Menurut Prasojo (2006), akar permasalahan buruknya kepegawaian negara di Indonesia pada prinsipnya terdiri dari dua hal penting yakni persoalan internal sistem kepegawaian negara itu sendiri yang terdiri dari rekrutmen, penggajian dan reward, pengukuran kinerja, promosi jabatan, dan pengawasan. Selain persoalan internal, permasalahan lahir dari persoalan eksternal yang mempengaruhi fungsi dan profesionalisme kepegawaian negara.
Menurut Asmerom dan Reis (1996, dalam Zuhro, 2006) birokrasi yang tidak terpolitisasi akan menjamin stabilitas pemerintahan ke depan. Dua pakar ini juga mengatakan bahwa netralitas dari public service adalah komplementer terhadap merit system, di mana sistem rekrutmen dan promosi dalam berbagai posisi di public service ditentukan oleh merit, yaitu berdasarkan pada mekanisme legal rasional dan bukannya berdasarkan pada afiliasi politik atau patronase. Merit system ini memberikan keuntungan berupa terciptanya sistem yang langgeng, berkesinambungan, stabil, dan imparsialitas, dan membangun profesionalisme. Karakteristik birokrasi seperti ini menekankan bahwa idealnya birokrasi tidak berpolitik, terbebas dari konflik dan hanya fokus pada administrasi dan rasionalitas.
Lebih lanjut Zuhro (2006) mengatakan hal ini tentunya relevan dengan birokrasi Indonesia di era transisi yang sedang berupaya untuk mendepolitisasikan institusinya. Adapun gerakan netralitas birokrasi menuntut tiga hal penting, yaitu mengakhiri politisasi birokrasi yang sangat marak di era Orde Baru, PNS netral dalam pemilu, dan Korpri tidak boleh mendukung salah satu partai politik. Tiga tuntutan ini mengindikasikan dengan jelas bahwa gerakan netralitas secara tegas menuntut birokrasi agar netral dalam politik, yaitu tidak aktif dan terlibat mendukung partai tertentu sementara mereka masih menjadi PNS.
Kalau dilihat dari pengalaman sejarah, birokrasi Indonesia selalu dipengaruhi oleh politik. Berikut ini catatan tentang tingkat netralitas birokrasi pemerintahan (dalam Widhyharto, 2004). Pertama, tahun 1945-1950, dapat dikatakan birokrasi pemerintahan kita masih netral. Mungkin, karena masih dijiwai semangat kemerdekaan dan semangat persatuan. Kedua, tahun 1950-1959, ditandai dengan politisasi birokrasi. Partai-partai politik berlomba-lomba untuk menguasai kementerian. Rekrutmen PNS dan penentuan jabatan tidak obyektif. Kelompok-kelompok birokrasi berafiliasi dengan partai-partai politik. Ketiga, tahun 1960-1965, partai-partai politik dari aliran-aliran politik Nasakom bersaing untuk menguasai birokrasi pemerintahan. Keempat, masa Orde Baru hingga tahun 1998, birokrasi pemerintah menjadi kendaraan politik Golkar. Kemenangan Golkar dalam enam kali pemilu terutama berkat peranan birokrasi. Kelima, Era Reformasi, politisasi birokrasi pemerintahan saat ini cenderung menghasilkan oligarki, yaitu kekuasaan berada di tangan sejumlah kecil orang pada puncak partai-partai politik yang berkuasa.
Untuk mencegah fragmentasi politik dalam tubuh PNS sebenarnya UU telah menegaskan netralitas PNS. UU 43/1999 sebagai penyempurnaan UU 8/1974 melarang PNS menjadi pemimpin dan anggota aktif partai politik. Pencemaran birokrasi publik (spoils) melalui pengangkatan pejabat karir atas dasar afiliasi politik dicegah dengan mengadakan pemilihan yang tegas antara jabatan pengangkatan politik (political appointments) dan jabatan karir (Effendi, 2012).
Netralitas Birokrasi
Minggu, 13 Januari 2013
Label:
coretan,
oase,
pustaka,
saat kuliah,
tentang jogja
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
bagaiaman caranya bila seseorang ingin tetap netral meskipun di lingkungannya ada semacam tekanan halus yang tidak terlihat tapi bisa mengancam kelangsungan pekerjaannya ya mas...apakah reformasi birokrasi hanyalah sebatas jargon semata untuk menciptakan image baik di masyarakat
itulah dilemanya para punggawa birokrasi.
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya