Seorang perempuan diculik. Setelah dicari ke mana-mana, ia ditemukan oleh ayah dan saudaranya di sebuah bangunan kosong dalam keadaan tak bernyawa. Saat itu di dekatnya ada seorang tua. Kontan saja, sang ayah menuduh orang tua tersebut sebagai pembunuh anaknya. Dipenjaralah orang tua itu dan diajukan ke pengadilan. Si orang tua bukanlah pembunuh sebenarnya. Bahkan ia bermaksud menolong perempuan yang akan diperkosa dan dibunuh oleh seorang pemuda. Beruntunglah, sang hakim memutuskan perkara dengan adil.Sang hakim dalam persidangan tersebut tak lain adalah Bao Zheng.
Kisah di atas adalah salah satu episode dari film seri “Justice Bao”. Film tersebut pernah meraih kesuksesan di Asia. Pada tahun 1990-an stasiun televisi swasta Indonesia menayangkan film ini. Pemirsa menyambut hangat apalagi film disalin suara ke dalam bahasa Indonesia. Meski hampir semua kisah dalam serial ini adalah fiksi namun banyak pelajaran yang bisa diambil. Film ini sarat dengan nilai tradisional Tiongkok seperti sikap hormat kepada sesama manusia, rasa berbhakti kepada orang tua, dan kesetiaan kepada negara.
Sesungguhnya, sosok hakim Bao benar adanya. Bao Zheng lahir di Luzhou pada tahun 999 dan meninggal pada tahun 1062. Kehidupannya sederhana dan banyak bergaul dengan rakyat jelata. Ia membenci korupsi dan bertekad untuk menegakkan kebenaran dan keadilan melalui jabatan hakim. Selain sebagai hakim, ia juga negarawan terkenal pada zaman Dinasti Song Utara. Karena kejujurannya dia mendapat julukan Bao Qingtian yang berarti Bao si langit biru, sebuah nama pujian bagi pejabat bersih. Musuh-musuhnya menjulukinya Bao Heizi yang artinya si hitam Bao karena warna kulitnya yang gelap.
Sejarah mencatat bahwa selama tugasnya ia telah memecat atau menurunkan pangkat puluhan pejabat tinggi termasuk beberapa menteri atas tuduhan korupsi, kolusi, melalaikan tugas, dan lain-lain. Dia sangat berpegang teguh pada pendiriannya dan tidak akan menyerah selama dianggapnya sesuai kebenaran. Beruntung, Hakim Bao mendapatkan dukungan dari kaisar. Nama Bao Zheng banyak menghiasi karya literatur dalam sejarah Tiongkok. Kisah hidupnya melegenda.
Lupakan sejenak Hakim Bao. Mari kita menengok hakim-hakim di nusantara. Sebuah LSM mencatat perilaku para hakim yang tak elok ditonton dan tak patut ditiru. Harini Wiyoso, seorang hakim Pengadilan Tinggi menerima suap dalam perkara kasasi kerabat mantan presiden. Herman Allositandi, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, memeras saksi dalam
pemeriksaan perkara korupsi Jamsostek. Zaini Bahrum, Ketua Pengadilan Negeri Kayuagung, Sumatera Selatan menerima suap dari seorang pengacara.
Kemudian, Imas Dianasari, hakim ad hoc Pengadilan Hukum Industrial Bandung, tertangkap tangan saat disuap oleh seorang pria. Pragsono, Hakim Pengadilan Tipikor Semarang, dan Asmadinata, hakim ad hoc Tipikor Palu, Sulawesi Tengah menerima suap untuk mempengaruhi putusan terkait kasus korupsi yang ditanganinya. Setyabudi Tejocahyono, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung, menerima suap puluhan juta rupiah untuk mengkondisikan putusan perkara. Syarifudin, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menerima suap Rp 250 juta dan puluhan ribu dolar dari seseorang terkait dengan kepailitan sebuah perusahaan.
Selanjutnya, Ibrahim, hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta, menerima suap dalam perkara tanah. Muhtadi Asnun, hakim di Pengadilan Negeri Tangerang, menerima uang untuk membebaskan seorang terdakwa dalam kasus penggelapan pajak. Kartini Juliana Magdalena Marpaung, hakim ad hoc Tipikor Semarang dan Heru Kisbandono, hakim ad hoc Tipikor Pontianak, ditangkap karena menerima suap untuk mengkondisikan putusan kasus korupsi yang ditanganinya. Roy Maruli Napitupulu, hakim Pengadilan Negeri Balige, Provinsi Sumatera Utara, menerima suap saat menangani perkara. Nuril Huda, Ketua PN Pangkalan Bun, menerima uang jutaan rupiah dari pengacara. Tripeni Irianto Putro, Ketua PTUN Medan dan dua hakim, Amir Fauzi dan Dermawan Ginting, menerima suap dari pengacara dalam perkara PTUN tentang korupsi.
Contoh di atas adalah beberapa kasus yang terungkap. Masing-masing telah menerima konsekuensinya. Ada yang dipenjara, ada pula yang dipecat dari jabatannya. Bila kita percaya dengan fenomena gunung es, maka kita pantas prihatin. Boleh jadi kasus yang belum terungkap lebih besar lagi. Orang bilang, hakim adalah penjaga keadilan. Orang juga berkata, hakim adalah wakil Tuhan di dunia. Hakim yang seharusnya memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, dan adil, nyatanya mencederai hukum yang mestinya ia tegakkan.
Beberapa pakar, saking geramnya, pernah mengusulkan agar Indonesia mengimpor hakim saja. Ahli tata negara, Profesor Mahfud MD, menceritakan bahwa Negara Georgia pernah melakukan kebijakan lustrasi yang disusul dengan mengimpor hakim dari luar negeri. Tak lama setelah lepas dari Uni Soviet, untuk mengakhiri mafia dan korupsi yang sangat parah di lembaga peradilan, Georgia membuat kebijakan lustrasi, yakni memberhentikan para hakim dengan kriteria tertentu secara serentak.
Kalau di Indonesia hal tersebut populer dengan istilah potong generasi. Semua hakim diberhentikan untuk kemudian diangkat hakim baru yang bersih. Georgia mengimpor hakim-hakim dari Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat dengan tugas khusus menangani perkara-perkara yang sedang ditangani hakim yang diberhentikan dengan kebijakan lustrasi itu. Keadaan menjadi beres, kebijakan itu cukup berhasil, dan Georgia sekarang mempunyai lembaga peradilan yang lebih kredibel.
Meskipun kita menginginkan para hakim seperti sosok hakim Bao yang jujur dan berani, namun sampai detik ini, Indonesia belum mengimpor hakim dari mantan negeri penjajahnya, Belanda. Juga dari Inggris atau Amerika Serikat. Regulasi kita masih mensyaratkan jika hakim harus warga negara Indonesia. Tentu saja impor hakim di Indonesia baru sebatas wacana. Tapi itulah wujud geramnya kita terhadap kelamnya dunia peradilan beserta hakim-hakimnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya