Beberapa minggu terakhir ini sebagian personel di kantor saya sibuk luar biasa. Dengan dibantu oleh pegawai dari satker lain mereka turun ke lapangan, ke kantor-kantor terutama UPT Dinas Pendidikan Kecamatan. Hal itu dilakukan seminggu sekali selama hampir dua bulan. Tugasnya memeriksa kebenaran data tenaga honorer yang tersebar di seantero Ngawi. Tak kurang dari 700 orang yang mengaku bekerja di Pemkab sejak tahun 2005 namun tak kunjung diangkat CPNS.
Capek tentunya, fisik dan pikiran. Tak cukup itu, pekerjaan pun harus dibawa ke kantor dibahas bersama anggota tim. Demikian juga tenaga honorer, ada yang dipanggil ke kantor. Tak sedikit ada di antara anggota tim yang bercerita tentang banyaknya rekayasa yang ditemui. Saya salut dengan teman-teman yang meluangkan waktu dan tenaga (dan tentunya dapat honor kan?). Namun sebenarnya ada yang lebih penting yang seharusnya perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum beraksi di lapangan, yakni pematangan regulasi. Terus terang saya bukan anggota tim (saya mengundurkan diri karena beberapa alasan), namun saya ingin memberikan masukan. Paling tidak ini bisa menghemat pekerjaan, waktu, tenaga, dan biaya. Terlambat memang, namun daripada tidak sama sekali.
Sebelumnya silakan klik artikel saya di sini, di sini, dan di sini. Dengan membaca ketiga artikel itu Anda bisa mendapatkan sedikit gambaran apa yang saya maksudkan. Oya ini pun pendapat pribadi, tentunya masih bisa disanggah dengan berbagai macam argumentasi. Justru saya akan bertambah senang. Dari situ akan terjadi transaksi ide, pemikiran, dan wawasan. Oke deh!?
Terkait dengan pendataan tenaga honorer pasca dikeluarkannya SE Menpan Nomor 5 Tahun 2010, BKN pernah mengadakan sosialisasi yang mengundang BKD seluruh Indonesia di Bandung, sekitar pertengahan 2010. Saya bukan salah satu peserta, lha wong jangankan Kepala BKD, Kasubid saja saya belum pernah merasakannya kok. So, yang hadir tentunya bos saya. Saya berterima kasih diberi kesempatan membaca makalah hasil sosialisasi itu yang berwujud power point. Makalah itulah yang kemudian menjadi landasan operasional pelaksanaan pendataan tenaga honorer. Padahal, menurut saya ada penjelasan yang kurang lengkap, entah sengaja atau tidak, pada materi dalam makalah. Saya juga heran bagaimana mungkin sebuah makalah yang tidak masuk dalam tata urutan perundang-undangan bisa mengalahkan peraturan hukum. (Dalam kasus yang lain BKN pun pernah melakukan hal yang sama, misalnya tentang pengangkatan CPNS yang tidak boleh berlaku surut).
Makalah tanpa pencantuman nama penyaji itu berjudul : pendataan-verifikasi-dan validasi tenaga honorer pp 48/2005 dan pp 43/2007 (saya tulis sesuai dengan aslinya). Salah satu kekurangan makalah ini (menurut saya) terletak pada pengertian siapa yang mengangkat tenaga honorer daerah. Saya tidak sedang mengritisi tenaga honorer pusat atau bagian makalah lain. Dari satu bagian saja sudah membawa dampak yang luar biasa.
Menurut makalah ini, yang dapat mengangkat tenaga honorer daerah adalah pejabat pembina kepegawaian daerah (Gubernur/Bupati/Walikota), pejabat eselon I (Sekda Provinsi), pejabat eselon II (Sekdakab./Sekdakot., Kepala Badan/Dinas/Sekwan), pejabat eselon III (Kepala Kantor/UPTD), dan Kepala Sekolah Negeri. Tidak dijelaskan kenapa para pejabat itu diberi kewenangan mengangkat tenaga honorer. Atau tidak dijelaskan dari mana kewenangan itu diperoleh.
Saya mengambil contoh tiga daerah yang mengumumkan hasil pendataan tenaga honorer, terutama yang kategori 2, yakni di Magelang, Kediri, dan Ngawi. Di Magelang ada ratusan (mungkin malah ribuan), di Kediri terdapat lebih dari 2.300, sedangkan di Ngawi lebih dari 700 yang masuk data. Dari data itu tidak ada satu pun tenaga honorer yang diangkat oleh Bupati. Ketiga daerah ini banyak mencantumkan Kepala Sekolah sebagai pejabat yang mengangkat tenaga honorer. Dan data tersebut-lah yang telah dikirim ke BKN.
Kalau kita merujuk kepada peraturan perundang-undangan (bukan tulisan di makalah dan pembicaraan di rapat/seminar), sebenarnya yang berwenang mengangkat tenaga honorer di tingkat Kabupaten adalah Bupati an sich. Sesuai peraturan perundang-undangan pula, pejabat lain dapat mengangkat tenaga honorer jika mendapat pendelegasian wewenang atau pemberian kuasa dari Bupati yang diwujudkan dalam bentuk Keputusan.
Untuk daerah Magelang dan Kediri saya tidak tahu apakah sudah ada Keputusan itu, namun di Ngawi saya belum pernah menemukannya. Mungkin juga Bupati Ngawi memang belum pernah mendelegasikan atau memberikan kuasa kepada pejabat di lingkungannya. Pejabat itu bisa Eselon II, Eselon III, hingga Kepala Sekolah. Data kategori 2 yang telah dikirim oleh Pemkab Ngawi (dalam hal ini BKD) ke BKN tidak ada satu pun yang diangkat oleh Bupati. Dengan demikian sebenarnya tidak ada satu pun yang memenuhi kriteria sesuai ketentuan dalam SE Menpan Nomor 5 Tahun 2010. Ingat, dalam SE Menpan secara eksplisit disebutkan salah satu kriteria tenaga honorer itu adalah diangkat oleh ”pejabat yang berwenang”.
Lalu kenapa demikian repotnya tim verifikasi turun ke lapangan, meneliti berkas, mewawancarai, hingga memanggil tenaga honorer. Ibarat mengarungi sungai mencari korban tenggelam dari atas bukit, tim kini telah berada di hilir menyisir. Padahal si korban masih berada di hulu. Akan lebih celaka lagi jika akhirnya tim terlanjur masuk lautan yang terkenal dengan ombak buasnya.
Untuk menenangkan hati, ya anggap saja tugas ini sebagai penambah pengalaman. Juga menambah uang saku (hehehe...). Lihat lagi SE Menpan yang menjadi landasan operasional pendataan tenaga honorer. Di sana disebutkan bahwa pendataan itu dilakukan sambil menunggu Peraturan Pemerintah tentang Persyaratan dan Tatacara Penyelesaian Tenaga Honorer. Nah lho, jelas kan tugas ini adalah pekerjaan sambilan.
Catatan: saya tidak alergi dengan kondisi tenaga honorer, terutama di daerah saya. Tapi memang begitulah peraturan perundang-undangan. Selama tidak berubah, tentunya nasib tenaga honorer masih seperti kini. Allah tidak merubah nasib suatu kaum, sampai kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya. So, jangan pilih wakil rakyat busuk. Lho apa hubungannya? Anggota dewan yang bertugas membuat regulasi malah kelayapan (dengan alasan studi banding), mangkir dari panggilan aparat hukum (dengan alasan sakit di luar negeri), menumpuk kekayaan, main judi, mengonsumsi narkoba, sedangkan rakyatnya susah makan dan susah buang air besar. Waspadalah, waspadalah...!!!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya