Orang
bilang pelacuran telah terjadi sepanjang sejarah manusia. Pelacuran
muncul sebagai akibat kebutuhan manusia yang bersifat biologis.
Sebenarnya agama telah menyediakan pranata berupa perkawinan. Antara
laki-laki dan perempuan yang terikat dalam suatu perkawinan mendapatkan
kesempatan menikmati hubungan biologis secara sah. Namanya juga manusia,
perintah agama pun diabaikan. Sebagaimana kebutuhan akan makan dan
minum, dalam hal ini ada pula manusia yang melanggar. Kebutuhan makan
dan minum dilanggar dengan mencuri. Agar hasil lebih besar lagi dengan
merampok. Kebutuan biologis dipenuhi dengan mendatangi pelacur. Maka,
pencurian, perampokan, dan pelacuran pun menjadi bagian kriminal.
Pelacur
menurut kamus Bahasa Indonesia artinya perempuan yang melacur. Melacur
sendiri berarti menjual dirinya dengan imbalan uang. Dengan uang itu
seorang perempuan bersedia melakukan hubungan biologis dengan orang
lain. Bukan karena cinta, bukan pula karena ikatan perkawinan, tetapi
lebih karena hubungan dagang. Istilah lain pelacur adalah sundal. Dulu
malah ada istilah yang lebih kasar yakni lonte. Namun seiring
berkembangnya jaman istilah pelacur berubah menjadi wanita tuna susila
(WTS). Tapi, tetap saja mengacu pada perempuan.
Tuna
artinya luka, kurang, rusak, atau tidak memiliki. Tuna secara umum
biasanya berkaitan dengan kurang atau tidak sempurnanya fungsi bagian
tubuh serta mental. Tuna netra berarti buta alias terganggu
penglihatannya. Tuna daksa berarti cacat tubuh alias terganggu alat
geraknya. Tuna grahita berarti keterbelakangan mental alias terganggu
intelegensinya. Tuna rungu berarti tuli alias terganggu pendengarannya.
Tuna wicara berarti bisu alias terganggu lisannya. Ada sekolah khusus
bagi orang-orang (anak-anak) ini yakni Sekolah Luar Biasa. Untuk
pendidikan negara memberikan kesempatan. Banyak pula di antara mereka
yang berhasil dengan berwiraswasta.
Lalu
bagaimana dengan tuna susila? Berbeda dengan tuna yang lain, negara
dengan aparatnya seringkali memburunya untuk ditangkap. Mereka bukan
terganggu, malah dianggap mengganggu ketertiban umum. Tuna susila
berarti tidak punya susila, kesopanan. Dengan demikian wanita tuna
susila mengandung arti wanita yang tidak memiliki kesopanan. Hal ini
berkaitan dengan pekerjaannya yakni menjual tubuh yang menurut agama dan
hukum dilarang. Entahlah apakah SLB juga menampung penyandang ini atau
tidak. Saya rasa tidak. Wanita tuna susila biasanya dikumpulkan dalam
area tertentu yang dinamakan lokalisasi. Ada pajak yang disetor ke
negara. Di sinilah negara menemukan anomalinya. Menerima upeti dari
perkara yang dilarangnya.
Media Pendidikan Politik Rakyat
Kamis, 26 Februari 2015
Seorang
Ramadhan Pohan pernah mencatat rekor di MURI sebagai anggota dewan yang
pertama kali mengelola website sebagai ruang komunikasi dan informasi
dengan konstituen. Wakil rakyat dari Partai Demokrat ini dulu memang
berprofesi sebagai wartawan, jadi urusan jurnalistik sudah tidak begitu
asing lagi. Pak AM Fatwa, saat menjadi anggota DPR dari PAN juga pernah
menorehkan prestasi, yakni penulis buku terbanyak selama berkiprah di
Senayan.
Anggota dewan seperti Pak Ramadan dan Pak Fatwa pasti juga punya kebiasaan banyak bicara. Ini sebagai konsekuensi menjadi wakil rakyat. Wakil rakyat kan penyambung lidah rakyat, apa jadinya jika diam membisu. Maka, seharusnya wakil rakyat juga menuangkan apa yang mereka suarakan dalam bentuk tulisan. Mereka harus menulis. Dengan tulisan ide-ide yang dikeluarkan akan lebih abadi. Jangkauannya pun meluas. Paling tidak bila dibandingkan dengan berbicara yang seketika gaungnya hilang. Kecuali bila direkam.
Orang dikenang karena tulisannya. Orang dikecam juga karena tulisannya. Banyak manfaat dari menulis. Selain menyalurkan hobi, menjadikan sebagai profesi, juga sebagai saluran komunikasi. Tapi jarang sekali orang mau menulis. Kalaupun ada yang mau, tak jarang mereka merasa tak mampu.
Berapa banyak anggota dewan yang telah menerbitkan buku. Atau berapa banyak anggota dewan yang rutin menulis. Berapa yang di pusat. Berapa yang di daerah. Berapa yang di Ngawi. Saya mau menyoroti Ngawi saja, karena dulu terlanjur memberikan suara di kota ini.
Anggota dewan seperti Pak Ramadan dan Pak Fatwa pasti juga punya kebiasaan banyak bicara. Ini sebagai konsekuensi menjadi wakil rakyat. Wakil rakyat kan penyambung lidah rakyat, apa jadinya jika diam membisu. Maka, seharusnya wakil rakyat juga menuangkan apa yang mereka suarakan dalam bentuk tulisan. Mereka harus menulis. Dengan tulisan ide-ide yang dikeluarkan akan lebih abadi. Jangkauannya pun meluas. Paling tidak bila dibandingkan dengan berbicara yang seketika gaungnya hilang. Kecuali bila direkam.
Orang dikenang karena tulisannya. Orang dikecam juga karena tulisannya. Banyak manfaat dari menulis. Selain menyalurkan hobi, menjadikan sebagai profesi, juga sebagai saluran komunikasi. Tapi jarang sekali orang mau menulis. Kalaupun ada yang mau, tak jarang mereka merasa tak mampu.
Berapa banyak anggota dewan yang telah menerbitkan buku. Atau berapa banyak anggota dewan yang rutin menulis. Berapa yang di pusat. Berapa yang di daerah. Berapa yang di Ngawi. Saya mau menyoroti Ngawi saja, karena dulu terlanjur memberikan suara di kota ini.
Langganan:
Postingan (Atom)