Salah satu pilar globalisasi adalah perusahaan multinasional (multinational corporations/MNCs). Argumentasi tersebut berpijak pada fakta bahwa globalisasi merupakan sebuah konsep ekonomi yang berlandaskan pada teori ekonomi klasik/neoklasik dengan pemberian kebebasan individu sebagai pilar utama dalam mekanisme pasar. Oleh karena itu, sektor privat (korporasi) dengan skala usaha global diharapkan dapat menjadi instrumen ekonomi yang bisa menjalankan mekanisme pasar sekaligus globalisasi. Upaya tersebut memperlihatkan bahwa globalisasi merupakan konsep ekonomi yang berusaha memapankan salah satu sistem ekonomi suatu negara dan menjadikan negara-negara lain sebagai pecundang.
Hal itu bisa terjadi karena perusahaan-perusahaan transnasional mayoritas menghuni negara-negara maju, sehingga setiap terjadi peningkatan laba korporasi raksasa tersebut akan menaikkan pendapatan negara (baik dalam bentuk setoran fiskal maupun penambahan devisa). Sedangkan bagi negara-negara lain (terutama berkembang dan miskin), justru hanya dijadikan pasar atau sumber mendapatkan bahan baku dengan harga yang relatif rendah.
Dalam perkembangan ekonomi politik pasca reformasi, peran negara dalam menguasai hajat hidup orang banyak cenderung sudah berpindah di tangan swasta. Pendekatan neo liberalisme dengan tiga prinsip utamanya yaitu deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi telah membawa pemerintah kepada berbagai kebijakan yang tidak populis di mata rakyat. Ketidakmampuan pemerintah sudah menunjukkan kelemahan negara yang telah memasuki era state denial. Fenomena penghindaran negara atau state denial dalam urusan ekonomi telah dituliskan oleh Linda Weiss (1998) dikutip oleh Nurdin (2009) yang ditunjukkan dengan hilangnya otonomi nasional, lemahnya pemerintah dalam mengahadapi modal transnasional, dan kurangnya nasionalisme sebagai prinsip kenegaraan.
Lahirnya sejumlah Undang-undang (UU Migas, UU Ketenagalistrikan, UU BUMN, UU SDA, UU PM, dan lain-lain) yang menjadi paket dari pinjaman utang, telah melegalisasi praktek neokolonialisme di Indonesia. Bahkan, praktek ini dilakukan oleh hampir seluruh rezim komprador yang menjadi kaki tangan kekuatan imperialis untuk menjalankan agenda-agenda ekonomi neoliberalisme di negeri ini (Hakim, 2011). Menurut Susetiawan (2009) dalam posisi ini, para pihak (stakeholders) terasa tak berdaya melawan konstruksi neoliberal yang semakin menguasai dunia.
Globalisasi Birokrasi (Bagian 1)
Jumat, 22 Februari 2013
Krisis terhadap pembangunan yang terjadi saat ini pada dasarnya merupakan bagian dari krisis sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia lain, yang diperkirakan telah berusia lebih dari lima ratus tahun. Proses sejarah dominasi itu pada dasarnya dapat dibagi ke dalam tiga periode formasi sosial. Berikut ini penjelasannya dikutip dari Fakih (2002).
Fase pertama adalah periode kolonialisme yakni fase perkembangan kapitalisme di Eropa yang mengharuskan ekspansi secara fisik untuk memastikan perolehan bahan baku mentah. Melalui fase kolonialisme inilah proses dominasi manusia dengan segenab teori perubahan sosial yang mendukungnya telah terjadi dalam bentuk penjajahan selama ratusan tahun.
Berakhirnya kolonialisme telah memasukkan dunia pada era neo kolonialisme, ketika modus dominasi dan penjajahan tidak lagi fisik dan secara langsung, melainkan melalui penjajahan teori dan ideologi. Pada fase kedua ini dikenal sebagai era pembangunan atau era developmentalisme. Periode ini ditandai dengan masa kemerdekaan negara dunia ketiga secara fisik, tetapi pada era developmentalisme ini dominasi negara-negara bekas penjajah terhadap bekas koloni mereka tetap dipertahankan melalui kontrol terhadap teori dan proses perubahan sosial mereka.
Dalam kaitan itulah sesungguhnya teori pembangunan ataupun paham developmentalisme menjadi bagian dari media dominasi karena teori tersebut direkayasa menjad paradigma dominan untuk perubahan sosial Dunia Ketiga oleh Negara Utara. Dengan kata lain, pada fase kedua ini kolonialisme tidak terjadi secara fisik, melainkan melalui hegemoni yakni dominasi cara pandang dan ideologi serta “diskursus” yang dominan melalui produksi pengetahuan. Pembangunan memainkan peran penting dalam fase kedua ini, yang akhirnya juga mengalami krisis.
Fase pertama adalah periode kolonialisme yakni fase perkembangan kapitalisme di Eropa yang mengharuskan ekspansi secara fisik untuk memastikan perolehan bahan baku mentah. Melalui fase kolonialisme inilah proses dominasi manusia dengan segenab teori perubahan sosial yang mendukungnya telah terjadi dalam bentuk penjajahan selama ratusan tahun.
Berakhirnya kolonialisme telah memasukkan dunia pada era neo kolonialisme, ketika modus dominasi dan penjajahan tidak lagi fisik dan secara langsung, melainkan melalui penjajahan teori dan ideologi. Pada fase kedua ini dikenal sebagai era pembangunan atau era developmentalisme. Periode ini ditandai dengan masa kemerdekaan negara dunia ketiga secara fisik, tetapi pada era developmentalisme ini dominasi negara-negara bekas penjajah terhadap bekas koloni mereka tetap dipertahankan melalui kontrol terhadap teori dan proses perubahan sosial mereka.
Dalam kaitan itulah sesungguhnya teori pembangunan ataupun paham developmentalisme menjadi bagian dari media dominasi karena teori tersebut direkayasa menjad paradigma dominan untuk perubahan sosial Dunia Ketiga oleh Negara Utara. Dengan kata lain, pada fase kedua ini kolonialisme tidak terjadi secara fisik, melainkan melalui hegemoni yakni dominasi cara pandang dan ideologi serta “diskursus” yang dominan melalui produksi pengetahuan. Pembangunan memainkan peran penting dalam fase kedua ini, yang akhirnya juga mengalami krisis.
Administrasi Publik dan Definisinya
Senin, 18 Februari 2013
Definisi dan cakupan administrasi publik bisa diidentifikasi melalui dua makna publik yakni: 1. Lembaga; dan 2. Publik. Sejarah perkembangan ilmu administrasi publik dan konteks kelembagaan bisa dimaknai bahwa administrasi publik sebagai bagian dari ilmu ketatausahaan negara, administrasi publik sebagai organisasi dan manajemen, serta administrasi publik sebagai administrasi pemerintahan. Publik dalam administrasi publik diartikan dalam konteks kelembagaan (institusi), sebagai lembaga negara/pemerintah, dalam oganisasi pemerintah. Dengan demikian, ilmu administrasi negara (publik) adalah studi tentang proses administrasi yang terjadi dalam institusi penyelenggara negara, di semua cabang kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
Dalam perjalanannya ilmu administrasi publik (negara) mengalami dinamika, baik yang muncul karena perkembangan praktik yang semakin kompleks ataupun karena diskursus yang terjadi di kalangan akademisi. Wacana di kalangan akademisi yang prihatin dengan perkembangan teori-teori administrasi publik yang lebih mementingkan efisiensi dan efektivitas dan kurang peduli dengan keadilan sosial, demokrasi, dan kebebasan mendorong munculnya New Public Administration. Selanjutnya perkembangan praktik tersebut menuntut lembaga/institusi publik harus bertindak seperti dan berkompetisi dengan institusi bisnis, yang mendorong adanya nilai-nilai baru seperti cost-effectiveness, inovasi, kepedulian kepada pengguna, dan kewirausahaan. Nilai-nilai itu melahirkan gerakan New Public Management (NPM), reinventing government, dan lain-lain. Perubahan lain juga muncul karena interpretasi yang diberikan oleh para ilmuwan, akademisi, dan praktisi terhadap makna yang terkandung konsep administrasi dan publik (yang mengalami pergeseran).
Secara garis besar terdapat 4 relevansi perlunya perubahan makna (redefinisi) administrasi publik:
Konsep administrasi tidak lagi diartikan sebagai organisasi dan manajemen, implementasi kebijakan, tetapi mencakup keseluruhan proses kebijakan, yaitu formulasi dan implementasi kebijakan. Konsep publik tidak lagi dipahami sebagai institusi pemerintah atau institusi penyelenggara negara tetapi sebagai kolektivitas, yang seringkali diekspresikan melalui public values, public affairs, dan public interest. Jadi administrasi publik bisa diartikan sebagai masalah-masalah publik (public affairs) dan kepentingan publik (public interest) dalam domain publik (public domain), dan mengandung nilai-nilai kepublikan (public values) serta untuk kemanfaatan publik (public beneficiaries). Administrasi publik membahas tentang bagaimana masalah dan kepentingan publik direspon dan diselenggarakan oleh pemerintah. Publik dipahami sebagai kolektivitas bukan lembaga pemerintah. Kolektivitas dicirikan oleh kepentingan dan tujuan bersama, masalah bersama, dan nilai-nilai bersama.
Dalam perjalanannya ilmu administrasi publik (negara) mengalami dinamika, baik yang muncul karena perkembangan praktik yang semakin kompleks ataupun karena diskursus yang terjadi di kalangan akademisi. Wacana di kalangan akademisi yang prihatin dengan perkembangan teori-teori administrasi publik yang lebih mementingkan efisiensi dan efektivitas dan kurang peduli dengan keadilan sosial, demokrasi, dan kebebasan mendorong munculnya New Public Administration. Selanjutnya perkembangan praktik tersebut menuntut lembaga/institusi publik harus bertindak seperti dan berkompetisi dengan institusi bisnis, yang mendorong adanya nilai-nilai baru seperti cost-effectiveness, inovasi, kepedulian kepada pengguna, dan kewirausahaan. Nilai-nilai itu melahirkan gerakan New Public Management (NPM), reinventing government, dan lain-lain. Perubahan lain juga muncul karena interpretasi yang diberikan oleh para ilmuwan, akademisi, dan praktisi terhadap makna yang terkandung konsep administrasi dan publik (yang mengalami pergeseran).
Secara garis besar terdapat 4 relevansi perlunya perubahan makna (redefinisi) administrasi publik:
- Adanya fenomena globalisasi sehingga mendorong perlunya efisiensi nasional,
- Pemerintah seringkali menjadi sumber inefisiensi sehingga perlu pengurangan peran pemerintah,
- Terjadi penguatan peran pasar dan civil society, deregulasi, dan debirokratisasi,
- Banyak kegiatan yang penting bagi kepentingan publik tidak lagi dilakukan oleh birokrasi publik.
Konsep administrasi tidak lagi diartikan sebagai organisasi dan manajemen, implementasi kebijakan, tetapi mencakup keseluruhan proses kebijakan, yaitu formulasi dan implementasi kebijakan. Konsep publik tidak lagi dipahami sebagai institusi pemerintah atau institusi penyelenggara negara tetapi sebagai kolektivitas, yang seringkali diekspresikan melalui public values, public affairs, dan public interest. Jadi administrasi publik bisa diartikan sebagai masalah-masalah publik (public affairs) dan kepentingan publik (public interest) dalam domain publik (public domain), dan mengandung nilai-nilai kepublikan (public values) serta untuk kemanfaatan publik (public beneficiaries). Administrasi publik membahas tentang bagaimana masalah dan kepentingan publik direspon dan diselenggarakan oleh pemerintah. Publik dipahami sebagai kolektivitas bukan lembaga pemerintah. Kolektivitas dicirikan oleh kepentingan dan tujuan bersama, masalah bersama, dan nilai-nilai bersama.
Paradigma Governance dan Implikasinya
Kamis, 14 Februari 2013
Administrasi publik sebenarnya sudah ada sejak dahulu, yakni sejak masyarakat mulai dapat mengorganisasikan diri dan kelompoknya dalam bentuk sistem penataan pemerintahan. Dasar-dasar pemikiran administrasi publik modern diletakkan oleh Woodrow Wilson yang dituangkan dalam tulisannya “The Study of Administration” pada tahun 1883.
Dalam perjalanannya ilmu Administrasi Publik (Negara) mengalami dinamika, baik yang muncul karena perkembangan praktek yang semakin kompleks ataupun karena diskursus yang terjadi di kalangan akademisi. Administrasi publik pun mengalami perubahan makna (redefinisi) dengan beberapa sebab:
Selain itu, ada “perubahan paradigma”:
Perkembangan administrasi publik tidak dapat dilepaskan dari perkembangan berbagai paradigma dalam ilmu administrasi publik. Menurut Nicholas Henry (1995) dalam Mariana (2010) terdapat 5 paradigma ilmu administrasi publik:
Dalam perjalanannya ilmu Administrasi Publik (Negara) mengalami dinamika, baik yang muncul karena perkembangan praktek yang semakin kompleks ataupun karena diskursus yang terjadi di kalangan akademisi. Administrasi publik pun mengalami perubahan makna (redefinisi) dengan beberapa sebab:
- Adanya fenomena globalisasi, sehingga mendorong perlunya efisiensi nasional
- Pemerintah seringkali menjadi sumber inefisiensi, sehingga perlu pengurangan peran pemerintah
- Terjadi penguatan peran pasar dan civil society, deregulasi dan debirokratisasi
- Banyak kegiatan yang penting bagi kepentingan publik tidak lagi dilakukan oleh birokrasi publik
Selain itu, ada “perubahan paradigma”:
- Dari orientasi serba negara ke pasar
- Dari otorisasi ke demokrasi
- Dari sentralisasi ke desentralisasi
- Dari publik yang menekankan kekuasaan negara/pemerintah (state centred) ke publik yang menekankan peranan pasar dan warga negara (governance).
Perkembangan administrasi publik tidak dapat dilepaskan dari perkembangan berbagai paradigma dalam ilmu administrasi publik. Menurut Nicholas Henry (1995) dalam Mariana (2010) terdapat 5 paradigma ilmu administrasi publik:
Langganan:
Postingan (Atom)