APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah (Pemda) dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda). Pemda wajib menyampaikan Perda kepada Menteri Keuangan maksimal tanggal 20 Maret. Bagi yang terlambat, penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU)-nya ditunda 25 persen per bulan.
Dalam pengelolaan keuangan publik selalu terjadi kendala penganggaran, yang mana banyaknya kebutuhan selalu dihadapkan pada keterbatasan sumber-sumber pendapatan daerah. DAU merupakan salah satu komponen penting sumber pendapatan bagi daerah sebagai dana perimbangan yang ditransfer pusat ke daerah. Sebagian besar daerah masih menggantungkan dana transfer ini sebagai sumber pendapatan. Rata-rata secara nasional, 68 persen sumber pendapatan daerah pada tahun 2011 berasal dari dana perimbangan. Ini meningkat menjadi 70 persen pada tahun 2012.
Daerah-daerah yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alam besar pada akhirnya menggantungkan sepenuhnya pada “subsidi” dari pusat dalam bentuk DAU. Upaya yang dilakukan antara lain dengan melakukan lobby secara intensif dengan policy maker DAU di pusat khususnya Depkeu dan DPR. Para politisi sengaja membiarkan pembengkakan birokrasi karena mereka pun memperoleh keuntungan dari sistem organisasi dan personel yang membengkak, misalnya keuntungan dari proyek-proyek yang dikelola setiap lembaga (Hadna, 2010).
Bagi kebanyakan daerah, sebagaian besar dana dari komponen DAU tersedot untuk membayar gaji pegawai daerah yang jumlahnya membengkak karena adanya pemindahan pegawai dari pusat ke daerah. Lebih dari 75% dana yang diperoleh dari DAU di seluruh daerah di Indonesia ternyata harus dialokasikan untuk membayar gaji pegawai. Sisanya harus dibagi-bagi untuk membiayai 20 sektor pembangunan daerah mulai dari pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, pembangunan dan renovasi infrastruktur, hingga pembangunan sarana ekonomi (Kumorotomo, 2005).
Tahun 2013 terdapat 17 Pemda yang terkena sanksi karena keterlambatan penyampaian Perda ke Menkeu. Sedangkan tahun 2012 terdapat 16 Pemda. Dibandingkan dengan jumlah Pemda seluruhnya (Pemprov, Pemkab, dan Pemkot) yang mencapai 524, maka jumlah ini termasuk kecil, hanya 3,24 persen. Bandingkan dengan Pemda yang menganggarkan belanja pegawai di atas 50 persen dalam APBD, yakni 340 Pemda.
Keterlambatan penetapan APBD dan penganggaran belanja pegawai di atas 50 persen merupakan dua hal yang sama-sama tidak menguntungkan bagi masyarakat. Namun anehnya ancaman yang diterima berbeda. Pemda yang menganggarkan belanja pegawai di atas 50 persen tidak mendapatkan sanksi, kecuali moratorium pengangkatan CPNS yang hanya berlaku selama satu tahun. Ini berbeda dengan ancaman yang diterima Pemda jika terlambat menyerahkan APBD, yakni penundaan penyaluran DAU.
Secara mekanistik, tahapan perencanaan dan penganggaran di Pemda meliputi proses yang panjang mulai dari Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) di tingkat desa dari bulan Januari, penetapan Rencana Kerja Tahunan pada bulan Mei, penyusunan usulan anggaran di bulan Agustus, sampai dengan penetapan APBD sendiri di bulan Desember. Proses yang panjang tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu tahap perencanaan dan tahap penganggaran. Pada tahapan perencanaan, tujuannya adalah menghasilkan dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang berisi daftar kegiatan yang secara logis dapat dilakukan oleh pemerintah di tahun depan, sedangkan jumlah pendanaan yang dibutuhkan oleh kegiatan-kegiatan tersebut baru akan diputuskan pada tahap penganggaran yang dimulai pada bulan Juli dan berakhir dengan penetapan APBD di bulan Desember.
Penyebab Keterlambatan
Ada beberapa kemungkinan mengapa dapat terjadi keterlambatan Pemda dalam menyelesaikan APBD, yakni:
Pertama, proses perencanaan seringkali hanya bersifat formalitas belaka. Forum yang semestinya bisa mengakomodasi kepentingan masyarakat (termasuk berbagai kepentingan politik) kurang mendapat perhatian, karena sebagian besar lebih tertarik pada tahap penganggaran. Mudah dipahami, sebab pada tahap penganggaran-lah perhitungan biaya (uang) mulai terbahas. Akibatnya rencana kegiatan yang telah dibuat mesti dibahas ulang di tahap penganggaran yang seringkali bertele-tele karena lahirnya transaksi politik.
Kedua, keterlambatan penyusunan RAPBD sehingga terlambat diserahkan Kepala Daerah kepada DPRD. Keterlambatan ini bisa disebabkan karena masalah teknis manajerial, rendahnya kompetensi birokrasi, atau tidak sinkronnya peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat sebagai pedoman.
Ketiga, DPRD tidak menjalankan fungsi anggaran dengan baik. Penyebabnya hampir sama dengan apa yang dialami oleh Pemda yakni masalah teknis manajerial dan rendahnya kompetensi anggota DPRD. Di samping itu keterlibatan DPRD dalam penyusunan APBD terlalu jauh sampai jenis kegiatan, besaran anggaran, dan lokasi program.
Keempat, terjadinya tarik ulur kepentingan politik lokal. Anggota DPRD yang menghendaki kepentingan politiknya (dan juga kepentingan pribadinya) terakomodasi mendesak kepada Pemda untuk dimasukkan dalam APBD. Tak jarang, kepentingan tersebut sebenarnya belum urgen untuk direalisasikan. Pemda akhirnya menghadapi dilema. Jika menolak maka terjadilah ketegangan yang mengakibatkan pembahasan APBD menjadi berlarut-larut. Jika dituruti berarti mengorbankan kepentingan sebagian rakyat lain.
Kelima, keterlambatan evaluasi oleh Gubernur. Rancangan Perda tentang APBD yang telah disetujui Bupati/Walikota bersama DPRD, sebelum ditetapkan harus disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi. Kemungkinan Gubernur bisa terlambat mengevaluasi.
Mencari Solusi
Beberapa terobosan perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang muncul dalam penyusunan APBD, yakni:
Pertama, perlu dilakukan inovasi-inovasi dalam proses perencanaan partisipatif sedemikian rupa sehingga aspirasi-aspirasi politik diyakini benar-benar terserap dalam dokumen perencanaan. Dengan demikian, pembahasan rancangan APBD dapat lebih terfokus pada besaran dana yang seharusnya dialokasikan dan tidak lagi terlalu terbebani dengan transaksi-transaksi politik.
Kedua, perlu dikembangkan strategi berupa dialog ataupun sosialisasi mengenai perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja. Tujuan utama dilakukannya langkah ini adalah untuk mengubah paradigma tradisional yang berfokus pada penganggaran uang menjadi paradigma yang berbasis kinerja yang menitikberatkan pada perencanaan kegiatan yang menjawab akar permasalahan di masyarakat.
Ketiga, perlu penguatan kapasitas dan komitmen, baik bagi kalangan Pemda maupun DPRD. Pada umumnya Pemda yang mengalami keterlambatan APBD adalah daerah tertinggal, sehingga perlu fasilitasi dan pengawasan lebih intensif dari Pemprov maupun Pemerintah Pusat. Namun sebenarnya yang utama adalah komitmen, dan justru inilah yang paling sulit. Proses politik berbiaya tinggi barangkali menjadi akar masalah kenapa seringkali anggota dewan (begitu pula Kepala Daerah) bernafsu besar ingin menguasai anggaran.
Keempat, pemberian sanksi sesuai aturan mesti tetap dijalankan namun dengan sanksi yang lebih spesifik. Sanksi penghentian pemberian DAU dirubah dengan sanksi penundaan pembayaran tunjangan pejabat pemerintah dan anggota DPRD.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya