Surat Permenpan Nomor 3 Tahun 2012 memerintahkan kepada daerah untuk melakukan perekaman data tenaga honorer kategori 2 (K2). Dalam melakukan perekaman tersebut harus menggunakan aplikasi yang telah disiapkan oleh BKN. Selanjutnya diserahkan kepada BKN disertai data nominatif beserta softcopy paling lambat tanggal 30 April 2012.
Jauh sebelumnya Pemkab Ngawi telah membuat kebijakan mendata K2. Memang saat itu pemerintah pusat belum memerintahkan untuk melakukan pendataan, baru perintah untuk menyampaikan jumlah. Tapi pemkab selangkah lebih maju. Hal itu disadari karena jumlah honorer yang mengaku K2 ternyata jumlahnya menakjubkan. Berkisar di angka 700. Padahal antara tahun 2005 hingga 2009 telah diangkat lebih dari 3 ribu honorer menjadi CPNS. Itu masih menyisakan 90-an yang mengaku K1, yang akhirnya tersisa 50-an.
Berdasarkan Peraturan Bupati Ngawi Nomor 19 Tahun 2011 ditetapkan petunjuk verifikasi dan validasi data tenaga honorer K2 di lingkungan Pemkab Ngawi. Untuk itu dibentuk Tim Verifikasi dan Validasi yang tugasnya antara lain melakukan pemeriksaan dan pengujian dengan melakukan kegiatan penelitian, pengecekan, dan konfirmasi atas kebenaran/keakuratan keaslian/keabsahan dokumen/data K2.
Awalnya saya memang diproyeksikan menjadi salah satu anggota tim. Saya sempat mengikuti sosialisasi perdana yang antara lain menjelaskan teknis kerja tim, tapi ternyata acara itu masih menyisakan banyak pertanyaan peserta, karena belum tuntas penjelasannya. Terbukti kemudian di lapangan antar anggota tim memiliki kreativitas beragam menyikapi persoalan.
Air Laut kok Diasini
Selasa, 29 Mei 2012
Label:
kepegawaian,
oase,
pustaka,
saat kuliah,
tentang ngawi
Inilah Alasan Wakil Rakyat Kunker
Sabtu, 26 Mei 2012
Sepertinya setiap anggota dewan pernah melakukan kunjungan kerja ke luar daerah. Sepertinya setiap institusi dewan menganggarkan kegiatan kunker pada setiap tahunnya. Apa yang dilakukan dalam setiap kunker? Studi banding, konsultasi, bimbingan teknis, dan sebagainya. Tak ada yang salah. Mudah-mudahan saja manfaatnya dirasakan oleh seluruh masyarakat. Semoga ada ekuivalensi yang sepadan antara besarnya anggaran kunker dengan keejahteraan rakyat. Berikut ini barangkali alasan anggota dewan perlu melakukan kunker ke luar daerah.
Pertama, tidak paham aturan. Tanpa bermaksud mengecilkan kemampuan dan kepandaian anggota dewan yang terhormat, mereka adalah orang-orang yang terpilih melalui pemilihan umum secara langsung. Status anggota dewan bukanlah jabatan karir namun jabatan politik. Jika jabatan karir, untuk merengkuhnya seorang PNS memulai dari bawah, melalui rangkaian tahapan, membutuhkan waktu bertahun-tahun, mengikuti diklat, memenuhi pangkat minimal tertentu, mempunyai kompetensi, dan sebagainya. Sedangkan untuk menjadi anggota dewan, cukup disodorkan oleh partai politik untuk dipertarungkan. Calon legislatif (caleg) yang ditawarkan itulah yang saling beradu dengan sesama caleg separtai atau beda partai. Rakyat memilih dalam pemilu.
Terbuka kemungkinan calon yang tidak punya pengetahuan dan pengalaman dalam pemerintahan yang akan terpilih. Dan itu sah. Tak ada yang melarang, karena aturan memang membolehkan. Jumlah suaralah yang paling menentukan. Tentang kemampuan dan moralitas itu nomor sekian. Berarti itu memang cerminan rakyat. Kalau diperhatikan, bahkan sebagian besar bukanlah berasal dari pemerintahan. Profesi awalnya berbeda-beda, ada yang pedagang, kontraktor, guru, dokter, petani, pengasuh pesantren, karyawan swasta, pegiat LSM. Maka cukup dipahami bila pengetahuan tentang regulasi pun juga beragam. Untuk menunjang tugas kedewanan maka diperlukan mekanisme peningkatan kapasitas mereka, salah satu di antarnya dengan kunker berupa bimtek.
Kedua, aturan memang membingungkan. Produk hukum di negara kita ini sangat banyak. Ratusan bahkan mungkin ribuan. Di antaranya pun kadang saling berbenturan. Kadang juga lahir ketidakkonsistenan. Tidak sinkron satu sama lain. Di samping itu penafsiran setiap orang juga berbeda-beda, termasuk anggota dewan. Nah, untuk menghindari perbedaan dan mencari kesepahaman itulah diperlukan bimtek. Untuk itulah diperlukan konsultasi, terutama ke kementerian yang memang secara teknis menyusun regulasi tersebut pada awalnya.
Pertama, tidak paham aturan. Tanpa bermaksud mengecilkan kemampuan dan kepandaian anggota dewan yang terhormat, mereka adalah orang-orang yang terpilih melalui pemilihan umum secara langsung. Status anggota dewan bukanlah jabatan karir namun jabatan politik. Jika jabatan karir, untuk merengkuhnya seorang PNS memulai dari bawah, melalui rangkaian tahapan, membutuhkan waktu bertahun-tahun, mengikuti diklat, memenuhi pangkat minimal tertentu, mempunyai kompetensi, dan sebagainya. Sedangkan untuk menjadi anggota dewan, cukup disodorkan oleh partai politik untuk dipertarungkan. Calon legislatif (caleg) yang ditawarkan itulah yang saling beradu dengan sesama caleg separtai atau beda partai. Rakyat memilih dalam pemilu.
Terbuka kemungkinan calon yang tidak punya pengetahuan dan pengalaman dalam pemerintahan yang akan terpilih. Dan itu sah. Tak ada yang melarang, karena aturan memang membolehkan. Jumlah suaralah yang paling menentukan. Tentang kemampuan dan moralitas itu nomor sekian. Berarti itu memang cerminan rakyat. Kalau diperhatikan, bahkan sebagian besar bukanlah berasal dari pemerintahan. Profesi awalnya berbeda-beda, ada yang pedagang, kontraktor, guru, dokter, petani, pengasuh pesantren, karyawan swasta, pegiat LSM. Maka cukup dipahami bila pengetahuan tentang regulasi pun juga beragam. Untuk menunjang tugas kedewanan maka diperlukan mekanisme peningkatan kapasitas mereka, salah satu di antarnya dengan kunker berupa bimtek.
Kedua, aturan memang membingungkan. Produk hukum di negara kita ini sangat banyak. Ratusan bahkan mungkin ribuan. Di antaranya pun kadang saling berbenturan. Kadang juga lahir ketidakkonsistenan. Tidak sinkron satu sama lain. Di samping itu penafsiran setiap orang juga berbeda-beda, termasuk anggota dewan. Nah, untuk menghindari perbedaan dan mencari kesepahaman itulah diperlukan bimtek. Untuk itulah diperlukan konsultasi, terutama ke kementerian yang memang secara teknis menyusun regulasi tersebut pada awalnya.
Label:
coretan,
keluarga,
konsultasi,
saat kuliah,
tentang madiun
Main Mata Sanksi Disiplin
Rabu, 23 Mei 2012
Undang-undang kepegawaian mengamanatkan bahwa jika PNS dihukum penjara berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena dengan sengaja melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 4 tahun atau lebih dapat diberhentikan sebagai PNS. Hal ini ditegaskan pula dalam PP Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS. Pemberhentian sebagai PNS karena dihukum penjara di atas pilihannya ada dua yakni dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat. Tapi itu pun sifatnya tidak wajib, karena masih ada pilihan lain yakni dengan tidak memberhentikannya sama sekali.
Pertimbangan untuk diberhentikan atau tidak, atau diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat perlu memperhatikan faktor-faktor yang mendorong PNS melakukan tindak pidana serta berat ringannya keputusan pengadilan yang dijatuhkan. Kalaupun akhirnya tidak diberhentikan maka untuk membangun kepercayaan masyarakat biasanya PNS tersebut dikenai hukuman disiplin. Misalnya perjudian dikenai sanksi pembebasan jabatan, perzinaan dikenai sanksi penurunan pangkat, pencurian dikenai sanksi penundaan kenaikan gaji berkala. Besar kecilnya tingkat hukuman tidak sama antar institusi, tergantung bagaimana menerjemahkan arti melanggar peraturan disiplin. Kini hukuman disiplin diatur dalam PP Nomor 53 tahun 2010. PP disiplin ini bisa jadi merupakan ”jalan” untuk menolong agar PNS yang terkena kasus pidana tidak seketika dipecat.
Jadi singkatnya begini. Ketika ada kasus pidana yang melibatkan PNS maka pejabat yang berwenang dihadapkan pada dua pilihan. Mau menggunakan PP pemberhentian atau PP disiplin. Kalau dia mau ”menyikat” PNS-nya maka bisa digunakan PP pemberhentian (PP 32/1979). Maka dipecatlah PNS itu. Tapi kalau dia mau ”menolong” PNS-nya dan sekaligus tetap menjaga kewibawaan pemerintah maka bisa menggunakan PP disiplin (PP 53/2010).
Ada sebuah celah dalam PP 53/2010 yang memungkinkan terjadinya main mata antara pejabat yang berwenang dan PNS yang akan dijatuhi hukuman disiplin. Pejabat yang berwenang itu mungkin adalah atasan langsung atau mungkin pula pejabat yang masih dalam satu kantor (atasan dari atasan langsungnya atau mungkin pula kepala kantor). Kasus pidananya dilokalisasi hanya sebatas di kantor saja. Tidak merembet sampai di luar. Peraturan disiplin ternyata masih menyisakan pasal karet pula. Dengan berdalih bahwa kewenangan menghukum masih berada di tangannya maka segala proses segera dilakukan termasuk penjatuhan sanksi.
Pertimbangan untuk diberhentikan atau tidak, atau diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat perlu memperhatikan faktor-faktor yang mendorong PNS melakukan tindak pidana serta berat ringannya keputusan pengadilan yang dijatuhkan. Kalaupun akhirnya tidak diberhentikan maka untuk membangun kepercayaan masyarakat biasanya PNS tersebut dikenai hukuman disiplin. Misalnya perjudian dikenai sanksi pembebasan jabatan, perzinaan dikenai sanksi penurunan pangkat, pencurian dikenai sanksi penundaan kenaikan gaji berkala. Besar kecilnya tingkat hukuman tidak sama antar institusi, tergantung bagaimana menerjemahkan arti melanggar peraturan disiplin. Kini hukuman disiplin diatur dalam PP Nomor 53 tahun 2010. PP disiplin ini bisa jadi merupakan ”jalan” untuk menolong agar PNS yang terkena kasus pidana tidak seketika dipecat.
Jadi singkatnya begini. Ketika ada kasus pidana yang melibatkan PNS maka pejabat yang berwenang dihadapkan pada dua pilihan. Mau menggunakan PP pemberhentian atau PP disiplin. Kalau dia mau ”menyikat” PNS-nya maka bisa digunakan PP pemberhentian (PP 32/1979). Maka dipecatlah PNS itu. Tapi kalau dia mau ”menolong” PNS-nya dan sekaligus tetap menjaga kewibawaan pemerintah maka bisa menggunakan PP disiplin (PP 53/2010).
Ada sebuah celah dalam PP 53/2010 yang memungkinkan terjadinya main mata antara pejabat yang berwenang dan PNS yang akan dijatuhi hukuman disiplin. Pejabat yang berwenang itu mungkin adalah atasan langsung atau mungkin pula pejabat yang masih dalam satu kantor (atasan dari atasan langsungnya atau mungkin pula kepala kantor). Kasus pidananya dilokalisasi hanya sebatas di kantor saja. Tidak merembet sampai di luar. Peraturan disiplin ternyata masih menyisakan pasal karet pula. Dengan berdalih bahwa kewenangan menghukum masih berada di tangannya maka segala proses segera dilakukan termasuk penjatuhan sanksi.
Label:
hukum,
kepegawaian,
peraturan,
pustaka
Anggaran Kunker
Minggu, 20 Mei 2012
Sejumlah anggota DPR dari Komisi I melakukan kunjungan kerja ke luar negeri, yakni Jerman. Berita seperti ini sepertinya sudah dianggap biasa saja. Wajar. Umum. Orang tak peduli mau kemana wakil rakyat terhormat bepergian. Dengan kata lain mau apa kek, ingin apa kek, sudah banyak yang cuek. Meski sering disorot, toh kafilah tetap berlalu meninggalkan si rakyat yang capek menggonggong terus.
Tapi yang menarik dari kunjungan Komisi I itu adalah adanya penolakan dari PPI (Persatuan Pelajar Indonesia). Anggota DPR yang berkunjung ke Jerman diprotes oleh para mahasiswa dan pelajar Indonesia yang sedang menempuh studi di sana. Intinya, kunjungan kerja anggota DPR merupakan bentuk pemborosan, merepotkan pihak KBRI, dan mestinya bisa dilakukan dengan mengandalkan teknologi yang kini tak asing lagi semisal teleconference. Parahnya, dalam kunker ini (dan seperti sebelum-sebelumnya) para anggota dewan mengajak keluarganya.
Kunjungan kerja anggota dewan di era reformasi memang seolah menjadi primadona. Alasannya untuk studi banding, konsultasi, bimbingan teknis, mencari bahan untuk membuat regulasi, dan mungkin juga tebersit (meski tidak tertulis di atas kertas) keinginan untuk pelesir dan menambah kocek. Tak cuma di pusat, mereka yang di daerah pun sama saja. Kalau yang di pusat favoritnya adalah luar negeri, sedangkan yang di daerah biasanya ke Jakarta, Batam, atau Bali. Atau tempat-tempat lain yang menggoda untuk berwisata dan berbelanja.
Saya baca di media, para anggota dewan salah satu kota yang merupakan ibukota salah satu provinsi di pulau Jawa sering melakukan kunker ke luar kota hampir secara bersamaan. Bisa dipastikan kantor dewan menjadi sepi. Mulanya Komisi A, berikutnya Komisi B, begitu seterusnya. Lalu bagaimana dengan Ngawi?
Tapi yang menarik dari kunjungan Komisi I itu adalah adanya penolakan dari PPI (Persatuan Pelajar Indonesia). Anggota DPR yang berkunjung ke Jerman diprotes oleh para mahasiswa dan pelajar Indonesia yang sedang menempuh studi di sana. Intinya, kunjungan kerja anggota DPR merupakan bentuk pemborosan, merepotkan pihak KBRI, dan mestinya bisa dilakukan dengan mengandalkan teknologi yang kini tak asing lagi semisal teleconference. Parahnya, dalam kunker ini (dan seperti sebelum-sebelumnya) para anggota dewan mengajak keluarganya.
Kunjungan kerja anggota dewan di era reformasi memang seolah menjadi primadona. Alasannya untuk studi banding, konsultasi, bimbingan teknis, mencari bahan untuk membuat regulasi, dan mungkin juga tebersit (meski tidak tertulis di atas kertas) keinginan untuk pelesir dan menambah kocek. Tak cuma di pusat, mereka yang di daerah pun sama saja. Kalau yang di pusat favoritnya adalah luar negeri, sedangkan yang di daerah biasanya ke Jakarta, Batam, atau Bali. Atau tempat-tempat lain yang menggoda untuk berwisata dan berbelanja.
Saya baca di media, para anggota dewan salah satu kota yang merupakan ibukota salah satu provinsi di pulau Jawa sering melakukan kunker ke luar kota hampir secara bersamaan. Bisa dipastikan kantor dewan menjadi sepi. Mulanya Komisi A, berikutnya Komisi B, begitu seterusnya. Lalu bagaimana dengan Ngawi?
Nyetor Nyonyor
Kamis, 17 Mei 2012
rasikafm.co.id |
Siapa yang musti disalahkan? Yang memberi atau yang menerima? Pernah dalam kesempatan ngobrol ringan, teman yang biasa mengirim berkas kepegawaian saya sarankan nggak usahlah nyangoni orang-orang pusat maupun regional. Apalagi saya juga tidak pernah mendapati tulisan atau pengumuman di kantor mereka tentang besarnya tarif dalam pengurusan kepegawaian. Nggak bisa, Mas, jawabnya. Alasannya sudah kebiasaan, nanti kalau nggak memberi pengurusan kita akan dihambat. Benarkah? Sulit membuktikan. Itu urusan internal mereka. Siapa yang bermain duluan, siapa yang diuntungkan, siapa oh siapa...
Mereka pun ternyata juga menerima pemberian uang dari daerah. Atau mungkin begini ya prinsipnya, kalau tidak memberi tidak apa-apa, tapi kalau mau ngasih pun juga tidak apa-apa, akan kami terima toh ini rejeki. Tak baik menolak rejeki di depan mata. Boleh jadi mereka bersikap pasif. Tidak memaksa meminta namun kalau diberi juga tidak menolak. Abu-abu.
Jam Mengajar Guru
Senin, 14 Mei 2012
Kenapa ingin menjadi guru? Karena ingin mencerdaskan bangsa. Super sekali jawaban itu. Tugas guru memang mulia. Menjadikan generasi penerus bangsa yang cerdas. Pak Wardoyo, mantan kepala sekolah saya semasa SMP mengatakan bahwa kami (para muridnya) harus menjadi pintar dan baik. Pintar berarti sukses secara akademis, baik berarti sukses secara perilaku. Maka untuk menjadi pintar dan baik itu diperlukan peran guru. Guru-lah yang mendidik kami, laksana pelita dalam gulita.
Dibomnya Hiroshima dan Nagasaki oleh AS pada tahun 1945 menyebabkan luluh lantaknya seantero kota. Bom itu pula yang menyebabkan berhentinya Perang Dunia Kedua ditandai dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu. Pasca pengeboman, pemimpin Jepang sedih. Apa yang ditanyakannya? Berapa guru yang masih tersisa. Super sekali. Pertanyaan pertama bukanlah berapa gedung yang masih tersisa atau berapa banyak jalan yang masih ada. Tapi, berapa banyak guru yang tersisa? Kini, puluhan tahun berikutnya Jepang menjadi negara yang hebat. Berkat apa? Pendidikan. Guru.
Beruntung Pemerintah kita saat ini memperhatikan guru. Bahkan ada undang-undang khusus tentang guru (sekaligus dosen). Hak-haknya dilindungi. Anggaran untuk pendidikan dipatok minimal 20%. Bantuan-bantuan untuk sekolah ditambah. Guru merupakan sebuah profesi. Guru mendapatkan sertifikasi dengan tunjangan sebesar gaji pokoknya. Yang belum sertifikasi pun tak usah khawatir karena ada tunjangan non sertifikasi. Itu pun masih menikmati tunjangan fungsional. Belum lagi tawaran beasiswa dari berbagai lembaga, baik pemerintah maupun swasta.
Saya sedang tidak berminat menyoroti masalah pendidikan dan guru di negeri ini secara nasional. Sudah banyak pakar berbicara. Pujian dan kritikan silih berganti bersahutan. Saya ingin menulis yang remeh temeh saja. Menulis yang tak banyak mengeluarkan isi otak. Data, analisa, dan sebagainya biarlah dipakai para pakar, para profesor, para doktor. Ngobrol yang ringan-ringan saja lah. Sementara yang saya bicarakan adalah guru PNS, yang non PNS jangan iri dulu.
Dibomnya Hiroshima dan Nagasaki oleh AS pada tahun 1945 menyebabkan luluh lantaknya seantero kota. Bom itu pula yang menyebabkan berhentinya Perang Dunia Kedua ditandai dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu. Pasca pengeboman, pemimpin Jepang sedih. Apa yang ditanyakannya? Berapa guru yang masih tersisa. Super sekali. Pertanyaan pertama bukanlah berapa gedung yang masih tersisa atau berapa banyak jalan yang masih ada. Tapi, berapa banyak guru yang tersisa? Kini, puluhan tahun berikutnya Jepang menjadi negara yang hebat. Berkat apa? Pendidikan. Guru.
Beruntung Pemerintah kita saat ini memperhatikan guru. Bahkan ada undang-undang khusus tentang guru (sekaligus dosen). Hak-haknya dilindungi. Anggaran untuk pendidikan dipatok minimal 20%. Bantuan-bantuan untuk sekolah ditambah. Guru merupakan sebuah profesi. Guru mendapatkan sertifikasi dengan tunjangan sebesar gaji pokoknya. Yang belum sertifikasi pun tak usah khawatir karena ada tunjangan non sertifikasi. Itu pun masih menikmati tunjangan fungsional. Belum lagi tawaran beasiswa dari berbagai lembaga, baik pemerintah maupun swasta.
Saya sedang tidak berminat menyoroti masalah pendidikan dan guru di negeri ini secara nasional. Sudah banyak pakar berbicara. Pujian dan kritikan silih berganti bersahutan. Saya ingin menulis yang remeh temeh saja. Menulis yang tak banyak mengeluarkan isi otak. Data, analisa, dan sebagainya biarlah dipakai para pakar, para profesor, para doktor. Ngobrol yang ringan-ringan saja lah. Sementara yang saya bicarakan adalah guru PNS, yang non PNS jangan iri dulu.
Pencopotan Jabatan Guru
Jumat, 11 Mei 2012
Yang perlu saya tanyakan, apa anda sebelum menulis komentar di atas juga sudah mencari tahu duduk persoalannya ? kejelasan kasusnya dll...Jangan hanya asal tulis Boss...cari Tahu tuu..jadi..benar-benar proposional, anda ini sok menjadi orang yang proposional tapi tak tahu makns proposional, sok adil tapi tidak memahami makna adil..introspeksi Boss...
Kalimat di atas merupakan komentar terhadap tulisan saya yang berjudul Sanksi Guru (Terlapor) Cabul. Saya perlu meluruskan karena seolah-olah saya dianggap memihak guru yang berbuat asusila terhadap muridnya. Padahal bukan itu masalahnya. Di awal tulisan telah saya singgung bahwa perbuatan asusila pantas mendapatkan balasan. Balasan itu, baik secara pidana yang merupakan tugas aparat hukum, maupun secara kepegawaian yang merupakan urusan instansi guru tersebut. Bahkan masyarakat pun biasanya turut menjatuhkan hukuman berupa sanksi sosial. Dan, Tuhan yang akan membalasnya di akherat kelak.
Oke, clear kan. Untuk masalah pidananya kita tunggu hasil kerja aparat hukum. Hingga saat ini tidak ada lagi pemberitaan di media massa, padahal dari situlah salah satu sumber informasi yang bisa kita dapatkan. Sudah lebih dari dua bulan ternyata belum jelas sudah sampai di mana kasusnya. Munculnya berita di awal tentang kasus ini masih berupa pengaduan. Padahal masih ada beberapa tahap. Penyelidikan, penyidikan, penahanan, persidangan, putusan pengadilan, pelaksanaan putusan, itulah beberapa tahapan yang mesti dilalui. Sampai di manakah? Saya tak mau repot-repot untuk mendatangi kantor polisi, kejaksaan, pengadilan, atau rumah tahanan untuk sekedar menanyakan. Buat apa? Bukan urusan saya, kok. Famili saja kagak.
Mari kita soroti proses kepegawaian yang menyertai kasus ini. Sang guru ternyata sudah dicopot dari jabatannya sebagai guru oleh pimpinan tertinggi pemerintah daerah alias bupati. Dasar pencopotannya adalah adanya laporan dugaan perbuatan asusila. Tunjangan jabatannya pun turut dihentikan. Otomatis ketika seorang PNS fungsional tertentu dicopot dari jabatannya maka ia menjadi fungsional umum. Lazimnya fungsional umum itu dinamakan staf.
Nah, di sinilah saya membuka ruang diskusi atas pembebasan jabatan fungsional tertentu. Guru termasuk dalam jabatan fungsional tertentu. Sahkah pembebasan jabatan yang berdasarkan pada laporan? Apakah setiap laporan dari instansi terhadap guru yang diduga melanggar aturan mesti ditindaklanjuti dengan pencopotan? Kalau iya apa dasar hukumnya? Siapa yang berwenang memutuskan? Sampai kapan? Mari kita berdialektika.
Label:
konsultasi,
oase,
peraturan,
pustaka,
tentang ngawi
12 Plus 1 Jurus Nggedabrus (Seri Pamungkas)
Selasa, 08 Mei 2012
Ini bagian terakhir alias pamungkas. Baca dulu deh seri-seri sebelumnya yakni seri perdana dan seri lanjutan. Secara singkat beberapa program unggulan sebelumnya adalah spesialisasi jabatan, lelang jabatan, program pengabdian di desa, sistem reward, kontrak kinerja, beasiswa pendidikan yang selektif, transparan, dan akuntabel, pelayanan satu pintu, pelayanan online, ruang konseling dan konsultasi kepegawaian, anjungan informasi kepegawaian, pengelolaan website, SMS kepegawaian.
Seri Pertamax: klik di sini
Seri Lanjutan: klik di situ
hendrawanonline.blogspot.com |
Berapa dana yang dibutuhkan Pemda? Gratis. Lho kok!? Lha iya. Kerjasama saja dengan pihak bank. Selama ini, saya tahu, ada beberapa bank yang ”mengejar-ngejar” para calon pensiunan. Buat apa? Ah tahulah itu, bukan hal yang tabu kok. Berebut cari nasabah. Nah, buat saja pelatihan bekerjasama dengan pihak bank. Mereka yang mendanai, BKD yang menghubungi/mengundang calon pensiunan. Apalagi, saya yakin, bank pasti punya mitra wirausahawan, diajak saja pula para calon pensiunan ke sana, anjangsana, melihat-lihat bisnis. Siapa tahu tertarik berbisnis saat purna tugas. Modalnya, pinjam bank itu. Nah lho, saling menguntungkan kan. Uang tali asih bisa digunakan untuk jurus-jurus lain seperti di atas. Artinya, boleh jadi jurus-jurus di atas itu tak perlu ada penambahan anggaran. Pemkab tak jadi bangkrut kan.
Label:
kepegawaian,
oase,
serba-serbi,
tentang madiun,
tentang ngawi
12 Plus 1 Jurus Nggedabrus (Seri Lanjutan)
Sabtu, 05 Mei 2012
Kalau boleh saya juga ingin bermimpi. Bermimpi tentang program unggulan dalam hal pelayanan kepegawaian. Saya rasa untuk bermimpi tak harus menjadi bupati atau pejabat struktural terlebih dahulu. Staf biasa juga boleh kok bermimpi. Mumpung belum dilarang, inilah impian saya. 13 Jurus Nggedabrus. Jreng jreng jreng ...
Yang saya paparkan ini adalah kelanjutan dari jurus-jurus nggedabrus. Agar lebih komplet silakan Anda klik bagian sebelumnya yakni pada seri pertamax. Sebagai orang biasa yang ingin ikut serta berpartisisapi eit berpartisipasi mengurai problematika birokrasi di daerah. Jurus sebelumnya adalah spesialisasi jabatan, lelang jabatan, program pengabdian di desa, sistem reward, kontrak kinerja, beasiswa pendidikan yang selektif, transparan, dan akuntabel. Ini kelanjutan impian saya.
danisetiyawan.com |
Kedelapan, pelayanan online. Ini sebenarnya hampir sama dengan pelayanan satu pintu namun lebih canggih yakni menggunakan teknologi informatika. Dengan bantuan internet pelayanan kepegawaian dapat digunakan. Hasilnya pelayanan semakin cepat, hemat, dan, tepat waktu. Selain itu juga ramah lingkungan dan menghindari KKN.
Kesembilan, ruang konseling dan konsultasi kepegawaian. Ternyata masalah PNS itu beragam. Yah, ia juga merupakan manusia, maka tak lepas dari problematika kehidupan. Misalnya masalah utang, ribut dengan keluarga, perceraian, kriminal, sakit jiwa. Dan ternyata efeknya mempengaruhi juga pada kepegawaian, misalnya kinerja menurun, ogah-ogahan, bolos. Sebelum banyak kejadian dan menimbulkan efek penularan kepada teman sejawat perlu langkah preventif. Bentuknya penyediaan ruang konseling. Selain itu juga melayani konsultasi kepegawaian.
Label:
kepegawaian,
oase,
serba-serbi,
tentang madiun
12 Plus 1 Jurus Nggedabrus (Seri Pertamax)
Rabu, 02 Mei 2012
cakwid.net |
Setiap satker akhirnya diperintahkan membuat program unggulan. Disuruh bermimpi. Tak terkecuali BKD, institusi yang bertugas mengelola kepegawaian di kabupaten. Yang saya tangkap program unggulan BKD adalah peningkatan pelayanan kepegawaian, optimalisasi disiplin PNS, dan pengembangan SDM. Sebenarnya paparan dari BKD itu merupakan kebutuhan dasar pelayanan, maksudnya ya memang seperti itu harusnya sebuah kantor, misalnya pelayanan tepat waktu, kemudahan akses, kesempatan pengembangan diri. Bukankah ini hal yang wajar bagi setiap institusi.
Kalau boleh saya juga ingin bermimpi. Bermimpi tentang program unggulan dalam hal pelayanan kepegawaian. Saya rasa untuk bermimpi tak harus menjadi bupati atau pejabat struktural terlebih dahulu. Staf biasa juga boleh kok bermimpi. Sebagai catatan, sebagian di antaranya masing-masing telah saya buat pada bagian-bagian yang terpisah pada masa lalu. Jadi di sini tak perlu panjang lebar saya ulang. Bisa kok diklik tautannya. Mumpung belum dilarang, inilah impian saya. 13 Jurus Nggedabrus. Jreng jreng jreng ...
Pertama, spesialisasi jabatan. Banyak orang yang menilai bahwa jumlah PNS sudah sangat banyak. Padahal di sisi lain banyak juga PNS yang kerjanya tak keras-keras amat. Dominan pada kegiatan administasi. Nah, agar lebih efektif jenis jabatan fungsional tertentu harus diperbanyak. Bukan berarti memperbanyak jumlah pegawai, lho. Pegawainya tetap tapi diberikan spesialisasi jabatan. Selain lebih konsentrasi pada tugas dan pekerjaan, PNS tak melulu berebut jabatan struktural yang kadang-kadang beraroma fulus.
Label:
kepegawaian,
oase,
serba-serbi,
tentang madiun,
tentang ngawi
Langganan:
Postingan (Atom)