Ayo Tepuk Tangan

Senin, 24 Agustus 2015

Saya pikir akan ada pengumuman yang penting, bombastis, dan spektakuler pada apel gabungan pagi tadi. Namun, ternyata biasa sajalah. Dari ribuan lebih patah kata yang disampaikan pejabat karir tertinggi di pemerintah lokal tempat saya mencari sesuap nasi tersebut, setidaknya dua hal yang saya tangkap sebagai intinya. Pertama, (maaf kalau vulgar) kampanye terselubung terhadap petahana yang bakal bertarung beberapa bulan lagi menjadi kepala daerah. So, inga’ inga’ ting... semua harus memilih sang petahana. “Panwas, mana panwas!!!”

Kedua, memberitahukan kepada khalayak, kalau doi eh maaf beliau, sudah lulus ujian disertasi alias doktor. Ehm, mudah-mudahan ilmunya barokah, dunia akherat. Amin ya robbal ‘alamin. Waduh, beberapa konsep surat dinas yang terlanjur saya bikin kemarin harus direvisi lagi dong. Jadi teringat dulu, waktu saya sengaja tidak mencantumkan gelar H di depan namanya. Sukses, konsep surat musti dikembalikan.

Saya lupa menghitung berapa kali tepukan tangan para hadirin cetar membahana. Sengat terik sang surya yang menerpa ratusan peserta apel tak membuat lupa keharusan bertepuk tangan atas klaim kesuksesan program pemerintah.

Dulu, dulu sekali, kalau tak salah ada seorang menteri yang menyatakan bahwa tepuk tangan berbanding lurus dengan tingkat popularitas pemimpin. Ceritanya, ada sebuah lembaga survei yang melansir jika kinerja presiden menurun. Penurunan ini dipengaruhi oleh beberapa peristiwa yang menjadi perhatian publik, seperti belum tuntasnya kasus pembunuhan aktivis HAM, bailout sebuah bank, kasus korupsi, dan kasus-kasus pidana yang diduga melibatkan petinggi partai. Dengan kata lain rakyat makin tak puas dengan kinerja pemerintah yang sekarang.

Tua Itu Pasti, Lupa Itu Pilihan

Senin, 10 Agustus 2015

Namanya manusia, siapa sih yang tak pernah lupa. Saya, aku, gue, gua, ane, ana, inyong. Anda, kamu, elo, ente, antum, sampeyan, panjenengan. Kita semua pasti pernah mengalaminya. Bahkan pepatah Arab mengatakan, Al-Insanu Mahalul Khoto wan Nisyan, manusia itu tempatnya salah dan lupa. Itulah sebabnya setiap hari kita dianjurkan membaca istighfar minimal 100 kali. Kamu makan minum di siang hari saat bulan Ramadan pun tidak dihukumi dosa, asalkan lupa.

Pernah dengar cerita suami yang lupa meninggalkan istrinya di jalan? Cerita ini pernah saya baca di Jayabaya, sebuah majalah berbahasa Jawa. Mungkin kejadiannya pada tahun 1980-an. Begini ceritanya sob, eng ing eng. Kebiasaan orang dulu kalau berboncengan sepeda, di bagjo saat berhenti karena lampu merah sedang menyala, orang yang dibonceng di belakang (lha iya masak dibonceng di depan) pasti turun. Jika lampu menyala hijau, yang dibonceng segera naik ke peraduan, eh boncengan, si pengendara pun kembali mengayuh pedalnya. Kamu boleh cek kepada ayah ibu kamu kebenaran kebiasaan ini. Saya yang mengalami menjadi bocah di tahun 1980-an masih sempat menyaksikan kebiasaan tersebut.

Nah, suatu hari ada suami istri yang berboncengan sepeda motor. Suami di depan. Si istri di belakang duduk menyamping. Tiba di perempatan, lampu bangjo menyala merah. Si suami menghentikan motor. Karena kebiasaan, si istri pun turun. Ketika lampu menyala hijau, seketika si suami melajukan motor. Ia tak menyadari kalau istrinya belum sempat naik ke boncengan. Ia tersadar karena sepanjang perjalanan itu tiap kali mengobrol tak ada yang menanggapi. Begitu menengok ke belakang, eh ladhalah, istrinya tak ada. Saat kembali ke tempat bagjo tadi di dapatinya si istri duduk di pinggir trotoar termenung sembari bersenandung ala Nia Daniati, “Pulangkan saja, aku pada ibuku, atau ayahkuuuuuu. Uwo-uwo.” Nggak, yang terakhir itu ngarang bebas.

Saya punya kakak yang termasuk pelupa. Pernah kami berdua menuju ke masjid untuk sholat dhuhur berjamaah. Berboncengan motor, ia di depan, saya belakang. Usai sholat ia tampak kebingungan. Rogoh kantong baju. Rogoh kantong celana. Samping kiri, samping kanan. Gelandang kiri, gelandang kanan. Depan, striker. Kunci motor tak ada di sekujur tubuhnya. Segera saja saya lari keluar menuju parkiran motor, takut jangan-jangan motor turut raib. Tuh kan, kunci motor masih menancap di sana. Ternyata ia lupa tak mencabut kunci setelah memarkir motor. Untunglah tak ada penjahat yang berniat mencurinya. Kata bang Napi, kejahatan muncul karena ada niat dan kesempatan. Padahal lho, masjid tersebut berada di area pasar yang pada siang hari begitu padat dengan banyaknya orang beraneka ragam.

Gejala Politik Kartel Dalam Pilkada Ngawi

Rabu, 05 Agustus 2015

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menduga PT Pertamina (Persero) ikut melakukan praktek kartel dan monopoli terkait sektor minyak, mengacu kepada pernyataan pejabat Pertamina terkait harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax. Dugaan tersebut sudah ditelusuri sejak awal Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) yang menaikkan harga BBM kemudian menurunkannya kembali. Ketika harga BBM diturunkan kembali, sempat ada statement petinggi Pertamina yang akan menurunkan harga Pertamax kalau dua perusahaan kompetitor lainnya ikut menurunkan harga. Hal ini mengindikasikan adanya praktek kartel karena seolah-olah beberapa perusahaan minyak mengondisikan harga. Saat ini KPPU masih melakukan proses penelitian terkait dugaan kartel yang dilakukan pihak Pertamina.

Memang pada jamaknya, praktek kartel dilakukan pada aktivitas ekonomi. Kartel merupakan  kelompok produsen independen yang bertujuan menetapkan harga, untuk membatasi suplai dan kompetisi. Kartel dilakukan oleh pelaku usaha dalam rangka memperoleh market power. Market power ini memungkinkan mereka mengatur harga produk dengan cara membatasi ketersediaan barang di pasar. Pengaturan persediaan dilakukan dengan bersama-sama membatasi produksi dan atau membagi wilayah penjualan.

Sederhananya, beberapa pelaku usaha bersekongkol untuk mempengaruhi harga dengan mengatur volume produksi, jalur pemasaran, dan sebagainya. Mereka juga menutup peluang pelaku usaha lain yang akan berkompetisi secara sehat untuk masuk. Akibatnya konsumen harus membayar lebih mahal dari harga seharusnya. Konsumen tak memiliki refererensi berapa seharusnya harga yang harus dibayar sampai akhirnya tahu jika barang dan jasa sejenis di luar negeri berharga lebih murah. Tak menutup kemungkinan, untuk melindungi kekuatan, pelaku kartel harus menyuap aparat, terjadilah kong kalingkong, manipulasi, dan korupsi. KPPU pernah berhasil membongkar praktek kartel yang dilakukan enam perusahaan seluler selama tahun 2004-2008 yang menetapkan persekongkolan harga tarif SMS. Kerugian yang diderita konsumen mencapai Rp 2,827 triliun.

Di berbagai negara praktek kartel merupakan pelanggaran hukum. Dalam hukum positif Indonesia pun praktek kartel telah dilarang. UU Nomor 5 Tahun 1999 mengatur hal tersebut. Dalam Pasal 11 disebutkan pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Adakah Pelaksana Tugas Harian?

Senin, 03 Agustus 2015

Tepat 27 Juli 2015, Bupati Ngawi Budi “Kanang” Sulistyono beserta wakilnya Ony Anwar Harsono resmi lengser dari jabatannya. Bukan karena meninggal, sakit, dipenjara, atau mengundurkan diri. Tapi, karena masa kontraknya telah habis. Mereka berdua memang termasuk PTT, namun bukan PTT yang seringkali menuntut diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Kalau itu namanya PTT yang Pegawai Tidak Tetap. Kalau PTT yang bupati dan wakilnya namanya Pejabat Tidak Tetap. Hehehe.... Tidak tetap karena kontraknya hanya sampai 5 tahun. Boleh diperpanjang jika terpilih dalam pemilihan.

Sebenarnya Gubernur Jawa Timur Soekarwo sudah mengajukan nama bawahannya kepada Menteri Dalam Negeri untuk menjadi Penjabat (Pj) Bupati. Pengajuan itu sebelum tanggal berakhirnya masa periode bupati dan wakil bupati. Dengan harapan, seketika bupati lengser, sudah ada Pj Bupati yang memimpin pemda Ngawi sampai dilantiknya bupati hasil pilkada. Akan tetapi sampai hari H, Surat Keputusan dari Mendagri tersebut belum terbit juga. Mungkin pak menteri yang berasal dari partai banteng gemuk berwarna merah itu sedang sibuk.

Untuk mengisi kekosongan, gubernur menunjuk Sekda Ngawi Siswanto untuk jadi Bupati. “Pejabat asal Jombang itu menunjukkan SK Gubernur Jawa Timur Nomor 131.1/15.358/011/2015 tentang penunjukkannya sebagai Plt Bupati Ngawi terhitung mulai tanggal 27 Juli 2015. Sayangnya, Siswanto mengaku tidak tahu sampai kapan dirinya menjabat sebagai Plt. Itu mengingat di SK tersebut tidak mencantumkan batas akhir jabatan Plt”. (Dikutip dari Radar Ngawi, 28 Juli 2015).

Gerak cepat pun segera dilakukan oleh Pak Siswanto sebagai Sekda Ngawi. Tanggal 30 Juli 2015 diedarkan surat kepada kantor-kantor dinas tentang penulisan naskah dinas pelaksana tugas harian Bupati Ngawi. Pelaksana tugas harian tersebut disingkat menjadi Plh. Saya kurang tahu apakah penulisan Plh tersebut mengulang apa yang tercantum dalam SK Gubernur. Atau mungkin hasil kreativitas beliau. Jujur, saya baru mengenal istilah ini, “Pelaksana Tugas Harian”. Hal tersebut berarti gabungan antara Pelaksana Tugas dan Pelaksana Harian. Dua hal yang sejatinya berbeda.

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)