Bangsa Indonesia memiliki tradisi asli yang diturunkan sejak nenek moyang, yakni gotong royong dan musyawarah. Dengan tradisi ini bangsa Indonesia mengembangkan kehidupannya dalam nuansa kolektivitas (kebersamaan) dan harmoni (damai dalam keanekaragaman). Untuk menyebut contoh gotong royong, dalam kebiasaan masyarakat Jawa ada tradisi sambatan. Jika ada warga yang hendak membangun rumah, maka biasanya para tetangga akan membantu dan terlibat dalam pembangunan. Biasanya tidak ada bayaran bagi tetangga yang membantu, namun tuan rumah akan menyediakan keperluan makan bagi mereka.
Selain tradisi gotong rotong royong, tradisi musyawarah memiliki akar kuat dalam masyarakat Indonesia. Musyawarah, bahkan dimasukkan dalam sila keempat Dasar Negara Pancasila, ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Dalam kehidupan masyarakat, terutama di desa, musyawarah (melalui mekanisme rembug desa) dijadikan arena pemecahan permasalahan bersama. Inilah sejatinya nilai demokrasi asli bangsa Indonesia yang sudah ada sejak dahulu kala. Pengalaman penulis saat KKN (Kuliah Kerja Nyata) tahun 2003 di Desa Barukan, Kecamatan Manisrenggo, Kabupaten Klaten, setiap malam Jumat masing-masing RT di desa tersebut mengadakan forum bersama membahas permasalahan lingkungan, mulai pembangunan jalan makadam, rencana panen, kerja bhakti, dan lain-lain. Semua laki-laki dewasa pasti hadir di situ. Ini berbeda dengan wilayah kota yang biasanya pertemuan RT dilaksanakan setiap bulan sekali, yang kadang-kadang pesertanya minim.
Seiring perkembangan jaman, tradisi gotong royong dan musyawarah mulai tergerus. Munculnya konflik sosial bisa jadi karena mulai lunturnya tradisi musyawarah. Kehidupan harmoni untuk menciptakan kedamaian di tengah keragaman, dirusak oleh perilaku yang hanya mementingkan kepentingan individu dan kelompoknya belaka. Disintegrasi sosial yang terjadi dalam masyarakat akan mengurangi bahkan menyebabkan kemerosotan modal sosial yang telah lama hadir dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Hal itu karena, pada dasarnya, nilai-nilai seperti kepercayaan, kerja sama, solidaritas, toleransi, kebersamaan, kemitraan, gotong royong, dan musyawarah adalah bagian dari modal sosial yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Gotong royong sebagai bentuk resiprositas mengalami perubahan yaitu mengarah pada semakin rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam melakukan praktek gotong royong dan berkurangnya jenis-jenis gotong royong dalam masyarakat. Salah satu penyebab berkurangnya praktek gotong royong adalah semakin besarnya pengaruh ekonomi uang. Ketergantungan masyarakat pada uang untuk memenuhi kebutuhan harian menyebabkan berbagai pertukaran jasa yang berkaitan dengan kegiatan produksi diselenggarakan dengan memakai alat tukar berupa uang (Kutanegara, 2006: 201).
Menurut Budiman (2002) dalam M. Hari (2005: 384-385), modal sosial tidak hanya mengalami kemerosotan, tetapi sudah mengarah pada kerusakan. Hal ini, menurutnya, diakibatkan tidak adanya aturan main yang jelas. Aturan main yang telah disepakati bersama sering dilanggar sehingga menimbulkan konflik kepentingan. Setiap orang wajar mempunyai kepentingan, tetapi dalam penyalurannya hendaknya menggunakan jalur-jalur yang tidak menimbulkan konflik. Karena itu, untuk mengatasi hal ini perlu ada aturan main yang baik sehingga kepercayaan akan muncul pula sebagai modal sosial karena modal sosial pada hakikatnya adalah produk dari keteraturan itu sendiri yang harus dipatuhi.
Secara konseptual wacana mengenai modal sosial itu sendiri sebenarnya muncul sejak lama, yaitu sekitar tahun 1920-an oleh Lyda Judson Hanifan (dalam M. Hari, 2005: 386-387). Dia mendefinisikan modal sosial sebagai kenyataan yang dimiliki oleh warga, dapat berupa kehendak baik, simpati, persahabatan, hubungan sosial antar individu dan keluarga yang dapat membantu mengatasi persoalan warga masyarakat. Dalam konteks demikian, hubungan sosial yang baik antar anggota masyarakat menciptakan jaringan yang bersifat mutualis, dan bahkan mengalahkan individualitas, yang biasanya melingkupi karakteristik budaya barat. Dengan kata lain, jika seseorang mengalami persoalan dan tidak mampu mengatasinya sendiri, warga tersebut dibantu warga lainnya secara sukarela. Dengan hubungan sosial yang erat, maka polarisasi, pengotak-kotakan, dan pembilahan sosial menjadi luntur.
Modal sosial harus dipahami sebagai konstruki relasional. Hal ini hanya dapat memberikan akses bagi sumber daya ketika individu tidak hanya membangun ikatan dengan orang lain namun juga menginternalisasikan nilai-nilai bersama kelompoknya (Field, 2003: 233).
Inti telaah modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerjasama membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Kerja sama tersebut diwarnai oleh suatu pola interrelasi yang imbal balik dan saling menguntungkan, dan dibangun di atas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh semangat proaktif membuat jalinan hubungan (Hasbullah, 2006: 9).
Selain itu, nilai-nilai lokal akan selalu mempengaruhi dan mewarnai berkembangnya modal sosial di komunitasnya. Bentuk-bentuk modal sosial yang tampak ada dalam masyarakat adalah (1) institusi sosial (norma, adat, tata nilai, sanksi), (2) kearifan lokal, tradisi, pengetahuan lokal, (3) lembaga sosial, (4) jaringan sosial, dan (5) kepemimpinan sosial. Bentuk-bentuk ini akan semakin bervariasi apabila saling bersentuhan (M. Hari, 2005: 389).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya