Interaksi Antar Pemangku Kepentingan
Selain Kepala Daerah, wakil rakyat di daerah (DPRD) memiliki peran yang besar pula dalam pembahasan APBD. Dalam regulasi, DPRD mempunyai fungsi pengawasan, fungsi legislasi (pembuatan Perda) bersama eksekutif, dan fungsi anggaran (budgeter). Senada dengan Kepala Daerah, anggota dewan memiliki kepentingan juga. Hakekatnya karena mereka terpilih melalui proses pemilu dengan diberi suara (mandat) oleh rakyat, maka seharusnya kepentingan rakyatlah yang diutamakan. Namun, tidak selamanya seperti itu. Setidaknya ada 3 kepentingan di sini.
Kepentingan pertama adalah kepentingan politik. Kepentingan ini berkaitan dengan upaya untuk mempertahankan kedudukan sebagai anggota dewan. Karena biaya politik yang tinggi maka sangat banyak sumber dana yang telanjur dikeluarkan sedangkan pendapatan sebagai wakil rakyat tidak cukup untuk mengembalikannya. Selain itu, karena anggota dewan merupakan jabatan politik, maka periode jabatan dibatasi oleh waktu (lima tahun). Diperlukan sumber dana lagi dalam kompetisi pemilu berikutnya. Biaya politik itu mereka dapatkan dengan memanfaatkan dana APBD. Modusnya sama dengan Kepala Daerah, yakni kolaborasi dengan pengusaha.
Kepentingan kedua adalah kepentingan pribadi. Kepentingan ini berkaitan dengan kerakusan manusia ketika memperoleh kesempatan untuk mendapatkan uang terutama dengan mengambil dana APBD. Maka tak heran, sanasib dengan Kepala Daerah, banyak anggota dewan (baik di pusat maupun daerah) yang terkena kasus korupsi. Jangan-jangan banyaknya korupsi yang melibatkan Kepala Daerah dan anggota dewan, memang karena mereka bekerja sama (istilahnya korupsi berjamaah). Begitulah akibatnya bila antara pelaku kebijakan dan pengontrol pelaksanaan kebijakan ber-kongkalikong.
Kepentingan ketiga adalah kepentingan konstituen. Kepentingan ini lebih mencerminkan aspirasi sebagian rakyat daripada kepentingan pribadi. Ketika berkompetisi, para wakil rakyat berjanji untuk memperjuangkan kepentingan rakyat di daerah pemilihannya (konstituen), dengan syarat mereka harus memilih dirinya. Maka, ketika sungguh-sungguh terpilih, maka konstituen menagih janjinya. Tak ada yang keliru dalam logika seperti ini. Namun semestinya, begitu terpilih menjadi wakil rakyat maka kepentingan rakyatlah yang diutamakan, bukan sekadar kepentingan konstituen. Belum tentu anggaran daerah yang dikeluarkan (karena jerih payah wakil rakyat dalam berjuang) untuk sebuah proyek yang diminati konstituennya, dinikmati oleh sebagian besar masyarakat.
Masalah lain yang tak kalah peliknya adalah interaksi politik antara Kepala Daerah dan DPRD dalam dinamika pembahasan APBD. Bila Kepala Daerah berasal dari atau didukung oleh mayoritas partai yang menempatkan wakilnya di DPRD maka biasanya pembahasan APBD cenderung lancar. Namun sebaliknya, bila Kepala Daerah dan DPRD mempunyai afiliasi politik yang berbeda, bisa jadi pembahasan APBD menjadi berlarut-larut. Belum lagi DPRD seringkali mengurusi hal yang terlalu teknis di dalam pembahasan APBD.
Sistem Keuangan dan Pertanggungjawaban
Salah satu isu yang menarik dalam sistem keuangan adalah masalah kapasitas daya serap anggaran. Sejauh ini Pemda masih belum berkekuatan penuh menyerap anggaran yang ada. Hal ini ironis ketika anggaran yang begitu besar digunakan untuk belanja pegawai sedangkan sisanya yang mestinya bisa digunakan untuk investasi publik, pengembangan infrastruktur, dan peningkatan kesejahteraan rakyat secara langsung ternyata tidak terserap sepenuhnya.
Alasan penghematan sepertinya bukan faktor utama. Ada beberapa faktor penyebab masalah ini, yakni karena buruknya sistem perencanaan anggaran, rendahnya kualitas SDM, berbelitnya prosedur pengadaan barang/jasa pemerintah, lemahnya proses legislasi di daerah, atau orientasi sempit dengan menyimpan dana agar mendapatkan bunga simpanan SBI. Hal itu diperparah dengan ketakutan kalangan birokrat untuk menjadi pelaksana proyek karena ancaman tindak pidana korupsi, padahal mereka merasa hanya melakukan kesalahan prosedur. Resiko yang mesti ditanggung oleh pelaksana proyek tak sebanding dengan imbalan (honor) yang didapatkan. Apalagi jika aparat hukum sekadar mencari-cari kesalahan. Bukankah isu mafia hukum ternyata bukan isapan jempol belaka, bukan?
Terkait masalah pertanggungjawaban, sumber masalah utama adalah tidak efektifnya peran inspektorat di daerah. Padahal, keberadaan inspektorat mestinya bernilai strategis. Pertama, menjadi lembaga preventif dan jaring pengaman internal sebelum datangnya pihak pengawas eksternal (BPK, BPKP, Kejaksaan, Polri, KPK). Kedua, sebagai unit pengawas internal yang memiliki peluang terlibat sejak fase perencanaan, pelaksanaan, capaian, dan evaluasi kebijakan sehingga memungkinkan deteksi dini dan koreksi langsung untuk menghindari kerusakan masif. Seandainya semua ini dijalankan, bisa dipastikan mutu tata kelola dan tata pembukuan keuangan daerah tidak lagi menjadi sasaran permanen kritikan publik dan temuan lembaga berwenang.
Penutup
Menelisik akar masalah di atas, memang demokrasi membutuhkan proses yang panjang bahkan tak jarang menghasilkan kegaduhan. Hal ini berbeda dengan sistem otoriter yang terlihat adhem ayem karena segalanya sudah ditentukan oleh penguasa. Demokrasi memerlukan partisipasi sehingga harga yang harus dibayar adalah semuanya tidak bisa dikerjakan secara terburu-buru serta melibatkan semua yang berkepentingan.
Otonomi daerah sebagai anak kandung reformasi perlu didukung seluruh pihak termasuk dalam bidang keuangan daerah. Mengembalikan sistem menjadi sentralisme seperti semula (ditentukan oleh pusat) bukanlah menjadi pilihan yang bijak. Biarlah desentralisme berjalan, tentu saja dengan memperbaiki apa-apa yang masing kurang. Ada beberapa upaya yang bisa dijadikan alternatif, misalnya pengurangan belanja pegawai dengan moratorium penerimaan pegawai baru, merajut harmoni interaksi antara Kepala Daerah dan DPRD, mengurangi biaya politik dalam Pilkada, dan memperbaiki sistem keuangan dan laporan pertanggungjawaban.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya