Sampai sekarang saya belum menemukan aturan tentang mekanisme penerimaan pegawai di institusi pemerintah dengan persyaratan penyerahan uang. Saya malah yakin aturan seperti ini tidak pernah ada. Baik yang lama maupun baru. Baik peninggalan kolonial maupun karya anak negeri. Baik berupa konstitusi maupun surat edaran sekretaris daerah sekalipun. Dengan demikian mestinya hal ini tidak diperbolehkan. Namun das sollen tak seindah das sein-nya.
Di salah satu media saya baca adanya praktek serah terima uang untuk menjadi tenaga honorer di daerah (honda). Penerimaan honda sendiri selama ini tak pernah terpublikasikan secara luas. Oleh karena itu tak pernah ada seleksi penerimaan honda sebagaimana tes CPNS. Sejak terbitnya PP Nomor 48 Tahun 2005 para pejabat berwenang dilarang mengangkat tenaga honorer (meskipun sebenarnya UU Nomor 43 Tahun 1999 mengizinkannya). Namun nyatanya tahu-tahu berjubel ria ribuan honda di berbagai instansi.
Di media massa itu sempat timbul rencana membawa masalah honda ke ranah hukum. Maksudnya mungkin melaporkan ke aparat penegak hukum agar ditindaklanjuti hingga hakim-lah yang memutuskan perkara. Apa perkaranya? Seiring dengan kebijakan pemerintah daerah maka mulai akhir tahun ini seluruh honda akan dirumahkan. Yang menjadi masalah adalah saat masuk menjadi honda itu, katanya ada yang telah menyerahkan jutaan rupiah kepada pegawai pemerintah. Modus menjadi honda seperti ini tidak hanya pada dirinya saja, namun juga orang lain. Mereka merasa tertipu. Maka LSM yang mendampingi tak segan akan melapor ke polisi.
Benarkah ini kasus penipuan? Tunggu dulu. Ini bukan akhir cerita.
Delik penipuan diatur dalam Pasal 378 KUHP. Unsur-unsur yang ada dalam penipuan adalah adanya maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum, menggerakkan orang untuk menyerahkan sesuatu barang, dan dengan menggunakan salah satu upaya penipuan. Upaya penipuan itu antara lain dengan memakai nama palsu, dengan tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan. Maksimal 4 tahun penjara merupakan ancaman pidana penipuan. Penipuan termasuk delik aduan, artinya aparat penegak hukum baru bisa memproses jika ada aduan dari korban. Ingat lho ya, dari korban, bukan dari koran.
Contoh penipuan adalah seperti yang dilakukan salah seorang PNS di suatu instansi. Ia menawarkan dan menjanjikan kepada orang lain sanggup memasukkan menjadi pegawai negeri di kantornya. Tapi dengan syarat orang itu harus menyerahkan sejumlah uang. Dengan kepiawaiannya orang itu pun tertarik. Serah terima uang akhirnya terjadi. Namun pada kenyataannya sampai sekarang orang yang telah menyerahkan uang itu tak pernah diangkat menjadi pegawai negeri seperti janji semula. Setelah dilaporkan polisi, Si PNS dijadikan tersangka kasus penipuan.
Lalu bagaimana dengan kasus honda di atas. Hampir sama. Mirip. Tapi sejatinya berbeda meskipun sama-sama ada penyerahan uang. Si honda menyerahkan uang ke (sebut saja) oknum. Si oknum menjanjikan dapat memasukkannya menjadi tenaga honorer di salah satu kantor pemerintah. Benar, tak berapa lama kemudian si honda pun menerima surat keputusan pengangkatan dari kepala kantor bahkan mendapatkan seragam layaknya pegawai di kantor pemerintahan itu. Akhirnya si honda bekerja selama bertahun-tahun tanpa ada yang mempermasalahkan dan ia mendapatkan honorarium tiap bulan. Berarti si oknum tepat janji kan? Tepat janji berarti tidak bohong kan? Tidak bohong berarti jujur kan? Tegakah orang yang jujur dilaporkan sebagai penipu? Berarti ini bukan penipuan dong!?
Tak bisakah kasus itu disebut pemerasan? Tentu saja tidak, karena penyerahan uang dilakukan dengan sadar dan sukarela. Lagipula si honda tidak dalam tekanan atau paksaan apa pun. Bisa jadi si honda waktu itu malah merasa senang memperoleh pekerjaan. Bagaimana mungkin memenjarakan orang yang telah membuat senang orang lain.
Berarti si oknum yang jujur tak bisa dijerat hukum? Belum tentu. Anda masih ingat kasus Urip dan Ayin? Urip adalah ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus BLBI yang melibatkan pengusaha besar, sedangkan Ayin merupakan kolega dari pengusaha besar itu. Kejaksaan akhirnya menghentikan kasus BLBI. Ayin dan Urip ditangkap oleh KPK. Penyadapan yang dilakukan oleh KPK menunjukkan adanya keterlibatan Ayin dalam penghentian kasus BLBI. Ayin menyerahkan milyaran rupiah kepada Urip. Akhir cerita, Ayin divonis 5 tahun, Urip kena 20 tahun. Kasus gerangan apakah ini? Ya benar, penyuapan.
Apa kaitannya dengan kasus honda di atas. Mirip. Disadari atau tidak, memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya ternyata masuk delik pidana (lihat UU Nomor 20 Tahun 2001). Pemberian ini tentunya ada maksud yang menguntungkan baginya. Pegawai negeri yang menerima pemberian itu juga terkena delik pidana. Inilah yang dinamakan penyuapan. Yang memberi dan menerima sama-sama bersalah. Sama-sama menjadi tersangka. Sama-sama menjadi terdakwa. Sama-sama menjadi terpidana.
Bisakah penerimaan honda yang jamak kita dengar selama ini disebut penyuapan? Mungkin saja (saya tidak menjawab dengan kata ”TENTU” karena pembuktian ada di persidangan dan saya bukanlah aparat penegak hukum). Ada orang yang menyerahkan uang agar diterima menjadi pegawai (honda). Penerimanya adalah pegawai negeri. Uangnya ada. Peristiwanya nyata. Dan adalah sebuah fakta adanya surat keputusan pengangkatan sebagai pintu masuk menjadi pegawai.
Sebenarnya penyuapan bukanlah delik aduan. Artinya tanpa adanya aduan, proses hukum sudah bisa berjalan. Tinggal bagaimana aparat penegak hukum bersikap. Tapi sepertinya kasus seperti ini tak pernah sampai di meja hijau.
Saya pribadi sangat kasihan dengan para honda. Posisi mereka amat lemah, penuh dilema. Diam, uang melayang. Lantang, hukum menghadang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya