Anda pengguna bus kota? Jika iya, tentunya tidak asing dengan namanya pengamen. Tingkahnya pun macam-macam. Sifatnya pun beragam. Ada yang ramah, ada yang sering-sering marah (terutama jika tidak dikasih receh). Sulitnya mendapatkan pekerjaan di sektor formal mengharuskan roda nasib menempatkan mereka sebagai seniman jalanan.
Saya perhatikan ada yang benar-benar memberikan hiburan bagi penumpang. Dengan berkelompok, dengan memainkan beberapa alat musik, dan dengan dukungan vokal yang lumayan, mereka beraksi ciamik sehingga para penumpang amat senang. Tak jarang ada yang kreatif memodifikasi barang-barang bekas menjadi alat musik, seperti galon dan pipa. Suara yang dihasilkan pun harmonis. Tanpa ditegur pun banyak yang memberikan uang, tidak sekedar receh namun lembaran ribuan. Belum lagi jika syair-syair yang dinyanyikan konyol. Seakan menjadi pentas seni di atas kendaraan yang berjalan.
Biasanya para pengamen ini punya kode etik. Itu yang saya perhatikan sebagai pengguna bus kota Jogja-Surabaya, yang sering saya gunakan saat saya masih menjadi mahasiswa. Misalnya jika di dalam bus sudah ada pengamen, maka pengamen yang lain tidak akan masuk di dalam bus tersebut. Ia atau mereka memberikan kesempatan kepada pengamen lain yang telah lebih duluan naik.
Tapi hal seperti ini sepertinya tidak berlaku di Solo. Hati-hati. Selain kota budaya agaknya Solo boleh juga disematkan sebagai kota pengamen hehehe. Anda harus menyediakan receh lebih banyak jika melalui Solo menggunakan bus. Mulai Palur hingga meninggalkan Terminal Tirtonadi, deretan pengamen sambung-menyambung masuk bus.
Kode etik tidak berlaku (kalau memang benar ada kode etiknya lho). Begitu pengamen beraksi, di belakang sudah menunggu pengamen lain yang menunggu giliran beraksi. Tidak hanya satu, bahkan bisa jadi ada dua atau tiga pengamen. Setiap beraksi rata-rata terdiri dari 2 orang. Yang satu membawa gitar kecil sebagai alat musiknya, sedangkan satunya menjadi vokalis sekaligus menepuk tangan. Tepuk tangan ini menghasilkan bunyi yang amat keras, fungsinya untuk membangunkan penumpang yang tidur (atau pura-pura tidur karena sudah jengah saking banyaknya pengamen sambung-menyambung). Lagu yang dinyanyikan pun hanya satu, itu pun kadang tidak sampai selesai. Beda dengan di tempat lain, yang lebih dari satu lagu.
Biasanya saat di awal, pada pengamen yang pertama atau kedua yang lebih dulu berkesempatan beraksi, oleh para penumpang masih diberi uang. Namun pada pengamen-pengamen berikutnya mulai sedikit yang memberikan. Alasannya, pertama uang recehnya sudah habis. Kedua, ngamennya tidak mutu. Ketiga, penumpang banyak yang tidur.
Tak heran saya melihat para pengamen itu marah-marah. Sambil turun dari bus, keluar ucapan para penghuni kebun binatang. Ada juga seorang penumpang yang dipaksa menyerahkan uangnya, wah kok malah malak nih. Saya pernah ketiduran, tidur beneran, dibangunkan mereka yang minta uang. Lha wong suaranya saja saya tidak mendengar, lha kok diminta uang (istilahnya partisipasi). Saya tolak dengan lambaian tangan, untung tidak terjadi apa-apa.
Saran saya, daripada ribut-ribut siapkan saja uang receh. Sebagai gambaran ketika mulai masuk Solo hingga meninggalkan terminal, ada sekitar 10 pengamen atau grup pengamen. Kalau tidak berkenan memberikan uang lambaikan tangan dengan ramah. Jika Anda cuek biasanya mereka akan mereaksinya, bisa dengan sindiran, makian, mata melotot, bisa jadi tempelengan.
Ada teman saya yang kebetulan sedang naik bus melewati Solo. Seperti biasa ia pun mengalami aksi sambung-menyambung. Suatu saat akhirnya pada waktu seorang pengamen meminta uang sesudah menyanyi tidak ada satu pun penumpang yang memberinya. Untuk melampiaskan kekesalannya seorang tua yang duduk di bangku belakang pun dipukulnya. Aksi ini diketahui para penumpang lain. Tak urung para penumpang berbalik mengeroyok si pengamen, bahkan sampai ditendang keluar bus. Para penumpang juga protes kepada kru bus yang seolah tak berdaya mencegah naiknya para pengamen yang datang silih berganti. Ringan saja kru bus menjawab (dan masuk akal), "Bapak-bapak mudah saja bilang begitu karena tidak tiap hari melewati jalan ini. Lha kami, tiap hari harus kerja melalui daerah ini, jika kami mencegah bisa-bisa kami sendiri yang dikeroyok oleh mereka".
Sayang, aksi kotor sebagian dari mereka menjadikan pengamen-pengamen yang baik terkena imbasnya.
Saya perhatikan ada yang benar-benar memberikan hiburan bagi penumpang. Dengan berkelompok, dengan memainkan beberapa alat musik, dan dengan dukungan vokal yang lumayan, mereka beraksi ciamik sehingga para penumpang amat senang. Tak jarang ada yang kreatif memodifikasi barang-barang bekas menjadi alat musik, seperti galon dan pipa. Suara yang dihasilkan pun harmonis. Tanpa ditegur pun banyak yang memberikan uang, tidak sekedar receh namun lembaran ribuan. Belum lagi jika syair-syair yang dinyanyikan konyol. Seakan menjadi pentas seni di atas kendaraan yang berjalan.
Biasanya para pengamen ini punya kode etik. Itu yang saya perhatikan sebagai pengguna bus kota Jogja-Surabaya, yang sering saya gunakan saat saya masih menjadi mahasiswa. Misalnya jika di dalam bus sudah ada pengamen, maka pengamen yang lain tidak akan masuk di dalam bus tersebut. Ia atau mereka memberikan kesempatan kepada pengamen lain yang telah lebih duluan naik.
Tapi hal seperti ini sepertinya tidak berlaku di Solo. Hati-hati. Selain kota budaya agaknya Solo boleh juga disematkan sebagai kota pengamen hehehe. Anda harus menyediakan receh lebih banyak jika melalui Solo menggunakan bus. Mulai Palur hingga meninggalkan Terminal Tirtonadi, deretan pengamen sambung-menyambung masuk bus.
Kode etik tidak berlaku (kalau memang benar ada kode etiknya lho). Begitu pengamen beraksi, di belakang sudah menunggu pengamen lain yang menunggu giliran beraksi. Tidak hanya satu, bahkan bisa jadi ada dua atau tiga pengamen. Setiap beraksi rata-rata terdiri dari 2 orang. Yang satu membawa gitar kecil sebagai alat musiknya, sedangkan satunya menjadi vokalis sekaligus menepuk tangan. Tepuk tangan ini menghasilkan bunyi yang amat keras, fungsinya untuk membangunkan penumpang yang tidur (atau pura-pura tidur karena sudah jengah saking banyaknya pengamen sambung-menyambung). Lagu yang dinyanyikan pun hanya satu, itu pun kadang tidak sampai selesai. Beda dengan di tempat lain, yang lebih dari satu lagu.
Biasanya saat di awal, pada pengamen yang pertama atau kedua yang lebih dulu berkesempatan beraksi, oleh para penumpang masih diberi uang. Namun pada pengamen-pengamen berikutnya mulai sedikit yang memberikan. Alasannya, pertama uang recehnya sudah habis. Kedua, ngamennya tidak mutu. Ketiga, penumpang banyak yang tidur.
Tak heran saya melihat para pengamen itu marah-marah. Sambil turun dari bus, keluar ucapan para penghuni kebun binatang. Ada juga seorang penumpang yang dipaksa menyerahkan uangnya, wah kok malah malak nih. Saya pernah ketiduran, tidur beneran, dibangunkan mereka yang minta uang. Lha wong suaranya saja saya tidak mendengar, lha kok diminta uang (istilahnya partisipasi). Saya tolak dengan lambaian tangan, untung tidak terjadi apa-apa.
Saran saya, daripada ribut-ribut siapkan saja uang receh. Sebagai gambaran ketika mulai masuk Solo hingga meninggalkan terminal, ada sekitar 10 pengamen atau grup pengamen. Kalau tidak berkenan memberikan uang lambaikan tangan dengan ramah. Jika Anda cuek biasanya mereka akan mereaksinya, bisa dengan sindiran, makian, mata melotot, bisa jadi tempelengan.
Ada teman saya yang kebetulan sedang naik bus melewati Solo. Seperti biasa ia pun mengalami aksi sambung-menyambung. Suatu saat akhirnya pada waktu seorang pengamen meminta uang sesudah menyanyi tidak ada satu pun penumpang yang memberinya. Untuk melampiaskan kekesalannya seorang tua yang duduk di bangku belakang pun dipukulnya. Aksi ini diketahui para penumpang lain. Tak urung para penumpang berbalik mengeroyok si pengamen, bahkan sampai ditendang keluar bus. Para penumpang juga protes kepada kru bus yang seolah tak berdaya mencegah naiknya para pengamen yang datang silih berganti. Ringan saja kru bus menjawab (dan masuk akal), "Bapak-bapak mudah saja bilang begitu karena tidak tiap hari melewati jalan ini. Lha kami, tiap hari harus kerja melalui daerah ini, jika kami mencegah bisa-bisa kami sendiri yang dikeroyok oleh mereka".
Sayang, aksi kotor sebagian dari mereka menjadikan pengamen-pengamen yang baik terkena imbasnya.
3 komentar:
Ternyata ada kode etik di antara para pengamen ya..?
Udah lama gak naik bus... dulu sering banget naik bis Yogya-Madiun waktu kuliah.
Emang sih... pengamennya banyak banget... :p
Shasa belum pernah naik bis umum sih...
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya