Sabtu sore itu selepas asar, tanggal 28 Agustus 2010, bapak menelepon mengabarkan Mbah Jah meninggal. Saya pun segera pulang ke Madiun mengendarai motor sendirian. Anak-anak dan istri tetap saya suruh di Ngawi saja, apalagi istri sedang sakit. Sedangkan kalau naik bis malah kelamaan di jalan. Sebelumnya Mbah Jah sempat diopname di RSI Madiun karena adanya beberapa borok di tubuhnya. Saya sempat menjenguknya seusai pulang dari rumah sakit, namun ia sudah agak lupa dengan orang-orang yang pernah dikenalnya. Usianya memang sudah sangat tua, namun tak diketahui secara pasti tahun kelahirannya. Setahun belakangan aktivitasnya hanya di ranjang.
Mbah Jah, nama lengkapnya Satijah, bukanlah saudara ataupun kerabat kami. Ia sudah puluhan tahun ikut dengan keluarga kami, bahkan sudah kami anggap sebagai bagian keluarga kami. Dulu ia adalah tetangga samping rumah keluarga kami di Kelurahan Nambangan, Kota Madiun pada tahun 70-an. Waktu itu saya belum lahir. Ia hidup berdua dengan suaminya, Pak Naib, seorang pegawai kebersihan pada Pemda Madiun. Hingga akhirnya Pak Naib dipanggil oleh Allah SWT. Mbah Jah sebatang kara. Tidak mempunyai anak, tidak juga diketahui keberadaan kerabatnya. Katanya sih ia berasal dari Ponorogo, namun tidak tahu di mana orantuanya.
Akhirnya bapak dan ibu berunding untuk menolong Mbah Jah. Bapak menawarkan kepada Mbah Jah untuk menjadi rewang di keluarga kami, tugasnya membantu dan merawat Mbah Kung (bapaknya bapak) di Sogaten, sebelah utara Madiun. Ia pun setuju dan akhirnya ia menjadi bagian dari keluarga kami. Ia kami anggap sebagai mbah kami juga. Sampai akhirnya mbah kung pun meninggal belasan tahun kemudian.
Setelah itu Mbah Jah dibawa bapak ke rumah Jalan Sarean Taman yang sekarang. Banyak suka duka hidup dengannya. Waktu itu saya sudah sekolah SD. Kadang-kadang ada perilakunya yang menjengkelkan. Tapi saya maklumi karena memang sudah tua. Saat saya masih menjadi mahasiswa di Jogja, setiap pulang ke Madiun, Mbah Jah sering membelikan saya sate ayam. Wah tambah gizi nih pikir saya. Begitu juga saat saya sudah berkeluarga dan tinggal di Ngawi, setiap saya berkunjung ke Madiun kebiasaannya membelikan sate ayam tidak berubah. Tentunya yang paling senang adalah Fauzan, anak saya yang pertama, karena hobinya memang makan sate ayam.
Dulu Mbah Jah sangat sulit diajak sholat. Segala cara sudah kami lakukan agar ia mengerjakan sholat, namun hasilnya nihil. Suatu saat datang Bu Puh (mbaknya ibu) dan tinggal bersama keluarga kami. Usianya tidak terlalu jauh dengan Mbah Jah. Dengan kegigihannya, Alhamdulillah akhirnya Mbah Jah mau mengerjakan sholat. Bu Puh pula yang mengajarkan gerakan-gerakan sholat. Waktu itu saya sudah kuliah di Jogja.
Begitulah Mbah Jah sampai akhirnya ia meninggal dunia di Bulan Suci Ramadhan tahun ini. Semoga Allah memberikan tempat yang layak di sisi-Nya. ”Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan” (QS Al Anbiya 35).
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya