Saat berkunjung ke Pengadilan Agama (PA) lebih dari setahun silam saya bertemu dan sempat berbincang dengan Ketua PA yang ramah. Menurut paparan beliau, dari sekian daerah di Karesidenan Madiun tercatat angka perceraian yang paling tinggi ada di Ponorogo. Berikutnya adalah Ngawi, kota tempat saya tinggal. Kebanyakan yang menggugat adalah istri. Tak sedikit pula yang melakukan perceraian adalah mereka yang berstatus sebagai PNS.
Salah satu fungsi kantor saya adalah memproses pemberian izin perceraian dari Bupati kepada PNS yang akan bercerai. Bagi PNS izin ini bersifat mutlak, wajib dipenuhi terlebih dahulu, baik sebagai penggugat maupun tergugat. Tak heran, dengan semakin banyaknya PNS yang akan bercerai maka semakin banyak pula PNS yang mengajukan izin.
Memang kalau diperhatikan angka perceraian pada PNS semakin tahun semakin bertambah. Saya rasa ini logis. Ini berbanding lurus dengan banyaknya jumlah PNS. Tahun 2005 saat awal saya bekerja tentu jumlahnya lebih sedikit dibandingkan sekarang. Jumlah PNS tak sampai 10 ribu. Tapi lambat laun bertambah banyak. Akhir 2011 lalu tercatat lebih dari 14 ribu. Pengangkatan dari tenaga honorer memberikan sumbangan signifikan pada rekrutmen pegawai. Ratusan bahkan ribuan orang diangkat menjadi CPNS secara serentak.
Bertambahnya pegawai membawa konsekuensi. Salah satu di antaranya adalah bertambahnya angka perceraian seperti disinggung di muka. Dari yang bercerai tadi ternyata sebagian besar berasal kalangan pendidik alias guru. Ini pun logis juga karena ternyata dari 14 ribu pegawai tadi yang paling banyak adalah guru. Mungkin jumlahnya antara 7-8 ribu.
Berapa jumlah pasti pegawai yang cerai? Saya tak tahu pasti, tapi yang jelas hampir tiap pekan ada acara pembinaan di kantor saya. Acaranya mirip-mirip mediasi. Jadi ada pertemuan tatap muka antara suami dan istri yang hendak bercerai, sedangkan BKD melakukan pembinaan. Intinya berupaya merukunkan kedua pihak supaya mengurungkan niatnya untuk berpisah.
Berhasilkah upaya ini? Kalau parameternya adalah jumlah yang membatalkan niat bercerai maka jawabannya saya rasa tidak. Jumlahnya sedikit sekali. Kenapa? Pertama, kantor hanya menjalankan formalitas. Karena peraturan mengharuskan harus ada upaya merukunkan kembali kedua belah pihak maka mau tak mau kantor harus melakukan pembinaan, entah bagaimanapun caranya. Tapi lazimnya kantor hanya terfokus pada administrasi.
Kedua, (tanpa mengurangi kemampuan yang bersangkutan) petugas yang melakukan pembinaan bukanlah orang yang tepat dalam hal ini. Orang yang tidak tepat bukan berarti orang yang tidak kompeten lho. Hanya saja petugas yang menangani selama ini adalah pejabat struktural sesuai tupoksinya. Tugas itu melekat pada jabatannya. Artinya meskipun petugasnya berlatar belakang pendidikan Sarjana Komputer atau Sarjana Teknik misalnya, maka ia mesti menangani kasus perceraian karena jabatannya adalah Kasubid atau Kabid.
Lalu solusinya? Menurut pendapat saya, perlu dibentuk tim konseling kepegawaian. Anggotanya tidak wajib pejabat struktural. Malah saya cenderung mereka yang berlatar belakang Sarjana Psikologi harus masuk tim ini. Simpelnya mirip dengan peran BP/BK di sekolah-sekolah, tapi ini lingkup kerjanya di kantor. Sasarannya adalah pegawai. Pegawai juga manusia. Manusia tidak hanya ingin terpenuhi kebutuhan materinya belaka.
Yang penting juga tim ini tidak hanya mengurusi pegawai yang akan melakukan perceraian, namun juga mampu memberikan konsultasi psikologi kepada semua pegawai. Karena ternyata permasalahan yang menimpa pegawai bermacam-macam. Dari masalah pengembangan karir, kinerja, pendidikan, kesehatan, utang piutang, kriminal, keluarga, dan lain-lain.
Memang sih selama ini dalam prakteknya saya dan kawan-kawan telah melakukan ini, hanya sifatnya ad hoc saja. Banyak juga pegawai yang datang berkunjung untuk berkonsultasi. Tapi seringnya menyangkut pegawai yang nakal, macam mangkir kerja, kena kasus pidana, menghilang, dsb. Kalau saya biasanya pendekatannya lebih pada sisi legal, sesuai latar belakang pendidikan. Hitung-hitung belajar jadi advokat, tapi yang ini gratis. Prokol bambu, istilahnya hehehe... Tapi bagaimanapun saya menemukan manfaat yang tak ternilai yang tak ada dalam bangku kuliah. Pengalaman.
So, ada yang mengurusi sisi legalnya, ada yang mengurusi sisi psikologisnya, mungkin bisa ditambah disiplin ilmu lainnya. Kalau begitu tim itu dinamai saja Tim Konseling dan Konsultasi Kepegawaian. Lebih baik mencegah daripada mengobati. Sebelum semakin banyak pegawai yang bercerai atau semakin banyak pegawai yang masuk bui, maka lebih baik ada upaya-upaya prefentif. Lebih baik mencegah daripada mengobati. Dan lebih cepat lebih baik. Faster, better.
Sebagai catatan, saya pernah mengusulkan program ini sebagai mimpi kantor, kalau tidak salah tepat setahun yang lalu. Sepertinya belum menjadi prioritas. Mudah-mudahan lain waktu. Atau mungkin ada instansi yang berkenan mengadopsinya, bisa dijadikan contoh dan program unggulan? Silakan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya