Hari ini suasana ramai di kantor. Dengan wajah ceria membawa setumpuk berkas sejak pagi orang-orang berpakaian putih hitam mendatangi BKD Ngawi. Ada apakah? Demokah? Ternyata mereka orang-orang yang lulus tes CPNS. Hari ini ada satu tahapan untuk mengangkat mereka menjadi CPNS, yakni pemberkasan. Separuh jalan untuk menjadi aparat pemerintah telah terlewati. Namun demikian belum tentu akan mulus-mulus saja. Beberapa pengalaman ternyata menunjukkan (pada tahun-tahun sebelumnya) ada peserta pemberkasan yang dinyatakan gugur (tidak memenuhi persyaratan) untuk diangkat menjadi CPNS. Namun biasanya mayoritas berhasil.
Keceriaan seperti ini pernah saya alami tepat 6 tahun yang lalu. Pasca pengumuman dan mengetahui peserta yang lulus tes, kami dikumpulkan di Pendopo Wedya Graha. Tak tanggung-tanggung waktu itu bupati (Pak Harsono) sendiri yang menemui kami. Ada kegembiraan tersendiri tatkala orang nomor satu di Ngawi itu menemui kami yang mayoritas belum merasakan duduk di birokrasi. Saya masih ingat saat itu hanya selang beberapa hari dari bencana tsunami di Aceh. Tak pelak Pak Bupati pun menyarankan kami untuk ikut menyumbang bantuan bagi korban tsunami.
Apa yang dirasakan selain gembira. Biasanya bangga. Bangga menjadi abdi negara. Bangga bisa menyingkirkan pesaing yang jumlahnya ratusan. Bangga karena menjadi PNS tidak mengeluarkan sepeser pun uang untuk menyogok. Adakah rasa bangga itu juga menjalar di segenab penjuru dada para peserta itu hari ini? Entahlah. Tak pelak sorotan masyarakat masih tajam laksana sinar laser suporter Malaysia terhadap pemain Timnas Indonesia (hehehe...). Nyogok tidak nyogok yang tahu sampeyan sendiri, yang menanggung ya sampeyan sendiri.
Selain bangga apa lagi? Setelah itu yang saya rasakan adalah seperti rasa permen nano-nano. Ada asam manis asin Apa pasalnya? Apa karena gaji sebagai CPNS tidak 100%? Ada perasaan aneh ketika menerima SK penempatan, bahwa saya ditugaskan di Satuan Polisi Pamong Praja. Tapi bagi saya itulah konsekuensi dari pernyataan sanggup ditempatkan di seluruh wilayah RI. Tidak masalah apalagi ini masih di Ngawi saja.
Cuma ada sedikit asa yang hilang. Saya tidak pernah membayangkan ditempatkan di institusi yang kesan saya masih berbau militeristik. Saya tidak pernah bercita-cita menjadi polisi, apalagi polisi pamong praja. Tapi itulah kehidupan. Saya harus membenturkan antara idealita dengan realita. Gambaran saya sebelumnya saya akan ditugaskan di Bagian Hukum sesuai dengan ijazah saya Sarjana Hukum.
Bersama Mas Samsul yang Sarjana Sosial lulusan Unibraw saya jalani keseharian di Satpol PP. Sungguh berat bertugas di sini. Dengan personel yang sangat banyak, kami (terutama saya pribadi) tidak banyak mendapatkan pekerjaan. Istilahnya kami pengangguran yang digaji tiap bulan. Luntang-lantung. Habis apel pagi masuk kantor sebagian besar personel masuk warung ngobrol ngalor ngidul. Sebagian yang lain pulang. Sebagian yang lain mengurusi pekerjaan sambilannya (atau mungkin malah terbalik ya? Sambilannya itu ya di Satpol ini).
Masih beruntung Mas Samsul, karena ia punya keahlian komputer tenaganya kadang-kadang masih dipakai untuk memperbaiki printer misalnya. Namun demikian kami jalani saja tugas ”berat” ini. Saya siasati mengisi waktu dengan membawa buku-buku sebagai bahan bacaan. Namun masalahnya saya tidak mendapatkan meja. Ya terpaksa saya baca-baca di masjid yang kebetulan letaknya di sebelah kantor sambil lesehan. Malah akhirnya saya jadikan ini peluang bagi saya, saya adakan acara-acara keagamaan di masjid. Ada mading, ada kajian rutin mingguan, dan lain-lain. Saya juga sempat mengajari komputer pada beberapa rekan, meminjamkan buku-buku, juga menjadi teman curhat sebagian mereka.
Saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Saya sedang tidak merutuki nasib saya. Buat saya ini adalah pengalaman yang pasti ada hikmahnya. Barangkali saya masih beruntung dibandingkan dengan teman-teman satu angkatan. Di sini kami membenturkan istilah "The Right Man on The Right Job" dengan realitas. Ada teman yang lulusan ITS, Sarjana Teknik Elektro yang tugasnya ngurusi lampu-lampu pendopo (sori Gung saya catut). Ada yang lulusan universitas ternama di Malang yang tugasnya menjadi tukang foto (sori Kang Muhtar). Ada teman yang lulusan Teknik Industri UNS saking kurangnya pekerjaan sampai tiap hari main bilyar di kantor (sori Dix'N). Ika yang lulusan Fisipol Unej, saat saya tanya apa tugasnya di kantor ia jawab bikin kliping koran.
Kami sebenarnya tidak ingin macam-macam. Kami hanya merasa eman dengan pemerintah, kami digaji namun ditugaskan tidak sesuai dengan disiplin ilmu kami. Kami tidak pernah membayangkan seperti inilah menjadi PNS. Tapi kami masih beruntung diterima sebagai PNS. Akhirnya tepat pada hari ulang tahun saya, 8 bulan berselang saya dimutasi ke BKD.
Saya tidak sedang menggurui wong saya bukan guru (paling Guru TPA di masjid kompleks hehehe...). Sekedar berbagi cerita saja. Sekaligus sebagai pengingat kenangan masa lalu. Selamat datang peserta pemberkasan, kalian darah baru yang akan berkarya untuk nusa. Mudah-mudahan kita menjadi ruh baru dalam tubuh umat ini. Arruhul jadid fi jasadil ummat. Sori minjam istilah di salah satu nasyid. Semoga.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
so sweet..tp itu lah yg terjadi. sama dg dilemma di kantor ku, halah..setengah thn pertama kerjaan ku bawa buku dari rumah ke kantor dan akhirnya jadi bahan pinjeman pak kabid, yg bikin melongo bacaan ku syeh siti jenar huehehe. "luntang lantung"?? ya gt deh..dg seragam yg cantik, berangkat pagi pulang siang :P pernah nanya ke pak kabid, "pak, job-desk saya apa?" jawab na " desk itu bahasa inggrisnya meja ya dik? maksud na tugas bersih2 meja gt? ga usah repot2 dik... " yo wislah akhirnya cuma bisa nungguin saat kang wuri ngendangi nurul time hehehe..namun apapun namanya semoga ini menjadi barokah
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya