Modal Sosial dalam Rukun Tetangga (Bagian Pertama)
Jumat, 26 April 2013
Rukun Tetangga (RT) merupakan sebuah institusi yang unik, yakni sebagai institusi formal sekaligus sebagai institusi warga. Dikatakan institusi formal karena dibentuk oleh pemerintah atau meskipun dibuat oleh warga sendiri namun memerlukan pengakuan (pengesahan) pemerintah. Di sisi lain RT merupakan institusi warga di tingkat lokal sebagai jembatan yang menghubungkan antara warga dengan pemerintah agar terjalin komunikasi yang timbal balik. Kepengurusan RT lebih bersifat sosial karena tanpa gaji atau honor, bahkan seringkali menjadi “ujung tombak” dan “ujung tombok”.
Dalam tulisan ini gambaran RT sebagai basis sosial ditampilkan dalam komunitas RT 02 RW 13 Perumahan Bumi Karangasri, Dusun Sooko, Desa Karangasri, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi. Yang menarik dari RT ini adalah umurnya yang relatif masih muda, warganya heterogen, serta lahir bukan karena intervensi pemerintah desa melainkan kesadaran sendiri akan pentingnya kehadiran sebuah ikatan warga yang tetap.
Perumahan Bumi Karangasri, sesuai namanya terletak di Desa Karangasri, Kecamatan Ngawi, sebelah timur laut kota Ngawi. Lokasinya dekat dengan jalan raya Ngawi-Bojonegoro, namun dari jalan raya masih masuk ke dalam kurang dari setengah kilometer, melewati persawahan dan kebun tebu. Karena letaknya yang jauh dari jalan raya itulah banyak yang tidak mengira jika di dalamnya terdapat sebuah perumahan.
Awalnya perumahan dibangun sekitar tahun 2000, tapi perkembangannya tidak begitu cepat. Lokasinya yang dikelilingi oleh persawahan, jauh dari akses jalan raya, dan belum terpasangnya jaringan telepon menjadi faktor penyebabnya. Namun, seusai banjir besar yang melanda Kabupaten Ngawi di akhir tahun 2007, banyak orang yang berminat tinggal (baik karena membeli ataupun mengontrak) di Perumahan Bumi Karangasri, karena termasuk kawasan yang aman dari bencana banjir. Maka sejak itulah pembangunan rumah menjadi meningkat. Lahan yang semula kosong dan berupa tanah lapangan berisi ilalang kini terisi penuh dengan rumah. Apalagi pihak pengembang bekerjasama dengan Asabri sehingga memudahkan para anggota TNI dan Polri (yang asramanya terendam banjir) untuk melakukan proses biaya pembangunan.
Perumahan Bumi Karangasri memiliki satu Rukun Warga (RW) tersendiri yakni RW 13, yang terbagi dalam 6 RT, mulai dari RT 01 sampai 06. RW dan RT ini relatif baru dalam pembentukannya, yakni pada tahun 2008. Pada masa sebelumnya, warga Perumahan terhimpun dalam 1 RT dan bergabung dengan RW bersama warga di luar lingkungan Perumahan. Pada tahun 2005 terjadi pemekaran menjadi 3 RT. Dan terjadi pemekaran lagi pada tahun 2008 menjadi 6 RT.
Berdasarkan perhitungan penulis, jumlah warga RT 02 sekitar 102 orang dari 30 KK (Kepala Keluarga). Mayoritas penghuni adalah penghuni tetap (pemilik asli rumah) meskipun sebagian secara formal belum ber-KTP setempat, sedangkan sisanya adalah pengontrak. Dari 34 bangunan rumah yang ada di RT 02, 4 di antaranya tidak dihuni (rumah kosong). Selain itu masih ada 2 kapling tanah kosong. Rumah kosong dan kapling tersebut ditengarai sebagai investasi warga yang tinggal di tempat lain.
Dilihat dari jenis mata pencaharian, jenis pekerjaan yang digeluti oleh warga RT 02 bervariasi, yakni PNS (guru dan pegawai di Pemda), anggota TNI, anggota Polri, Satpam, karyawan hotel, pedagang, petani, pegawai kontraktor, pemilik percetakan, pemilik toko, dan purnawirawan.
Demikian juga dalam hal etnis cukup beragam. Etnis Jawa sangat dominan yakni berjumlah 24 KK. Sedangkan yang lainnya terdiri dari etnis Tionghoa, Sunda, Minang, Madura, dan Ambon yang masing-masing 1 KK, kecuali etnis Tionghoa yang terdiri dari 2 KK. Yang menarik adalah bahwa sebagian besar penghuni adalah para keluarga muda (berusia antara 25 sampai dengan 40 tahun) dengan jumlah anak rata-rata dua orang.
Keragaman pekerjaan dan etnisitas mempengaruhi proses penguatan dan pengembangan modal sosial. Namun jika tidak dikelola secara baik akan menyebabkan keretakan antar warga. Modal sosial di dalam RT 02 tampak dalam kegiatan-kegiatan di bawah ini.
Arisan Bapak-bapak
Pertemuan arisan bisa dikatakan sebagai forum tertinggi di RT, diadakan malam hari setiap bulan pada tanggal 7, dan dihadiri oleh semua KK/Bapak-bapak. Sebelumnya tempat arisan diadakan secara bergiliran di antara semua warga, namun sejak tahun 2012 diadakan di satu tempat. Tempat tersebut merupakan suatu kapling tanah tidak terurus yang tidak diketahui siapa pemiliknya yang oleh warga secara bergotong royong dibersihkan dan dibangun semacam gubug sederhana (berdinding gedheg dan beratap seng) semi terbuka. Warga mengistilahkan bangunan tersebut sebagai “aula”.
Dalam forum ini telah ditetapkan bahwa setiap KK diwajibkan untuk membayar sebesar Rp 15.000,00 yang terdiri dari uang arisan sebesar Rp 5.000,00 dan dana sosial sebesar Rp 10.000,00. Dana sosial dipergunakan untuk membayar iuran sampah yang secara rutin disetorkan ke RW setiap bulan. Penggunaan lainnya adalah untuk membantu jika ada warga RT yang sakit hingga opname dan keperluan kegiatan RT seperti kerja bhakti, membeli lampu penerangan jalan, kegiatan 17-an, dan lain-lain. Selain itu RT juga memiliki usaha simpan pinjam, di mana setiap KK berhak meminjam uang dan harus dikembalikan dengan maksimal tiga kali pengangsuran.
Arisan Bapak-bapak juga dipergunakan sebagai sarana membahas persoalan-persoalan yang ada di sekitar lingkungan. Warga bermusyawarah dan membuat keputusan bersama. Seringkali pula informasi-informasi dari pemerintah (desa dan kabupaten) disampaikan di sini. Forum seperti ini sangat penting, mengingat sebagian besar KK adalah pegawai/karyawan yang interaksi di antara mereka selepas kerja relatif terbatas. Di sinilah dipupuk kebersamaan sebagai bagian dari anggota komunitas.
Sistem Ronda
Keadaaan lingkungan secara umum sangat aman. Jarang sekali terjadi pencurian. Meskipun demikian sistem pengamanan dini dilakukan dengan model ronda. Ronda dilakukan secara berkelompok untuk menjaga keamanan lingkungan sekitar perumahan. Masing-masing RT di dalam perumahan menyelenggarakan kelompok ronda sendiri, demikian pula di RT 02.
Waktu ronda ditetapkan pukul 23.00 s.d. 03.00. Sembari berkeliling di sekitar lingkungan RT, peronda ditugaskan mengambil uang jimpitan yang telah disediakan oleh warga di luar/depan rumah masing-masing. Tidak ada ketentuan berapa besar uang jimpitan, tapi minimal Rp 100. Uang yang terkumpul malam itu dicatat dalam buku khusus (yang sekaligus buku absen ronda dan catatan tentang situasi/kondisi lingkungan) dan disimpan pada kotak khusus yang terpasang di rumah Ketua RT. Uang hasil jimpitan kemudian dijadikan uang kas.
Satu regu ronda terdiri dari 6 anggota, sehingga masing-masing KK bertugas setiap 5 hari sekali. Sistem ini kemudian direvisi karena dianggap terlalu cepatnya siklus jadwal ronda. Disepakati waktu yang efektif untuk masing-masing orang dalam meronda adalah setiap 10 hari sekali. Dengan demikian dalam 1 regu hanya terdiri dari 3 KK. Namun, setelah berjalan beberapa bulan ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Misalnya, jika ada 2 anggota yang absen karena sakit atau tidak di rumah, maka tinggal 1 anggota. 1 anggota yang tersisa itu akhirnya ikut-ikutan absen.
Alasan lain karena tidak semua RT di perumahan memiliki sistem ronda, sehingga warga RT yang bersusah payah meronda di malam hari merasa seolah-olah menjaga warga RT lain yang enak-enakan tidur di rumah. Dengan sendirinya sistem ronda di RT 02 untuk sementara vakum. Sebenarnya pernah digagas sistem ronda dalam lingkup RW atau perumahan. Namun sayang ada RT yang tetap tidak mau.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya