Pengunjung sidang Pengadilan Tipikor Surabaya, Jawa Timur menggeleng-gelengkan kepala saat mendengarkan cerita miris Abdul Manaf. Seperti dimuat dalam Jawa Pos, 7 Februari 2017, persidangan tersebut dihelat untuk mengungkap kasus penyuapan antara Manaf dan Ahmad Fauzi. Manaf menolak disebut sebagai penyuap, karena ia merasa sebagai korban dari Fauzi. Ia memberikan uang sejumlah Rp 1,5 miliar karena diperas. Malah awalnya Fauzi meminta Rp 2 miliar. Fauzi merupakan seorang jaksa yang bertugas di Kejati Jatim.
Cerita bermula saat Manaf menjadi saksi dalam kasus penjualan tanah kas desa Kalimook, Kalianget, Sumenep, di Kejati Jatim. Tersangkanya adalah Kades Kalimook Murhaimin dan Pejabat BPN Wahyu Sudjoko. Dalam pemeriksaan sebagai saksi, Jaksa Fauzi menanyakan adanya transfer Rp 100 juta kepada Wahyu Sudjoko. Manaf membenarkan adanya transfer itu dan menjelaskan bahwa uang tersebut digunakan untuk biaya pengurusan sertifikat tanah yang dibelinya.
Jaksa Fauzi meminta bukti transfer itu dibawa ke Kejati Jatim. Manaf pun menuruti keinginan Jaksa Fauzi dengan harapan permasalahan klir. Tetapi, harapannya tidak menjadi kenyataan. Yang terjadi justru sebaliknya. Ketika memberikan bukti itu kepada Jaksa Fauzi, Manaf malah dituduh telah membantu kejahatan Kades Kalimook Murhaimin. Manaf diancam dan ditakut-takuti akan dijadikan tersangka pula.
Manaf memberikan penjelasan sembari menunjukkan bukti kuitansi resmi yang berstempel Kantor BPN Sumenep. Dalam selembar kertas itu, tertulis bahwa duit tersebut memang digunakan untuk memproses sertifikat. Namun, bukti itu tetap diabaikan dan Jaksa Fauzi menyatakan bahwa jaksa penyidiklah yang paling benar. Manaf tidak menyangka bukti yang diberikan malah digunakan untuk menakut-nakuti, mengintimidasi, dan memeras dirinya. “Saya sangat takut enggak karu-karuan. Stres, nangis. Istri saya juga ikut menangis dan stres. Saya tidak bisa tidur beberapa hari karena takut masuk penjara,” terangnya.
Pelajar Lalu, Pelajar Kini
Kamis, 02 Februari 2017
Usianya sudah senja. Rambut memutih di sekujur kepala. Tertatih-tatih bila melangkah. Namun semangat baja tak pernah padam jikalau lidah bercerita. Ingatan tentang masa lalu, saat muda usia, tak lekang oleh jaman. Wasono, lebih dari pantas jika disebut eyang. Cerita heroiknya bisa kita saksikan di media youtube, juga dibaca di blog. Kisah yang tak tercatat dalam buku sejarah. Saat ibu pertiwi berusaha mempertahankan kemerdekaan dari agresi penjajah, segenab rakyat di mana-mana turut berkorban, ia salah satunya. Wasono muda saat itu baru berusia 15 tahun. Jika sekarang mungkin sepantaran dengan remaja yang baru duduk di bangku SMP kelas 3. Merasa terpanggil, ia bergabung dengan Tentara Pelajar. Ditinggalkannya bangku sekolah, memanggul senjata, bertaruh nyawa.
Meskipun bukan pasukan reguler atau profesional, Tentara Pelajar menyusun organisasinya dengan rapi. Ada komandan. Ada pangkat militer. Ada wilayah operasi. Jika tidak sedang berperang, mereka kembali menekuni pelajaran. Wasono, bergabung dalam Seksi 2 Kompi 3 di bawah pimpinan Jungkung Murdiyo. Nama terakhir ini berpangkat Letnan. Setelah penyerbuan tentara Belanda ke kota Solo, Wasono dan kawan-kawan menyingkir ke luar kota. Perjuangannya mewujud dalam perang gerilya.
Salah satu petualangan Jungkung Murdiyo, Wasono, dan kawan-kawannya adalah penyerbuan pos Belanda di dekat jembatan Kali Cungkring untuk merebut senjata. Dengan menyamar sebagai petani dan menaiki andong (kendaraan tradisional yang ditarik dengan kuda) mereka berhasil menuntaskan misi. Satu regu jaga tentara Belanda berhasil dilumpuhkan kecuali seorang yang berhasil lolos dari maut, sinyo yang juga sama-sama belia. Konon kabarnya sinyo yang berhasil kabur tersebut akhirnya terkena gangguan jiwa berat. Ia pun dipulangkan ke negeri asalnya, Belanda.
Julius Pour dalam buku “Doorstoot Naar Djokja”, sedikit menceritakan petualangan lain dari pasukan Jungkung Murdiyo. Saat membuat kubu pertahanan kota Solo dari serbuan tentara Belanda, ternyata pasukan Murdiyo salah kira. Jalan masuk ke kota terdiri dari 2 jalan besar, baru dan lama. Anggapan anak-anak muda itu musuh menyerang melalui jalan baru saja. Justru kedua jalan menjadi pilihan pintu masuk tentara Belanda. Alhasil pasukan Murdiyo dihajar habis-habisan dari dua sisi. Apalagi dari udara, pesawat memuntahkan peluru mencari sasaran. Tentara pelajar pun memilih mundur.
Meskipun bukan pasukan reguler atau profesional, Tentara Pelajar menyusun organisasinya dengan rapi. Ada komandan. Ada pangkat militer. Ada wilayah operasi. Jika tidak sedang berperang, mereka kembali menekuni pelajaran. Wasono, bergabung dalam Seksi 2 Kompi 3 di bawah pimpinan Jungkung Murdiyo. Nama terakhir ini berpangkat Letnan. Setelah penyerbuan tentara Belanda ke kota Solo, Wasono dan kawan-kawan menyingkir ke luar kota. Perjuangannya mewujud dalam perang gerilya.
Salah satu petualangan Jungkung Murdiyo, Wasono, dan kawan-kawannya adalah penyerbuan pos Belanda di dekat jembatan Kali Cungkring untuk merebut senjata. Dengan menyamar sebagai petani dan menaiki andong (kendaraan tradisional yang ditarik dengan kuda) mereka berhasil menuntaskan misi. Satu regu jaga tentara Belanda berhasil dilumpuhkan kecuali seorang yang berhasil lolos dari maut, sinyo yang juga sama-sama belia. Konon kabarnya sinyo yang berhasil kabur tersebut akhirnya terkena gangguan jiwa berat. Ia pun dipulangkan ke negeri asalnya, Belanda.
Julius Pour dalam buku “Doorstoot Naar Djokja”, sedikit menceritakan petualangan lain dari pasukan Jungkung Murdiyo. Saat membuat kubu pertahanan kota Solo dari serbuan tentara Belanda, ternyata pasukan Murdiyo salah kira. Jalan masuk ke kota terdiri dari 2 jalan besar, baru dan lama. Anggapan anak-anak muda itu musuh menyerang melalui jalan baru saja. Justru kedua jalan menjadi pilihan pintu masuk tentara Belanda. Alhasil pasukan Murdiyo dihajar habis-habisan dari dua sisi. Apalagi dari udara, pesawat memuntahkan peluru mencari sasaran. Tentara pelajar pun memilih mundur.
Langganan:
Postingan (Atom)