang mengajari curang muridnya dalam ujian, dan lain-lain. Sanggupkah?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya