Dalam perjalanannya ilmu administrasi publik (negara) mengalami dinamika, baik yang muncul karena perkembangan praktik yang semakin kompleks ataupun karena diskursus yang terjadi di kalangan akademisi. Wacana di kalangan akademisi yang prihatin dengan perkembangan teori-teori administrasi publik yang lebih mementingkan efisiensi dan efektivitas dan kurang peduli dengan keadilan sosial, demokrasi, dan kebebasan mendorong munculnya New Public Administration. Selanjutnya perkembangan praktik tersebut menuntut lembaga/institusi publik harus bertindak seperti dan berkompetisi dengan institusi bisnis, yang mendorong adanya nilai-nilai baru seperti cost-effectiveness, inovasi, kepedulian kepada pengguna, dan kewirausahaan. Nilai-nilai itu melahirkan gerakan New Public Management (NPM), reinventing government, dan lain-lain. Perubahan lain juga muncul karena interpretasi yang diberikan oleh para ilmuwan, akademisi, dan praktisi terhadap makna yang terkandung konsep administrasi dan publik (yang mengalami pergeseran).
Secara garis besar terdapat 4 relevansi perlunya perubahan makna (redefinisi) administrasi publik:
- Adanya fenomena globalisasi sehingga mendorong perlunya efisiensi nasional,
- Pemerintah seringkali menjadi sumber inefisiensi sehingga perlu pengurangan peran pemerintah,
- Terjadi penguatan peran pasar dan civil society, deregulasi, dan debirokratisasi,
- Banyak kegiatan yang penting bagi kepentingan publik tidak lagi dilakukan oleh birokrasi publik.
Konsep administrasi tidak lagi diartikan sebagai organisasi dan manajemen, implementasi kebijakan, tetapi mencakup keseluruhan proses kebijakan, yaitu formulasi dan implementasi kebijakan. Konsep publik tidak lagi dipahami sebagai institusi pemerintah atau institusi penyelenggara negara tetapi sebagai kolektivitas, yang seringkali diekspresikan melalui public values, public affairs, dan public interest. Jadi administrasi publik bisa diartikan sebagai masalah-masalah publik (public affairs) dan kepentingan publik (public interest) dalam domain publik (public domain), dan mengandung nilai-nilai kepublikan (public values) serta untuk kemanfaatan publik (public beneficiaries). Administrasi publik membahas tentang bagaimana masalah dan kepentingan publik direspon dan diselenggarakan oleh pemerintah. Publik dipahami sebagai kolektivitas bukan lembaga pemerintah. Kolektivitas dicirikan oleh kepentingan dan tujuan bersama, masalah bersama, dan nilai-nilai bersama.
Administrasi publik juga bisa diartikan sebagai proses penyelenggaraan kepentingan dan masalah bersama, pengambilan keputusan, penyelenggaraannya, organisasinya, dan sebagainya. Administrasi mencakup perumusan kebijakan, kelembagaan, dan implementasi dari kebijakan untuk merespon masalah dan kepentingan publik. Administrasi publik menjadi sangat dinamis, luas, dan relevan untuk menjawab pertanyaan sekarang dan masa depan. Implikasinya adalah: 1. Banyak tujuan umum tanpa melalui birokrasi pemerintah; 2. Apapun yang mempunyai dampak atau manfaat yang luas termasuk dalam kriteria publik; 3. Efisiensi dan efektivitas bukan satu-satunya acuan atau indikator untuk menilai kinerja organisasi publik; 4. Apa yang seharusnya digunakan untuk menilai kinerja bukan hanya nilai yang berkembang tetapi termasuk nilai eksternal (public accountability).
Menurut Lionardo (2010) dalam perkembangannya istilah administrasi pubik sering dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dengan sebutan administrasi negara. Perubahan konsep ini seringkali diperdebatkan oleh banyak kalangan sebagai perubahan keilmuan yang dinamis dari perkembangan sebuah disiplin ilmu. Adanya perubahan pendekatan yang digunakan dalam mengelola negara menjadi alasan penting mengapa terjadi dinamisasi perubahan tersebut, terlebih dengan munculnya paradigma governance pada masa perkembangan administrasi negara modern telah menyebabkan lahirnya penekanan fokus kajian dari ilmu public administration. Governance lebih cenderung bermakna publik karena memiliki beberapa aktor yang dianggap penting dalam menjalankan fungsi penyelenggaraan pemerintahan. Aktor tersebut meliputi state (pemerintah), private sector (pihak swasta/pelaku bisnis), civil society (NGO, ormas, dan lembaga independen lain). Esensi perubahan ini telah menggeser pemaknaan administrasi publik (sebelumnya disebut adminisitrasi negara) ke domain aktor yang menjalankan pemerintahan yakni dari aktor tunggal (state) ke multi aktor (state, private sector, civil society). Dalam konteks inilah, administrasi publik sesungguhnya dapat dimaknai sebagai sebuah rangkaian administrasi pemerintahan yang dilakukan oleh state dalam rangka memenuhi kepentingan bersama. Pemahaman ini juga pada hakekatnya memunculkan kembali jiwa dari ilmu administrasi negara yang sejak pertama kalinya memiliki tujuan melayani kepentingan masyarakat banyak.
Menurut UNDP (dalam Sutiono, 2004) istilah governance menunjukkan suatu proses yang memposisikan rakyat dapat mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya, tidak hanya sekadar dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, serta untuk kesejahteraan rakyatnya. Sementara definisi good governance menurut World Bank ialah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran terhadap kemungkinan salah alokasi dan investasi, dan pencegahan korupsi baik yang secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha (Mardiasmo, 2002).
Dalam konteks good governance, pemerintah ditempatkan sebagai fasilitator atau katalisator, sementara tugas untuk memajukan pembangunan terletak pada semua komponen negara, meliputi dunia usaha dan masyarakat. dengan begitu, kehadiran good governance ditandai oleh terbentuknya “kemitraan” antara pemerintah dengan masyarakat, organisasi politik, organisasi massa, LSM, dunia usaha, serta individu secara luas guna terciptanya manajemen pembangunan yang bertanggungjawab.
Istilah governance menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Tata kepemerintahan yang baik itu merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi, dan keseimbangan peran serta adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh tiga komponen, yakni pemerintah (government), rakyat (citizen) atau civil society, dan usahawan (business) yang berada di sektor swasta (Taschereau dan Campos, 1997; UNDP, 1997; dalam Thoha, 2005). Ketiga komponen itu mempunyai tata hubungan yang sama dan sederajat. Kesamaan derajat ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya menciptakan tata kepemerintahan yang baik.
Istilah governance, good governance, dan good public governance menjadi populer dalam kurun waktu 1996-1997 karena banyak diperkenalkan oleh lembaga bantuan luar negeri baik yang bersifat multilateral maupun bilateral (World Bank, 1994, dalam Sutiono, 2009). Istilah tersebut sering dikaitkan dengan kebijakan pemberi bantuan (aid policies), dalam arti good governance dijadikan salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian bantuan baik baik berupa pinjaman (loan) maupun hibah. Meskipun beberapa donor internasional cenderung menggunakan terminologi yang berbeda mengenai aparatur pemerintahan, namun yang dimaksud adalah sama.
Bank Dunia misalnya, mengembangkan apa yang dikenal dengan governance indicators. Ini meliputi kebebasan dan akuntabilitas, efektivitas, kualitas regulasi, penegakan hukum, stabilitas politik dan absennya kekerasan (termasuk terorisme), dan kontrol terhadap korupsi. Sementara UNDP (2009) dikutip oleh Lele (2010) mengembangkan 10 prinsip good governance yakni partisipasi, transparansi, akuntabilitas, kesetaraan atau inklusivitas, efisiensi dan efektivitas, responsivitas, visi strategis, penegakan hukum, profesionalisme, dan supervisi (melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat). Secara lebih khusus lagi, United Nations Economic and Social Commision for Asia and the Pasific (2010) merumuskan 8 prinsip good governance yakni akuntabilitas, transparansi, partisipasi, responsivitas, efektivitas dan efisiensi, penegakan hukum, kesetaraan dan inklusivitas, dan berorientasi pada konsensus (Lele, 2010).
Paradigma baru administrasi negara menampilkan perkembangan beberapa konsep yaitu konsep otonomi daerah, partisipasi, dan efisiensi, konsep pelayanan publik, dan konsep jejaring kebijakan publik (Suwitri, 2010). Dinamika orientasi nilai bisa terlihat dari perubahan paradigma administrasi publik dari OPA/Old Public Aministration ke NPM/New Public Management lalu terakhir ke NPS/New Public Service (Wicaksono, 2010):
- OPA berintikan pentingnya aplikasi nilai-nilai profesionalisme birokrasi yang apolitis guna mendukung efisiensi dan efektivitas.
- NPM, yang teoritisasinya berbasis pada nilai public choice, yang diimplementasikan dengan pentingnya responsivitas administrator publik terhadap tuntutan serta kebutuhan pelanggan melalui aksi-aksi yang dijiwai semangan kewirausahaan.
- NPS, yang mengajak reorientasi nilai dari mengutamakan pelanggan beralih ke warganegara, melalui pendekatan pemberdayaan peran serta masyarakat yang kini didudukkan sebagai subyek aktif.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya