Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak seluruh lembaga negara dan kementerian untuk berhemat. Optimasi anggaran, dinilai akan memberikan kontribusi signifikan bagi efisiensi penggunaan anggaran negara. Anggaran yang dihemat, kata Presiden, bisa dialihkan untuk pembiayaan hal-hal lain yang mungkin selama ini ditutup melalui utang. Presiden mencontohkan, dari APBN Rp 1.100 triliun, sebesar Rp 600 triliun merupakan anggaran kementerian dan lembaga. Jika dari jumlah itu bisa dihemat sebesar 10 persen, angka penghematan, menurutnya, akan sangat besar.
"Sepuluh persen itu setara dengan Rp 60 triliun. Angka Rp 60 triliun ini bisa digunakan untuk banyak hal, yang selama ini barangkali kita tutup dengan utang. Yang barangkali inilah selama ini yang menyebabkan angka defisit kita tidak turun-turun. Kalau kita bisa betul-betul optimasi, ini sangat luar biasa. Dalam arti kita bisa mengurangi defisit," kata Presiden saat membuka Sidang Kabinet Paripurna, Kamis (21/10/2010), di Istana Bogor, Jawa Barat.
Pembahasan mengenai penghematan anggaran ini menjadi agenda pertama yang dibicarakan dalam Sidang Kabinet Paripurna. Pada APBN 2011, Presiden mengatakan, lembaga kepresidenan ditaksir bisa melakukan penghematan anggaran hingga sekitar 10,47 persen atau setara dengan Rp 200 miliar. Ia berharap, hal itu juga dilakukan di seluruh lembaga negara dan kementerian. "Saya yakin daerah-daerah, provinsi, kabupaten dan kota juga bisa melakukan hal yang sama. Saya juga mengajak Ketua MPR, DPR, DPD, MK, MA dan KY beberapa waktu lalu agar lembaga-lembaga negara yang dipimpinnya melakukan optimasi dan penghematan," ujar Presiden.
Penghematan ini, diharapkannya pula bisa menghilangkan peluang kebocoran anggaran karena pemborosan. "Kalau defisit karena pemborosan bisa kita hilangkan, maka kita akan dapat manfaatnya dan bahkan bisa menyusutkan utang secara signifikan," katanya.
Untuk menyukseskan ajakan berhemat ini, Presiden mengaku telah menugaskan Kepala UKP4, Kepala BPKP dan Menteri Dalam Negeri untuk merumuskan bagaimana upaya optimasi baik di jajaran pemerintah pusat dan daerah dapat dilakukan.
Audit Penerimaan Negara
Dalam kesempatan itu, Presiden juga mengungkapkan bahwa dirinya dan Ketua BPK telah sepakat mengenai perlunya dilakukan audit terhadap penerimaan negara. Hal ini dinilai penting untuk mengetahui berapa sebenarnya penerimaan negara selama ini. "Apakah sudah benar angka penerimaan negara selama ini? Baik penerimaan negara pajak maupun bukan pajak. Siapa tahu dari sisi penerimaan bisa ditingkatkan. Bayangkan, kalau bisa meningkatkan penerimaan negara dan mengoptimalkan pembelanjaan, maka nettonya akan jadi surplus dan akan didapat angka signifikan serta membuat APBN kita sehat," papar Presiden. (sumber:kompas.com).
Ada beberapa catatan yang ingin saya sampaikan di sini. Upaya penghematan diharapkan tidak hanya dilakukan oleh jajaran pemerintah pusat namun juga di daerah-daerah. Untuk penghematan di daerah inilah yang ingin saya beri catatan.
Kenapa selama ini pemerintah daerah boros, salah satunya karena pengalokasian anggaran yang tidak tepat. Hal ini sepertinya memang sengaja dilakukan. Saya mempunyai satu alasan, yakni untuk menyetor upeti ke atasan sesuai target masing-masing instansi. Ada teman yang mengatakan bahwa di kantornya diharuskan menyetor 10% dari anggaran kegiatan ke kepala daerah. Hal ini akhirnya menjadikan instansi membuat laporan pertanggunjawaban kegiatan fiktif.
Selain itu ada juga isu bahwa sekian persen anggaran untuk proyek yang dikerjakan oleh rekanan dipotong. Hal ini bisa menyebabkan kerugian di masyarakat. Misalnya pembangunan jembatan sesuai dengan perencanaan yang harusnya membutuhkan biaya 50 juta harus dipotong menjadi 40 juta, maka kualitas jembatan akan diturunkan.
Terus kemana aliran dana tersebu? Selain masuk ke kantong pejabat teras kabarnya dana juga disetor ke kantong intansi pusat yang ada di daerah. Misalnya untuk menutup kasus pidana dan sebagainya. Entahlah saya tidak tahu pasti kebenaran isu dari teman saya itu.
Di kantor saya sendiri memang ada dana yang digunakan untuk memberikan sesuatu kepada petugas yang bekerja di instansi pusat, baik itu di Jakarta maupun di Surabaya, terutama instansi yang berkaitan dengan kepegawaian. Namun dana tersebut tidak diambilkan dari pos khusus untuk upeti karena memang tidak ada anggarannya dan memang tidak boleh dianggarkan. Padahal kantor juga melarang menarik uang. Akhirnya diambilkan dari pos lain, misalnya dari perjalanan dinas.
Kebiasaan seperti ini sudah lazim dilakukan bertahun-tahun, bahkan jauh sebelum saya masuk menjadi pegawai. Sulit untuk menghentikannya. Saya pernah menyarankan kepada teman yang mengurus kepegawaian di Surabaya dan Jakarta supaya tidak usah menyetor sejumlah uang, tapi ia tidak berani. Takutnya kalau pengurusan kepegawaian dipersulit.
Masalah dipersulit ini pula yang menjadi senjata bagi oknum-oknum instansi pusat jika mereka tidak diberi jatah. Saat mengikuti diklat di Surabaya beberapa tahun yang lalu kebetulan saya satu kamar dengan rekan dari BKD Jombang. Ia pun mengeluhkan setoran kepada oknum-oknum instansi pusat. Pernah pada suatu saat ia mencoba untuk tidak memberikan upeti. Apa yang terjadi? Urusannya dipersulit. Ada saja berkas-berkasnya yang dianggap tidak komplet/hilang, padahal ia sudah yakin waktu diserahkan berkas-berkasnya komplet. Akhirnya mau tidak mau ia harus setor upeti.
Nah sekarang kalau presiden meminta daerah harus hemat anggaran, maka mohon upeti/setoran/pungli yang ada di pusat juga harus dihapuskan. Sulitkah? Relatif. Kalau ada kemauan pasti bisa. Termasuk yang ada di daerah bila semua kompak tidak mau menyetor pasti budaya ini akan punah. Anggaran bisa benar-benar hemat. Rakyat bisa semakin tersenyum.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya