Secara eksternal, carut marutnya sistem kepegawaian di Indonesia diwarnai oleh kooptasi partai politik terhadap PNS. Ketidaknetralan PNS seringkali menyebabkan penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat dan PNS. Sulitnya membedakan antara tugas sebagai PNS dan keberpihakan pada partai politik menyebabkan sistem kepegawaian tidak lagi berdasarkan kepada sistem merit, tetapi kepada spoil system. Anggaran negara tidak digunakan semestinya, melainkan atas kepentingan-kepentingan afiliasi politik. Promosi jabatan juga dilakukan atas dasar kedekatan hubungan dengan kolega dan pertemanan politik (Prasojo, 2006).
Ketika PNS telah ditegaskan untuk netral terhadap setiap kepentingan politik, maka seharusnya ada ketegasan pula terhadap jabatan politik agar tidak mempolitisasi birokrasi untuk kepentingan politik sesaat. Menurut Thoha (2009), seharusnya jabatan politik yang berasal dari kekuatan politik itu jika terpilih menjadi pejabat negara tidak lagi menjabat struktural dalam kepengurusan partai politiknya. Dengan demikian jabatan negara yang memimpin birokrasi bersama-sama tidak ada kaitannya dengan aspirasi politik dari partai politiknya. Jabatan rangkap seperti yang selama ini dilaksanakan akan membuat lembaga birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari dari penyalahgunaan wewenang.
Yang terjadi dalam praktek selama malah berseberangan. Masih jarang terjadi seseorang yang diangkat maupun terpilih menjadi pejabat negara yang memimpin instansi pemerintahan ia melepaskan ikatan struktural dengan partai politiknya. Dalam tataran nasional, di era reformasi seluruh Presiden mulai Gur Dur, Megawati, hingga SBY tetap dalam lingkup struktural partai politik masing-masing. Pada tingkat daerah hal inipun tidak jauh berbeda. Bahkan ada Kepala Daerah yang awalnya berasal dari kalangan non politisi, ketika terpilih mereka masuk dalam struktur kepengurusan partai politik. Beberapa di antaranya malah menjadi ketua partai di daerah masing-masing, misalnya Gubernur Jawa Timur dan Gubernur Jawa Tengah.
Upaya lain yang bisa dilakukan untuk menghilangkan intervensi politik dalam birokrasi adalah dengan menjadikan jabatan karir birokrasi tertinggi pada masing-masing institusi sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian. Dalam kaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka Sekretaris Daerah merupakan puncak karir tertinggi dalam birokrasi, artinya Sekretaris Daerah dijadikan sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah. Dengan demikian, apabila Kepala Daerah terpilih tidak bersedia melepaskan ikatan struktural dengan partai politik, ia tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi birokrasi.
Inkonsistensi Regulasi Kepegawaian
Jumat, 25 Januari 2013
Di era Orde Baru PNS sebagai unsur utama dalam birokrasi terkooptasi oleh kekuatan politik. Regulasi kepegawaian saat itu yakni UU 8/1974 memang tidak secara tegas mengatur netralitas PNS, dengan kata lain PNS memang diharapkan menjadi kekuatan penyokong kekuasaan. Hal ini terbukti dengan dukungan formal Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) terhadap Golkar dalam setiap pemilu.
Baru setelah reformasi 1998 penataan birokrasi dilakukan dengan mewujudkan netralitas PNS. UU 8/1974 yang pro rezim Orde Baru dirubah dengan UU 43/1999. Pasal 3 menyebutkan bahwa Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. Dalam kedudukan dan tugas tersebut Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjamin netralitas, Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Oleh karena itu, Pegawai Negeri yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik harus diberhentikan sebagai Pegawai Negeri. Pemberhentian tersebut dapat dilakukan dengan hormat atau tidak dengan hormat.
Dalam UU itu pula ditentukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai negeri yakni oleh pejabat yang berwenang. Ketentuan lebih lanjut dalam hal ini diatur dalam PP 9/2003. Dalam PP 9/2003 dikenal istilah Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang sebenarnya tidak diatur dalam UU 43/1999. Dalam lingkup daerah PPK ini adalah Gubernur, Bupati, dan Walikota. PPK mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan PNS yang berada di lingkungan masing-masing.
Demikian luas kewenangan Kepala Daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian dalam mengurusi manajemen birokrasi. Padahal Kepala Daerah itu sendiri merupakan sebuah jabatan politik yang tak lepas dari kepentingan politik. Peran besar Kepala Daerah dalam urusan birokrasi itu tidak diiringi dengan pengawasan yang ketat. Tidak ada sanksi bagi Kepala Daerah ketika mereka memanfaatkan birokrasi sebagai mesin pemenang pemilu. Ini menjadi kontradiktif ketika PNS diatur agar tidak berpolitik praktis, sedangkan Kepala Daerah yang notabene Pejabat Pembina Kepegawaian malah mempolitisasi birokrasi. Kelahiran PP 9/2003 menjadi hal yang kontra produktif dengan cita-cita netralitas birokrasi seperti yang didambakan dalam UU 43/1999.
Baru setelah reformasi 1998 penataan birokrasi dilakukan dengan mewujudkan netralitas PNS. UU 8/1974 yang pro rezim Orde Baru dirubah dengan UU 43/1999. Pasal 3 menyebutkan bahwa Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. Dalam kedudukan dan tugas tersebut Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjamin netralitas, Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Oleh karena itu, Pegawai Negeri yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik harus diberhentikan sebagai Pegawai Negeri. Pemberhentian tersebut dapat dilakukan dengan hormat atau tidak dengan hormat.
Dalam UU itu pula ditentukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai negeri yakni oleh pejabat yang berwenang. Ketentuan lebih lanjut dalam hal ini diatur dalam PP 9/2003. Dalam PP 9/2003 dikenal istilah Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang sebenarnya tidak diatur dalam UU 43/1999. Dalam lingkup daerah PPK ini adalah Gubernur, Bupati, dan Walikota. PPK mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan PNS yang berada di lingkungan masing-masing.
Demikian luas kewenangan Kepala Daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian dalam mengurusi manajemen birokrasi. Padahal Kepala Daerah itu sendiri merupakan sebuah jabatan politik yang tak lepas dari kepentingan politik. Peran besar Kepala Daerah dalam urusan birokrasi itu tidak diiringi dengan pengawasan yang ketat. Tidak ada sanksi bagi Kepala Daerah ketika mereka memanfaatkan birokrasi sebagai mesin pemenang pemilu. Ini menjadi kontradiktif ketika PNS diatur agar tidak berpolitik praktis, sedangkan Kepala Daerah yang notabene Pejabat Pembina Kepegawaian malah mempolitisasi birokrasi. Kelahiran PP 9/2003 menjadi hal yang kontra produktif dengan cita-cita netralitas birokrasi seperti yang didambakan dalam UU 43/1999.
Label:
coretan,
kepegawaian,
oase,
saat kuliah
Politisasi Birokrasi
Selasa, 22 Januari 2013
Pejabat yang menduduki jabatan politik adalah representasi dari kekuatan politik yang tentunya mengalami pasang surut dan berorientasi jangka pendek. Dengan penetrasi politik yang semakin dalam ke eksekutif, maka birokrasi publik sering dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politis semata dengan mengabaikan kepentingan publik yang lebih luas. Jajaran pejabat di dalam birokrasi publik harus mampu mengoptimalkan kemampuan mereka dalam membuat kebijakan dan melaksanakan kegiatan pelayanan publik dalam situasi di mana pengaruh politik sangat kuat termasuk di daerah (Kumorotomo, 2005).
Lebih lanjut Kumorotomo menyatakan bahwa pada tingkat daerah, tantangan yang harus dihadapi adalah merumuskan dengan jelas kewenangan administrasi pemerintahan di antara tiga unsur pokok birokrasi publik di daerah. Ketiga unsur yang dapat disebut sebagai local triumvirate itu adalah Kepala Daerah sebagai unsur eksekutif yang dipilih dengan legitimasi politis, Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai unsur eksekutif yang ditentukan berdasarkan legitimasi profesional, dan DPRD sebagai unsur legislatif. Diperlukan rumusan wilayah otoritas yang lebih jelas antara eksekutif yang ditentukan dengan basis legitimasi politis (Kepala Daerah) dengan eksekutif yang ditentukan dengan legitimasi profesional (Sekda). Betapapun, ketidakjelasan rumusan otoritas ini seringkali mengakibatkan masalah yang tidak kecil bagi keberlangsungan pelayanan umum di daerah.
Pada level mikro dominasi dan intervensi golongan atau kelompok kepentingan tertentu telah membutakan birokrat untuk selalu menomorsatukan pelayanan publik. Oleh karena itu ruang lingkup good governance yang luas belum mampu menandingi politisasi birokrasi yang notabene lahir dan hidup dari pengaruh penguasa dulu maupun sekarang. Fenomena tarik ulur antara good governance dengan politik birokrasi memang merupakan fakta politik yang cukup lama di Indonesia. Di sisi lain, Indonesia dihadapkan pada tuntutan global untuk menjalankan good governance, tetapi di pihak lain ada pengaruh lokal politik birokrasi yang notabene kontra produktif terhadap kaidah-kaidah good governance tersebut (Sutiono, 2004).
Irsyam (2004) berpendapat (dalam Yusuf, 2010) bahwa politisasi birokrasi adalah penghambat dalam tumbuhnya profesionalisme birokrasi. Ada dua faktor yang telah mengakibatkan birokrasi belum terjamah oleh proses profesionalisme selama setengah abad ini. Pertama, karena di sepanjang sejarah politik Indonesia para penguasa, baik sipil maupun militer, selalu menjadikan birokrasi sebagai sasaran yang empuk bagi politisasi. Minimal melalui politisasi sebuah birokrasi dapat digiring untuk dijadikan basis bagi partai sang menteri di dalam pemilu yang akan datang. Kedua, politisasi birokrasi itu menjadi hambatan bagi tumbuhnya proses profesionalisme di dalam birokrasi, tegasnya sejak tahun 1950 hingga dewasa ini profesionalisme birokrasi belum pernah menjadi titik perhatian dari para politisi yang memimpin birokrasi. Biasanya para politisi beranggapan bahwa profesionalisasi hanya akan merugikan atau membatasi ruang gerak politisasi yang akan dilancarkannya di dalam birokrasi tersebut.
Lebih lanjut Kumorotomo menyatakan bahwa pada tingkat daerah, tantangan yang harus dihadapi adalah merumuskan dengan jelas kewenangan administrasi pemerintahan di antara tiga unsur pokok birokrasi publik di daerah. Ketiga unsur yang dapat disebut sebagai local triumvirate itu adalah Kepala Daerah sebagai unsur eksekutif yang dipilih dengan legitimasi politis, Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai unsur eksekutif yang ditentukan berdasarkan legitimasi profesional, dan DPRD sebagai unsur legislatif. Diperlukan rumusan wilayah otoritas yang lebih jelas antara eksekutif yang ditentukan dengan basis legitimasi politis (Kepala Daerah) dengan eksekutif yang ditentukan dengan legitimasi profesional (Sekda). Betapapun, ketidakjelasan rumusan otoritas ini seringkali mengakibatkan masalah yang tidak kecil bagi keberlangsungan pelayanan umum di daerah.
Pada level mikro dominasi dan intervensi golongan atau kelompok kepentingan tertentu telah membutakan birokrat untuk selalu menomorsatukan pelayanan publik. Oleh karena itu ruang lingkup good governance yang luas belum mampu menandingi politisasi birokrasi yang notabene lahir dan hidup dari pengaruh penguasa dulu maupun sekarang. Fenomena tarik ulur antara good governance dengan politik birokrasi memang merupakan fakta politik yang cukup lama di Indonesia. Di sisi lain, Indonesia dihadapkan pada tuntutan global untuk menjalankan good governance, tetapi di pihak lain ada pengaruh lokal politik birokrasi yang notabene kontra produktif terhadap kaidah-kaidah good governance tersebut (Sutiono, 2004).
Irsyam (2004) berpendapat (dalam Yusuf, 2010) bahwa politisasi birokrasi adalah penghambat dalam tumbuhnya profesionalisme birokrasi. Ada dua faktor yang telah mengakibatkan birokrasi belum terjamah oleh proses profesionalisme selama setengah abad ini. Pertama, karena di sepanjang sejarah politik Indonesia para penguasa, baik sipil maupun militer, selalu menjadikan birokrasi sebagai sasaran yang empuk bagi politisasi. Minimal melalui politisasi sebuah birokrasi dapat digiring untuk dijadikan basis bagi partai sang menteri di dalam pemilu yang akan datang. Kedua, politisasi birokrasi itu menjadi hambatan bagi tumbuhnya proses profesionalisme di dalam birokrasi, tegasnya sejak tahun 1950 hingga dewasa ini profesionalisme birokrasi belum pernah menjadi titik perhatian dari para politisi yang memimpin birokrasi. Biasanya para politisi beranggapan bahwa profesionalisasi hanya akan merugikan atau membatasi ruang gerak politisasi yang akan dilancarkannya di dalam birokrasi tersebut.
Belanja Pegawai
Sabtu, 19 Januari 2013
Berdasarkan data APBD 2010 dikutip dalam Setagu (2011), anggaran untuk belanja pegawai rata-rata di daerah baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota mencapai 54%. Angka ini termasuk tinggi karena berarti menekan alokasi belanja lain yang berkaitan dengan kepentingan khalayak misalnya untuk pembangunan infrastruktur. Data yang ada menunjukkan Pemerintah Daerah berjumlah 524 terdiri dari 33 provinsi dan 491 kabupaten/kota.
Data Jumlah Pemda berdasar Persentase Gaji terhadap APBD
No
|
Persentase Gaji terhadap APBD
|
Jumlah Pemda
|
1
|
0 – 19%
|
7
|
2
|
20% – 29%
|
29
|
3
|
30% – 39%
|
59
|
4
|
40% – 49%
|
89
|
5
|
50% – 59%
|
130
|
6
|
60% – 69%
|
142
|
7
|
70% – 79%
|
66
|
8
|
80%-
|
2
|
|
Total
|
524
|
Sumber: http://setagu.net
Berdasarkan data FITRA (dalam Farhan, 2012), pada tahun 2011 terdapat 124 daerah yang 50% lebih anggarannya dialokasikan untuk belanja pegawai, jumlahnya meningkat menjadi 302 daerah pada APBD 2012, bahkan 16 daerah di antaranya menganggarkan belanja pegawai di atas 70%. Dalam RAPBN 2013, sebagian besar transfer daerah dialokasikan untuk belanja pegawai, dalam bentuk DAU Rp 306,2 triliun (59%), tunjangan profesi guru Rp 43,1 triliun (8%) dan tambahan penghasilan guru Rp 2,4 triliun (1%). Praktis dengan postur anggaran seperti ini, tujuan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah dengan mendekatkan pelayanan publik akan sulit dicapai, meski otonomi daerah telah berjalan lebih dari satu dasawarsa.
Sebagai contoh besarnya belanja pegawai di daerah adalah apa yang terjadi di APBD Kabupaten Ngawi. Belanja Pemda Ngawi pada tahun 2011 berjumlah Rp 1.135 triliun yang terdiri dari belanja langsung (Rp 368 milyar) dan belanja tak langsung (Rp 766 milyar). Pada masing-masing belanja tersebut terdapat belanja pegawai. Belanja-belanja yang lain terdiri dari belanja bunga, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan, belanja tidak terduga, belanja barang dan jasa, dan belanja modal. Belanja pegawai mendapatkan alokasi terbesar yakni total Rp 731 milyar atau 64,38 persen.
Label:
coretan,
kepegawaian,
saat kuliah,
tentang ngawi
Anggaran Negara Tersandera Birokrasi
Rabu, 16 Januari 2013
Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang, yang ditetapkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang diberikan kepada DPRD dan pegawai pemerintah daerah baik yang bertugas di dalam maupun di luar daerah sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Belanja pegawai bersifat mengikat artinya dibutuhkan secara terus-menerus dan harus dialokasikan oleh pemerintah daerah dengan jumlah yang cukup untuk keperluan setiap bulan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Berita di media dengan bersumber penelitian oleh sebuah LSM menyebutkan bahwa ada banyak daerah pada tahun 2011 yang beban belanja pegawainya melebihi 50% dari APBD. 11 di antaranya malah lebih dari 70%. Daerah-dearah tersebut antara lain Ngawi, Kuningan, Bantul, Klaten, dan Karanganyar, yang berada di dalam Jawa, sedangkan enam sisanya berasal dari luar Jawa. Banyak orang mengatakan inilah imbas otonomi daerah. Padahal otonomi daerah yang merupakan anak kandung reformasi diyakini membawa kesejahteraan untuk masyarakat. Persentase yang begitu besar untuk belanja pegawai mengakibatkan alokasi belanja untuk masyarakat menjadi kecil.
Sepertinya pemerintah belum menjadikan kebijakan anggaran sebagai instrumen pemenuhan amanat konstituante. Anggaran pendapatan dan belanja seharusnya menjadi instrumen pemerintah yang secara operasional ditujukan sebagai tugas negara untuk melindungi segenab bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kesejahteraan bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Besarnya belanja pegawai, bahkan melebihi separuh dari alokasi total, menjadikan belanja-belanja untuk kepentingan masyarakat luas semakin berkurang. Padahal hakekatnya negara harus melindungi kepentingan rakyatnya dengan memberikan sebesar-besarnya kemakmuran. Birokrasi, sebagai pelaksana berbagai program pemerintah, dalam kenyataannya malah mendapatkan proporsi amat besar.
Berita di media dengan bersumber penelitian oleh sebuah LSM menyebutkan bahwa ada banyak daerah pada tahun 2011 yang beban belanja pegawainya melebihi 50% dari APBD. 11 di antaranya malah lebih dari 70%. Daerah-dearah tersebut antara lain Ngawi, Kuningan, Bantul, Klaten, dan Karanganyar, yang berada di dalam Jawa, sedangkan enam sisanya berasal dari luar Jawa. Banyak orang mengatakan inilah imbas otonomi daerah. Padahal otonomi daerah yang merupakan anak kandung reformasi diyakini membawa kesejahteraan untuk masyarakat. Persentase yang begitu besar untuk belanja pegawai mengakibatkan alokasi belanja untuk masyarakat menjadi kecil.
Sepertinya pemerintah belum menjadikan kebijakan anggaran sebagai instrumen pemenuhan amanat konstituante. Anggaran pendapatan dan belanja seharusnya menjadi instrumen pemerintah yang secara operasional ditujukan sebagai tugas negara untuk melindungi segenab bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kesejahteraan bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Besarnya belanja pegawai, bahkan melebihi separuh dari alokasi total, menjadikan belanja-belanja untuk kepentingan masyarakat luas semakin berkurang. Padahal hakekatnya negara harus melindungi kepentingan rakyatnya dengan memberikan sebesar-besarnya kemakmuran. Birokrasi, sebagai pelaksana berbagai program pemerintah, dalam kenyataannya malah mendapatkan proporsi amat besar.
Netralitas Birokrasi
Minggu, 13 Januari 2013
Menurut Prasojo (2006), akar permasalahan buruknya kepegawaian negara di Indonesia pada prinsipnya terdiri dari dua hal penting yakni persoalan internal sistem kepegawaian negara itu sendiri yang terdiri dari rekrutmen, penggajian dan reward, pengukuran kinerja, promosi jabatan, dan pengawasan. Selain persoalan internal, permasalahan lahir dari persoalan eksternal yang mempengaruhi fungsi dan profesionalisme kepegawaian negara.
Menurut Asmerom dan Reis (1996, dalam Zuhro, 2006) birokrasi yang tidak terpolitisasi akan menjamin stabilitas pemerintahan ke depan. Dua pakar ini juga mengatakan bahwa netralitas dari public service adalah komplementer terhadap merit system, di mana sistem rekrutmen dan promosi dalam berbagai posisi di public service ditentukan oleh merit, yaitu berdasarkan pada mekanisme legal rasional dan bukannya berdasarkan pada afiliasi politik atau patronase. Merit system ini memberikan keuntungan berupa terciptanya sistem yang langgeng, berkesinambungan, stabil, dan imparsialitas, dan membangun profesionalisme. Karakteristik birokrasi seperti ini menekankan bahwa idealnya birokrasi tidak berpolitik, terbebas dari konflik dan hanya fokus pada administrasi dan rasionalitas.
Lebih lanjut Zuhro (2006) mengatakan hal ini tentunya relevan dengan birokrasi Indonesia di era transisi yang sedang berupaya untuk mendepolitisasikan institusinya. Adapun gerakan netralitas birokrasi menuntut tiga hal penting, yaitu mengakhiri politisasi birokrasi yang sangat marak di era Orde Baru, PNS netral dalam pemilu, dan Korpri tidak boleh mendukung salah satu partai politik. Tiga tuntutan ini mengindikasikan dengan jelas bahwa gerakan netralitas secara tegas menuntut birokrasi agar netral dalam politik, yaitu tidak aktif dan terlibat mendukung partai tertentu sementara mereka masih menjadi PNS.
Kalau dilihat dari pengalaman sejarah, birokrasi Indonesia selalu dipengaruhi oleh politik. Berikut ini catatan tentang tingkat netralitas birokrasi pemerintahan (dalam Widhyharto, 2004). Pertama, tahun 1945-1950, dapat dikatakan birokrasi pemerintahan kita masih netral. Mungkin, karena masih dijiwai semangat kemerdekaan dan semangat persatuan. Kedua, tahun 1950-1959, ditandai dengan politisasi birokrasi. Partai-partai politik berlomba-lomba untuk menguasai kementerian. Rekrutmen PNS dan penentuan jabatan tidak obyektif. Kelompok-kelompok birokrasi berafiliasi dengan partai-partai politik. Ketiga, tahun 1960-1965, partai-partai politik dari aliran-aliran politik Nasakom bersaing untuk menguasai birokrasi pemerintahan. Keempat, masa Orde Baru hingga tahun 1998, birokrasi pemerintah menjadi kendaraan politik Golkar. Kemenangan Golkar dalam enam kali pemilu terutama berkat peranan birokrasi. Kelima, Era Reformasi, politisasi birokrasi pemerintahan saat ini cenderung menghasilkan oligarki, yaitu kekuasaan berada di tangan sejumlah kecil orang pada puncak partai-partai politik yang berkuasa.
Menurut Asmerom dan Reis (1996, dalam Zuhro, 2006) birokrasi yang tidak terpolitisasi akan menjamin stabilitas pemerintahan ke depan. Dua pakar ini juga mengatakan bahwa netralitas dari public service adalah komplementer terhadap merit system, di mana sistem rekrutmen dan promosi dalam berbagai posisi di public service ditentukan oleh merit, yaitu berdasarkan pada mekanisme legal rasional dan bukannya berdasarkan pada afiliasi politik atau patronase. Merit system ini memberikan keuntungan berupa terciptanya sistem yang langgeng, berkesinambungan, stabil, dan imparsialitas, dan membangun profesionalisme. Karakteristik birokrasi seperti ini menekankan bahwa idealnya birokrasi tidak berpolitik, terbebas dari konflik dan hanya fokus pada administrasi dan rasionalitas.
Lebih lanjut Zuhro (2006) mengatakan hal ini tentunya relevan dengan birokrasi Indonesia di era transisi yang sedang berupaya untuk mendepolitisasikan institusinya. Adapun gerakan netralitas birokrasi menuntut tiga hal penting, yaitu mengakhiri politisasi birokrasi yang sangat marak di era Orde Baru, PNS netral dalam pemilu, dan Korpri tidak boleh mendukung salah satu partai politik. Tiga tuntutan ini mengindikasikan dengan jelas bahwa gerakan netralitas secara tegas menuntut birokrasi agar netral dalam politik, yaitu tidak aktif dan terlibat mendukung partai tertentu sementara mereka masih menjadi PNS.
Kalau dilihat dari pengalaman sejarah, birokrasi Indonesia selalu dipengaruhi oleh politik. Berikut ini catatan tentang tingkat netralitas birokrasi pemerintahan (dalam Widhyharto, 2004). Pertama, tahun 1945-1950, dapat dikatakan birokrasi pemerintahan kita masih netral. Mungkin, karena masih dijiwai semangat kemerdekaan dan semangat persatuan. Kedua, tahun 1950-1959, ditandai dengan politisasi birokrasi. Partai-partai politik berlomba-lomba untuk menguasai kementerian. Rekrutmen PNS dan penentuan jabatan tidak obyektif. Kelompok-kelompok birokrasi berafiliasi dengan partai-partai politik. Ketiga, tahun 1960-1965, partai-partai politik dari aliran-aliran politik Nasakom bersaing untuk menguasai birokrasi pemerintahan. Keempat, masa Orde Baru hingga tahun 1998, birokrasi pemerintah menjadi kendaraan politik Golkar. Kemenangan Golkar dalam enam kali pemilu terutama berkat peranan birokrasi. Kelima, Era Reformasi, politisasi birokrasi pemerintahan saat ini cenderung menghasilkan oligarki, yaitu kekuasaan berada di tangan sejumlah kecil orang pada puncak partai-partai politik yang berkuasa.
Label:
coretan,
oase,
pustaka,
saat kuliah,
tentang jogja
Relasi Politik dan Birokrasi
Kamis, 10 Januari 2013
Demokrasi diartikan sebagai kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Rakyat menitipkan aspirasi dan harapannya kepada pemimpin politik yang dipilih melalui mekanisme pemilu. Karena terpilih maka pemimpin ini mendapatkan legitimasi. Pemimpin yang terpilih itulah yang menyerap keinginan rakyat dan kemudian merumuskan dalam bentuk kebijakan publik. Dalam tataran formal pemerintahan pemimpin terpilih tersebut bisa diartikan sebagai pejabat politik, misalnya anggota dewan (DPR/DPRD), presiden untuk lingkup nasional, sedangkan lingkup daerah dikenal dengan Kepala Daerah (Gubernur/Walikota/Bupati).
Untuk menjalankan program-programnya, pejabat politik membutuhkan sumber daya berupa birokrasi. Sekuat dan sepintar apapun pejabat politik tak mungkin menafikkan keberadaan birokrasi. Birokrasi merupakan mesin pelaksana kebijakan pemerintah sebagai perwujudan aspirasi rakyat yang terlanjur menitipkan amanatnya kepada pejabat politik. Jika disederhanakan, birokrasi merupakan kelanjutan setelah proses politik berakhir. Maka terdapatlah sebuah istilah, when politic end, administration begin. Administrasi dalam hal ini merujuk pada pekerjaan birokrasi.
Era otonomi daerah ditandai pasang surut hubungan antara politik dan birokrasi. Hal ini merupakan ekses dari sistem pemilihan pejabat politik secara langsung. Politisi membutuhkan segala upaya untuk memperebutkan jabatan, sedangkan yang sedang berkuasa berusaha untuk mempertahankan jabatan/kekuasaan. Birokrasi akhirnya menjadi salah satu ladang garap yang cukup potensial bagi politisi untuk memenangkan pertarungan. Pertama, karena secara kuantitas jumlahnya cukup banyak. Kedua, merekalah yang melaksanakan segenab program pemerintah beserta anggarannya.
Kasus yang umum terjadi adalah birokrasi menjadi alat bagi Kepala Daerah untuk mempertahankan kekuasaannya. Terjadilah mobilisasi, baik secara fisik maupun berupa dukungan dana (yang banyak menggunakan anggaran daerah), untuk memenangkan Kepala Daerah dalam pemilihan. Birokrat sendiri dalam posisi dilema, antara mendukung atau menolak yang masing-masing memiliki dampak besar. Mendukung secara terang-terangan berarti birokrasi telah melakukan politik praktis dan ini merupakan pelanggaran serius terhadap regulasi. Namun sebagai bawahan, melawan instruksi Kepala Daerah berakibat pada kemandegan karir.
Langganan:
Postingan (Atom)