Periode kenaikan pangkat PNS pada bulan April 2012 lalu di daerah saya (Ngawi) menyisakan sedikit persoalan. Paling tidak ada 3 PNS yang terganjal kenaikan pangkatnya gara-gara ijazah. Ketiganya masing-masing lulusan perguruan tinggi yang kampusnya berlokasi di Yogya, Malang, dan Surabaya. Ketiganya memperoleh gelar sarjana di saat telah menjadi PNS. Dengan demikian proses perkuliahan hingga lulus dilaksanakan saat mereka berstatus PNS. BKN tidak dapat memroses kenaikan pangkatnya karena ijazah yang diperoleh dianggap sebagai produk kelas jauh.
Bisa dimaklumi jika BKN memberikan alasan sebagai kelas jauh. Logikanya untuk mendapatkan ijazah maka harus menjalani proses perkuliahan di kampus. Sedangkan lokasi kampus itu sendiri berada di luar Ngawi. Paling tidak untuk menempuh Yogya, Malang, atau Surabaya membutuhkan waktu 4 jam dengan kendaraan umum. Namun kenyataannya mereka berhasil menggondol ijazah, sedangkan di sisi lain mereka bukanlah peserta tugas belajar yang diberikan kesempatan untuk meninggalkan dinas. Dengan demikian tidaklah mungkin ijazah itu diperoleh bila tidak menggunakan model kelas jauh. Demikianlah kira-kira logika penolakan kenaikan pangkat.
Memang pemerintah melarang kelas jauh atau terminologi sejenis. Beberapa kali Dirjen Dikti mengeluarkan surat edaran. Yang saya catat setidaknya ada 8 SE yakni pada tanggal 7 Januari 1988, 21 Oktober 1997, 4 Agustus 2000, 20 September 2000, 23 September 2002, 16 Mei 2005, 27 Februari 2007, dan 15 Juli 2011. PT yang menyelenggarakan kelas jauh terancam sanksi. Namun sayangnya ancaman tersebut tidak begitu diindahkan, terbukti sampai sekarang pun kelas jauh masih marak.
Selain itu belum jelas pula tentang pendefinisian kelas jauh. Kenapa sebuah program studi dikategorikan sebagai kelas jauh. BKN sendiri selama ini belum pernah memberikan aturan secara formal dan tertulis tentang kelas jauh. Maka, bisa dimaklumi jika di tengah masyarakat versi kelas jauh pun beragam.
Secara sederhana kelas jauh diartikan sebagai proses perkuliahan yang dilaksanakan di luar domisili kampus induknya tanpa ada izin dari instansi yang berwenang. Kata kuncinya ada dua yakni di luar domisili dan belum berizin. Namun demikian ijazah yang dikeluarkan tidak berbeda dengan ijazah yang diperoleh dari perkuliahan reguler.
Konon kabarnya sebuah perkuliahan dianggap sebagai kelas jauh apabila jarak antara kampus dan tempat kerja lebih dari 100 km. Ada lagi yang mengatakan waktu yang ditempuh untuk mencapai kampus lebih dari 2 jam. Hal ini sebenarnya absurd, tidak jelas sama sekali. Ukuran waktu terlalu relatif. Seiring dengan perkembangan jaman dan lajunya transportasi, waktu tempuh bisa semakin dipercepat.
Rentang waktu itu pun juga kurang jelas, dimulai dari mana dan sampai di mana. Dimulai dari tempat kerja ataukah tempat tinggal. Batas waktunya sampai perbatasan kota ataukah kampus. Mungkin saja ada PNS Ngawi yang rumahnya dekat Malang. Setiap Jumat seusai kerja ia pulang ke rumah. Ia mengikuti kuliah di Malang yang pelaksanaannya Jumat malam dan Sabtu pagi hingga sore. Apakah ijazah yang diperolehnya tetap saja dianggap produk kelas jauh, sehingga tidak diakui untuk pengembangan karir?
Pengakuan ijazah produk satu kampus akan berbeda jika dibandingkan antar daerah. PNS Sidoarjo yang memperoleh ijazah dari (misalnya) Universitas Paijo Surabaya bisa bernafas lega dibandingkan dengan PNS Ngawi yang memperoleh ijazah yang sama-sama berasal dari universitas itu. Kenapa? Karena dekatnya jarak dan singkatnya rentang waktu perjalanan antara Sidoarjo dan Surabaya. Padahal Universitas Paijo sama-sama menyelenggarakan kelas jauh di Sidoarjo dan Ngawi, terpisah dari kampus induknya di Surabaya. Sepertinya pengelola kepegawaian menutup mata adanya praktek kelas jauh. Dengan alasan kelogisan jarak dan waktu, ijazah PNS Sidoarjo pun diakui. Penafsiran kelas jauh seperti itu boleh jadi menjadi hukum yang tak tertulis.
Selain itu ada contoh lain, dalam konteks Ngawi, ijazah yang diperoleh oleh PNS Ngawi yang berasal dari kampus Yogya, Surabaya, dan Malang tidak dapat dipakai dalam pengembangan karir. Dan telah terbukti. Sebaliknya ijazah yang diperoleh dari kampus Solo bisa diakui. Padahal dalam prakteknya, semua perkuliahan tersebut dijalani dengan model kelas jauh, baik PT yang berasal dari Yogya, Surabaya, Malang, maupun Solo. Jarak antara Solo dan Ngawi dianggap tidak terlalu jauh dan bisa ditempuh tak lebih dari 2 jam.
Bahkan ada pula kelucuan, ijazah yang diperoleh oleh PNS dari kelas jauh tak dapat dipakai untuk kenaikan pangkat. Kebetulan ia masih staf. Anehnya, ada PNS dengan ijazah yang sama (maksudnya dari PT yang sama dan sama-sama kelas jauh) kenaikan pangkatnya dapat diproses. Kebetulan ia menduduki jabatan eselon III. Padahal antara staf dan pejabat eselon III itu satu kelas, satu angkatan, satu almamater pada kelas jauh yang sama.
Sebenarnya untuk mengatur PNS yang menempuh pendidikan bisa dilakukan melalui peran BKD. Setiap PNS yang hendak dan sedang menempuh pendidikan diwajibkan memperoleh izin belajar. Surat izin belajar tersebut digunakan sebagai salah satu prasyarat pengembangan karir pegawai. Untuk mendapatkannya maka harus melalui BKD. BKD-lah yang menyeleksi pemberian izin belajar, misalnya larangan kelas jauh. Tapi, itupun dengan catatan adanya kejelasan definisi, kategori, dan konsekuensi dari kelas jauh.
Kaburnya Penafsiran Kelas Jauh
Jumat, 13 Juli 2012
Label:
album,
keluarga,
pustaka,
tentang madiun,
tentang ngawi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
6 komentar:
nice article gan 0-0p
Nasib saya seperti yang mas ceritakan di atas, saya fungsional sebuah instansi, semua syarat dah dipenuhi, kok gak diakui juga sama BKN
saya mengalami hal yang lebih ganjil lagi, saya lulus PNS pada 2006 dan sedang menyelesaikan kuliah disalah satu PTS diibukota propinsi, kuliah saya menyisakan tugas akhir skripsi shg lulus kuliah pada tahun 2007, krn dianggap baru menyelesaikan S1 setelah lulus PNS saya dianggap kuliah kelas jauh dan ijazah saya tdk bisa digunakan untuk pengembangan karir, padahal ijin belajar dan ujian penyesuaian ijazah telah saya peroleh. mirisnya ada yg lulusan satu alumni bs penyesuaian dan ada jg yg kondisinya sama dg saya dr PT diJKT bisa penyesuaian. dimanakah letak keadilan penerapan aturan yg katanya berlaku untuk semua warga negara...
Saya sangat setuju bila penyelenggara kelas jauh yang melanggar Undang-Undang/Peraturan dibubarkan. Undang-Undang/Peraturan yang membawahi penyelenggaraan kelas jauh adalah Permendikbud No. 20 Tahun 2011 (tentang Penyelenggaraan Program Studi di Luar Domisili) dan Permendikbud No. 24 Tahun 2012 (tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh pada Perguruan Tinggi).
Memang ada PTS (khususnya PTS abal-abal) yang menyelenggarakan Kelas Jauh dengan cara menggunakan ruko atau menyewa sekolah serta membuka jam pembelajaran pada Sabtu dan Minggu. Tenaga pengajarnya bukan dosen dari kampus induk yang menetap di luar domisili, tapi menyewa dosen-dosen baru dari kawasan setempat.
Namun demikian, SANGAT TIDAK ADIL bila kemudian Mendikbud/Dikti/Kopertis men-samarata-kan semua penyelenggara kelas sabtu minggu sama dengan kelas jauh (seperti modus di atas). Banyak penyelenggara kelas sabtu minggu yang benar-benar melaksanakan perkuliahan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan beredarnya Surat Edaran Kopertis No. 002/K3/KL/2013, sama saja dengan melakukan pembredelan terhadap PTS yang menyelenggarakan proses belajar mengajar sesuai dengan aturan yang berlaku. Perlu diketahui bahwa Kelas Sabtu Minggu BUKAN Kelas Jauh. Kelas Sabtu Minggu diselenggarakan khusus untuk karyawan yang memiliki waktu luang terbatas (karena mereka bekerja dari hari Senin s/d Jum'at), mereka ingin melanjutkan pendidikan formalnya (pendidikan tinggi) secara layak dan bermutu. Tenaga Pengajar/Dosen di Kelas Sabtu Minggu juga merupakan tenaga pengajar/dosen di Program Reguler, perkuliahan diadakan di kampus induk, sistem kredit (SKS) yang digunakan juga sesuai dengan UU No. 232/U/2000. Masa hanya gara-gara 1 orang maling dianggap bahwa semuanya maling ?
Mohon pencerahannya, semisal di daerah sumatra akan mendirikan PTS dengan menginduk pada PTS yg ada di Jakarta. Apakah ini termasuk kategori kelas jauh? sebelumnya terimakasih.
harusnya dikti dan bkn bikin aturan yang jelas masalah ini, jangan UUD hehehehe
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya