Setiap organisasi, termasuk organisasi pemerintah memerlukan proses rekrutmen. Setiap saat pegawai dalam organisasi menjadi berkurang sehingga diperlukan penambahan agar aktivitas organisasi tetap berjalan. Selain itu adanya perkembangan organisasi juga turut mempengaruhi kebutuhan akan pegawai. Tulisan ini mendiskusikan rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) atau pengadaan CPNS (terminologi yang digunakan oleh Peraturan Pemerintah) yang berasal dari tenaga honorer. Selain rekrutmen yang dilaksanakan secara umum, pemerintah sejak tahun 2005 mengangkat tenaga honorer menjadi CPNS. Landasan hukum yang dipakai adalah PP Nomor 48 Tahun 2005.
Menurut Sulistiyani (2003: 134) rekrutmen adalah proses mencari, menemukan, dan menarik para pelamar untuk menjadi pegawai pada dan oleh organisasi tertentu. Selanjutnya rekrutmen juga dapat didefinisikan sebagai serangkaian aktivitas mencari dan memikat pelamar kerja dengan motivasi, kemampuan, keahlian, dan pengetahuan yang diperlukan guna menutupi kekurangan yang diidentifikasi dalam perencanaan kepegawaian. Diselenggarakannya rekrutmen mengemban keinginan-keinginan tertentu yang harus dipenuhi, supaya organisasi dapat eksis. Menurut SP Siagian sebagaimana dikutip oleh Sulistiyani (2003: 135), diadakannya rekrutmen adalah untuk mendapatkan persediaan sebanyak mungkin calon-calon pelamar sehingga organisasi akan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk melakukan pilihan terhadap calon pegawai yang dianggap memenuhi standar kualifikasi organisasi.
Menurut Sulistyo (2010: 84-85) rekrutmen PNS merupakan aspek yang sangat penting untuk mendapatkan calon-calon pegawai yang tepat. Kegiatan rekrutmen mempunyai peran yang sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan suatu organisasi. Berawal dari sub sistem inilah baik buruknya organisasi organisasi ditentukan, apakah akan menjadi organisasi yang maju atau justru akan tenggelam. Sistem rekrutmen yang berkualitas menjamin organisasi memperoleh pegawai yang kompeten sesuai dengan kebutuhan organisasi sehingga pengelolaan pegawai ke depan akan lebih baik. Namun sebaliknya jika rekrutmen dilakukan secara sembarangan maka sesungguhnya organisasi melakukan kesalahan yang sangat besar terhadap investasi pegawainya. Hal ini akan berakibat pada sulitnya dalam pengembangan pegawai, penerapan sistem karir, pemberian reward yang memadai bagi pegawai, dan lain sebagainya.
Pola rekrutmen yang terjadi di birokrasi Indonesia selama ini tidak berpedoman kepada analisis kebutuhan. Di lingkungan birokrasi publik belum ada perencanaan kebutuhan pegawai yang matang, kebijakan rekrutmen bersifat inkremental saja, dengan demikian rekrutmen dari tahun ke tahun tidak dapat dikendalikan, berlangsung secara parsial. Proses rekrutmen yang kurang terencana ini dapat menghasilkan para pegawai yang kurang memenuhi standar kualifikasi minimal (Yuliani, 2004: 155).
Hal tersebut senada dengan pendapat Prasojo (2009: 84). Menurutnya, proses rekrutmen masih belum dilakukan secara profesional dan masih terkait dengan hubungan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Rekrutmen pegawai masih dipandang menjadi kebutuhan proyek tahunan dan bukan sebagai kebutuhan untuk peningkatan kualitas pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Indikasi ini sangat nyata apabila dilihat bahwa analisis pekerjaan sebagai persyaratan untuk menentukan kebutuhan pekerjaan masih belum dimiliki oleh pemerintah. Ketiadaan persyaratan jabatan telah menyebabkan rekrutmen dilakukan secara serampangan dan tidak memperhatikan kualifikasi yang dibutuhkan. Itu sebabnya meskipun dirasakan bahwa PNS di Indonesia tidak tahu apa yang dikerjakan, tetapi rekrutmen PNS tetap terus dilakukan. Rekrutmen yang demikian akan semakin memperbanyak pengangguran tidak kentara (disguised unemployment) pada PNS.
Peraturan kepegawaian, yakni UU Nomor 8 Tahun 1974, UU Nomor 43 Tahun 1999, PP Nomor 100 Tahun 2000, dan PP Nomor 11 Tahun 2002, sebenarnya telah mengatur rekrutmen PNS. Kemudian secara teknis, persyaratan dan mekanisme rekrutmen diatur oleh Peraturan Kepala BKN. Rekrutmen harus didasarkan atas syarat-syarat obyektif yang telah ditentukan, dan tidak boleh didasarkan atas jenis kelamin, suku, agama, ras, golongan, atau daerah. Setiap pelamar harus memenuhi persyaratan untuk berhak mengikuti rangkaan seleksi. Seleksi tersebut meliputi ujian tertulis, ujian lisan, ujian ketrampilan, atau ujian kepribadian. Diharapkan pelamar yang lulus seleksi memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan oleh organisasi.
Sejak tahun 2005 proses rekrutmen PNS memberikan prioritas kepada tenaga honorer dengan ditetapkannya PP Nomor 48 Tahun 2005. Hal ini tentu saja menarik karena:
1. Selama ini rekrutmen tenaga honorer sendiri tidak memiliki prosedur yang jelas
2. Keberadaan tenaga honorer seringkali tidak didasari oleh kebutuhan organisasi
3. Jumlah tenaga honorer cukup besar.
PP Nomor 48 Tahun 2005 itu sendiri sebagai landasan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS mengalami perubahan sebanyak dua kali. Hal ini dimaksudkan untuk mengakomodasi sejumlah tenaga honorer yang ternyata terkendala untuk diangkat menjadi CPNS. Maka, prinsip rekrutmen pegawai yang semula didasarkan karena adanya formasi yang lowong kini berubah untuk mengakomodasi kepentingan tenaga honorer.
Dilema antara demokrasi dan meritokrasi sangat terasa nuansanya di dalam pengangkatan tenaga honorer. Pemenuhan tuntutan dari tenaga honorer untuk segera diangkat menjadi PNS terkadang dimaksudkan untuk mempertimbangkan prinsip demokrasi, mengakomodasi suara-suara di dalam masyarakat, termasuk para tenaga honorer daerah yang ingin mengabdikan diri sebagai pegawai negeri. Tetapi sangat jelas bahwa pemenuhan tuntutan itu pada akhirnya sering mengorbankan prinsip meritokrasi (Kumorotomo, 2007: 365).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya