thifablog.wordpress.com |
Salah satu menteri langsung menanggapi. Ia tak setuju jika ada penilaian popularitas Presiden menurun seiring banyaknya kasus yang ada selama ini. Diceritakan banyak warga bertepuk tangan saat ia menyebut nama Presiden SBY dalam pidato kunjungan kerja di daerah. Karena itu ia merasa ada sesuatu yang tidak benar dari penilaian tersebut.
Lalu mana yang benar? Masalah survey biar lembaganya yang membuktikan kesahihannya. Masalah tanggapan biar jajaran pemerintah dan partai pendukung yang membantahnya. Sekarang kita bicara yang ringan-ringan saja, yakni soal tepuk tangan.
Saya jadi teringat saat masih duduk di bangku SMA, belasan tahun silam. Setiap hari Senin secara rutin kami, para siswa, guru, dan pegawai sekolah mengadakan upacara bendera. Yang menjadi pembina upacara seringkali adalah kepala sekolah, namun tak jarang juga digilir di antara guru yang kebetulan menjadi wali kelas. Dalam salah satu upacara pasti ada amanat dari pembina upacara yang berisi ceramah atau pembacaan pidato pejabat negara.
Yang paling membosankan adalah jika ceramah atau pembacaan pidato terlalu lama. Padahal kami mendengarkan sambil posisi tubuh berdiri terpanggang sinar matahari. Tapi ternyata ada beberapa teman yang punya cara jitu untuk segera menghentikan ”ketersiksaan” itu, yakni dengan tepuk tangan.
Saat jeda pergantian kalimat dari ceramah atau pidato pembina upacara itu, beberapa teman bertepuk tangan. Kami awalnya heran, tak biasanya di tengah-tengah pidato ada tepuk tangan, apalagi bermula dari barisan siswa. Kontan, siswa yang lain juga ikut bertepuk tangan, hingga akhirnya semua ikut bertepuk tangan, tak terkecuali para guru dan pegawai sekolah. Sang pembina upacara girang tak kepalang, merasa pidatonya mengena di hati para pendengar. Namun benarkah demikian? Tentu saja tidak.
Tepuk tangan itu bukan tanda puasnya peserta upacara mendengar pidato, malah mungkin banyak yang tidak menghayati makna dari pidato itu. Tepuk tangan itu hanya cara agar pidato segera diakhiri, namun dengan cara yang halus. Sang pembina pun merasa senang, seolah-olah pidatonya mengena. Padahal pada kenyataannya bukan seperti itu.
Tiga empat kali kami berhasil menghemat durasi waktu pembina yang berpidato dalam upacara. Namun lama kelamaan para guru pun menyadari trik itu, sehingga ada juga pembina upacara yang tak terpengaruh dengan tepuk tangan. Hasilnya kami terus terpanggang di sinar matahari. Hehehe...gak pa-pa-lah, belajar mencintai negeri, belajar banyak mendengar, dan sekaligus menyerap vitamin D dari sinar matahari, sehat.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya