Hal itu bisa terjadi karena perusahaan-perusahaan transnasional mayoritas menghuni negara-negara maju, sehingga setiap terjadi peningkatan laba korporasi raksasa tersebut akan menaikkan pendapatan negara (baik dalam bentuk setoran fiskal maupun penambahan devisa). Sedangkan bagi negara-negara lain (terutama berkembang dan miskin), justru hanya dijadikan pasar atau sumber mendapatkan bahan baku dengan harga yang relatif rendah.
Dalam perkembangan ekonomi politik pasca reformasi, peran negara dalam menguasai hajat hidup orang banyak cenderung sudah berpindah di tangan swasta. Pendekatan neo liberalisme dengan tiga prinsip utamanya yaitu deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi telah membawa pemerintah kepada berbagai kebijakan yang tidak populis di mata rakyat. Ketidakmampuan pemerintah sudah menunjukkan kelemahan negara yang telah memasuki era state denial. Fenomena penghindaran negara atau state denial dalam urusan ekonomi telah dituliskan oleh Linda Weiss (1998) dikutip oleh Nurdin (2009) yang ditunjukkan dengan hilangnya otonomi nasional, lemahnya pemerintah dalam mengahadapi modal transnasional, dan kurangnya nasionalisme sebagai prinsip kenegaraan.
Lahirnya sejumlah Undang-undang (UU Migas, UU Ketenagalistrikan, UU BUMN, UU SDA, UU PM, dan lain-lain) yang menjadi paket dari pinjaman utang, telah melegalisasi praktek neokolonialisme di Indonesia. Bahkan, praktek ini dilakukan oleh hampir seluruh rezim komprador yang menjadi kaki tangan kekuatan imperialis untuk menjalankan agenda-agenda ekonomi neoliberalisme di negeri ini (Hakim, 2011). Menurut Susetiawan (2009) dalam posisi ini, para pihak (stakeholders) terasa tak berdaya melawan konstruksi neoliberal yang semakin menguasai dunia.
Rondinelli (1993) dalam Hakim (2011) mengritik pendekatan yang dilakukan oleh negara-negara maju dan lembaga-lembaga internasional. Ia melihat kedua pendekatan yang digunakan, yaitu mengalihkan dan menerapkan teknik dan prosedur administrasi dari negara maju ke negara berkembang serta pendekatan modernisasi politik, terbukti tidak mencapai hasil yang dikehendaki. Ia mengutip Siffin (1997) yang mengatakan bahwa sistem yang berhasil di negara maju belum tentu berhasil di negara-negara berkembang karena nilai-nilainya berbeda. Oleh karena itu, Rondinelli mengusulkan suatu pendekatan yang disebutnya adaptive administration. Ia menekankan pentingnya fleksibilitas dan inovasi dalam administrasi pembangunan sebab kebijakan-kebijakan pembangunan sangat kompleks dan penuh ketidakpastian.
Dengan adanya globalisasi, saling ketergantungan dunia telah meningkat melalui kekuatan pasar, revolusi informasi, terobosan teknologi, pertukaran budaya, maupun peningkatan perjalanan. Karena itu, sistem tata pemerintahan sebuah negara menghadapi kebutuhan dan tuntutan baru (Pramusinto, 2007). Jreisat (2004) dalam Pramusinto (2007) memberikan gambaran perubahan yang terjadi dalam administrasi publik.
Pertama, adanya kebutuhan yang meningkat dalam keterampilan bernegosiasi antar negara. Tidak dapat dihindari bahwa dengan globalisasi maka komunikasi yang efektif semakin diperlukan karena integrasi ekonomi semakin meningkat, serta kehidupan sosial, politik, dan budaya menjadi semakin kompleks. Kedua, munculnya perubahan pandangan tentang birokrasi. Kecenderungan global yang semakin menguat menuntut sebuah kapasitas kelembagaan secara khusus dalam mengelola urusan publik. Ketiga, peningkatan budaya kerja. Globalisasi menuntut setiap pemerintah untuk melakukan reformasi yang mengarah pada peningkatan kinerja agar sektor publik lebih efisien.
Keempat, peningkatan peran kepemimpinan. Dalam sebuah dunia yang semakin mengglobal, kemampuan yang harus ditingkatkan adalah menyangkut pengelolaan konflik, sistem kontrak, dan teknik pemecahan permasalahan. Kelima, perlunya penggunaan electronic government (e-gov). Keenam, perlunya perspektif perbandingan. Tantangan besar administrasi publik adalah bagaimana bisa mengintegrasikan konsep-konsep organisasi dan manajemen yang mengacu pada sistem budaya dan ruang setempat sekaligus dengan sistem nilai asing.
Sementara itu, Cheema (2005) dalam Pramusinto (2007) melihat berbagai persoalan kritis yang dihadapi oleh birokrasi sektor publik. Globalisasi menuntut perubahan paradigma peran negara sebagai berikut:
- Pergeseran dari kontrol ke regulasi, dengan penekanan pada akuntabilitas dan transparansi,
- Pergeseran dari orientasi ke dalam menjadi perlindungan public goods,
- Pergeseran dari model government ke governance dengan melibatkan masyarakat sipil dan swasta,
- Pergeseran dari fokus pertumbuhan ke pengurangan ketimpangan sosial dan antar daerah,
- Pergeseran dari kontrol negara ke kesesuaian peran negara menurut kapasitasnya,
- Pergeseran dari kapasitas negara yang bersifat tradisional ke keterampilan baru.
1 komentar:
Nderek titip Blog saya mas :
http://sedyo-rukun-ngale.blogspot.com/
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya