Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang, yang ditetapkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang diberikan kepada DPRD dan pegawai pemerintah daerah baik yang bertugas di dalam maupun di luar daerah sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Belanja pegawai bersifat mengikat artinya dibutuhkan secara terus-menerus dan harus dialokasikan oleh pemerintah daerah dengan jumlah yang cukup untuk keperluan setiap bulan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Berita di media dengan bersumber penelitian oleh sebuah LSM menyebutkan bahwa ada banyak daerah pada tahun 2011 yang beban belanja pegawainya melebihi 50% dari APBD. 11 di antaranya malah lebih dari 70%. Daerah-dearah tersebut antara lain Ngawi, Kuningan, Bantul, Klaten, dan Karanganyar, yang berada di dalam Jawa, sedangkan enam sisanya berasal dari luar Jawa. Banyak orang mengatakan inilah imbas otonomi daerah. Padahal otonomi daerah yang merupakan anak kandung reformasi diyakini membawa kesejahteraan untuk masyarakat. Persentase yang begitu besar untuk belanja pegawai mengakibatkan alokasi belanja untuk masyarakat menjadi kecil.
Sepertinya pemerintah belum menjadikan kebijakan anggaran sebagai instrumen pemenuhan amanat konstituante. Anggaran pendapatan dan belanja seharusnya menjadi instrumen pemerintah yang secara operasional ditujukan sebagai tugas negara untuk melindungi segenab bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kesejahteraan bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Besarnya belanja pegawai, bahkan melebihi separuh dari alokasi total, menjadikan belanja-belanja untuk kepentingan masyarakat luas semakin berkurang. Padahal hakekatnya negara harus melindungi kepentingan rakyatnya dengan memberikan sebesar-besarnya kemakmuran. Birokrasi, sebagai pelaksana berbagai program pemerintah, dalam kenyataannya malah mendapatkan proporsi amat besar.
Pada tanggal 16 Agustus 2012 Presiden Republik Indonesia menyampaikan Nota Keuangan RAPBN 2013 kepada DPR RI. Salah satu poin dalam NK RAPBN 2013 adalah belanja negara direncanakan sebesar Rp 1.657,9 triliun, terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp 1.139 triliun (68,7 persen) dan transfer ke daerah Rp 518,9 triliun (31,2 persen). Menurut kajian Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan (2012) pertumbuhan anggaran lebih banyak dinikmati oleh birokrasi. Belanja pemerintah pusat pada RAPBN 2013 tumbuh sebesar 6 persen, sementara belanja pegawai tumbuh dua kali lipat yaitu 14 persen atau Rp 28 triliun. Selama 2007-2013 rata-rata belanja pusat tumbuh 15 persen, sementara belanja pegawai tumbuh sebesar 19 persen atau Rp 23 triliun setiap tahunnya.
Salah satu penyebab membengkaknya belanja pegawai adalah tidak konsistennya seluruh lembaga dalam mendorong agenda reformasi birokrasi. Pembentukan lembaga-lembaga non struktural akibat tidak berfungsinya kerja-kerja Kementerian/Lembaga yang ada. Ironisnya, pembentukan lembaga-lembaga ini tidak pernah dievaluasi efektifitasnya, bahkan cenderung menambah beban anggaran negara. Misalnya pada APBN 2011 dengan menghabiskan porsi anggaran sebesar Rp 8,3 triliun dan belanja pegawai Rp 100 miliar.
Selain itu, penyebab yang lain adalah ternyata alokasi belanja pegawai pada kementerian dan lembaga (pusat) masih cukup besar. Hal ini sebenarnya mengherankan karena semestinya di era otonomi daerah titik berat pelayanan birokrasi berada di pemerintah daerah. UU otonomi daerah pun telah menggariskan seluruh urusan pemerintah kecuali 5 bidang (keuangan dan moneter, agama, peradilan, luar negeri, keamanan dan ketertiban) telah didesentralisasikan menjadi urusan daerah. Kementerian (pusat) lebih bersifaf regulasi, koordinasi, dan supervisi. Pada kenyataannya belanja pegawai pada kementerian masih menghabiskan anggaran yang cukup besar.
Beberapa alasan lain menurut LSM Fitra (2011) adalah karena adanya pemberian remunerasi, kenaikan gaji pegawai, pemberian gaji ke-13, pemberian uang makan, kebijakan pegawai tanpa mempertimbangkan anggaran, politisasi birokrasi, dan pemekaran daerah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
memang birokrasi di negeri kita masih sangat berbelit...
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya