Kepentingan Politik di Daerah
Kepala Daerah sebagai pejabat politik di daerah memiliki peranan sangat besar di dalam anggaran belanja daerah. Biaya politik yang cukup tinggi (terutama dalam Pemilihan Kepala Daerah secara langsung) membuat setiap orang berpikir dan berbuat untuk mendapatkan sumber daya pembiayaan. Salah satu cara yang bisa digunakan adalah dengan memanfaatkan pengusaha. Tentu saja ini tidak diperoleh secara gratis. Ada proses transaksi, yang celakanya menggunakan sumber daya publik (APBD). Di sinilah dua kepentingan bertemu. Politisi membutuhkan dana (yang dicukupi oleh pengusaha), sedangkan pengusaha membutuhkan laba (dengan proyek-proyek pemerintah yang disediakan aksesnya oleh politisi). Simbiosis mutualisme akhirnya menggerogoti anggaran yang mestinya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ada pula modus kampanye terselubung yang menggunakan APBD, yakni dengan bantuan sosial. Kegiatan ini akan marak menjelang Pilkada dan berangsur-angsur mereda setelah Pilkada.
Selain dengan menggunakan pihak ketiga (pengusaha) untuk membiayai proses politik yang begitu tinggi, tak jarang para calon Kepala Daerah menggunakan dana pribadi, entah itu dari simpanan maupun pinjaman. Biaya yang dikeluarkan ternyata tak sebanding dengan pendapatan yang secara resmi diperoleh sebagai Kepala Daerah. Bahkan sampai habis periode kepemimpinan, bila hanya mengandalkan gaji dan tunjangan, biaya politik tersebut tetap tidak terbayarkan. Bukankah Kepala Daerah juga memerlukan pemenuhan kebutuhan pokoknya, untuk menghidupi diri dan keluarganya? Maka, tak heran jika salah satu cara yang dipergunakan untuk mengganti biaya politik dalam Pilkada adalah dengan mengambil dana dari APBD. Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan Kepala Daerah bisa dijadikan bukti. Menurut data dari Kemendagri ada 158 Kepala Daerah yang tersangkut korupsi.
Selain itu, di era otonomi daerah, Kepala Daerah merupakan Pejabat Pembina Kepegawaian yang memiliki kewenangan mengangkat, memindahkan (termasuk promosi), dan memberhentikan PNS. Hal ini dimanfaatkan benar oleh Kepala Daerah untuk memperkuat posisi politiknya. Misalnya, pengangkatan besar-besaran tenaga honorer menjadi PNS bisa dijadikan modal dukungan mereka terhadap Kepala Daerah apabila hendak maju lagi dalam Pilkada. Contoh lain adalah munculnya transaksi uang dalam sejumlah promosi jabatan. Hal ini bisa dijadikan sumber dana untuk mengembalikan biaya politik yang telah dikeluarkan maupun modal dalam Pilkada yang akan datang.
Interaksi Antar Pemangku Kepentingan
Selain Kepala Daerah, wakil rakyat di daerah (DPRD) memiliki peran yang besar pula dalam pembahasan APBD. Dalam regulasi, DPRD mempunyai fungsi pengawasan, fungsi legislasi (pembuatan Perda) bersama eksekutif, dan fungsi anggaran (budgeter). Senada dengan Kepala Daerah, anggota dewan memiliki kepentingan juga. Hakekatnya karena mereka terpilih melalui proses pemilu dengan diberi suara (mandat) oleh rakyat, maka seharusnya kepentingan rakyatlah yang diutamakan. Namun, tidak selamanya seperti itu. Setidaknya ada 3 kepentingan di sini.
Kepentingan pertama adalah kepentingan politik. Kepentingan ini berkaitan dengan upaya untuk mempertahankan kedudukan sebagai anggota dewan. Karena biaya politik yang tinggi maka sangat banyak sumber dana yang telanjur dikeluarkan sedangkan pendapatan sebagai wakil rakyat tidak cukup untuk mengembalikannya. Selain itu, karena anggota dewan merupakan jabatan politik, maka periode jabatan dibatasi oleh waktu (lima tahun). Diperlukan sumber dana lagi dalam kompetisi pemilu berikutnya. Biaya politik itu mereka dapatkan dengan memanfaatkan dana APBD. Modusnya sama dengan Kepala Daerah, yakni kolaborasi dengan pengusaha.
Kepentingan kedua adalah kepentingan pribadi. Kepentingan ini berkaitan dengan kerakusan manusia ketika memperoleh kesempatan untuk mendapatkan uang terutama dengan mengambil dana APBD. Maka tak heran, sanasib dengan Kepala Daerah, banyak anggota dewan (baik di pusat maupun daerah) yang terkena kasus korupsi. Jangan-jangan banyaknya korupsi yang melibatkan Kepala Daerah dan anggota dewan, memang karena mereka bekerja sama (istilahnya korupsi berjamaah). Begitulah akibatnya bila antara pelaku kebijakan dan pengontrol pelaksanaan kebijakan ber-kongkalikong.
Kepentingan ketiga adalah kepentingan konstituen. Kepentingan ini lebih mencerminkan aspirasi sebagian rakyat daripada kepentingan pribadi. Ketika berkompetisi, para wakil rakyat berjanji untuk memperjuangkan kepentingan rakyat di daerah pemilihannya (konstituen), dengan syarat mereka harus memilih dirinya. Maka, ketika sungguh-sungguh terpilih, maka konstituen menagih janjinya. Tak ada yang keliru dalam logika seperti ini. Namun semestinya, begitu terpilih menjadi wakil rakyat maka kepentingan rakyatlah yang diutamakan, bukan sekadar kepentingan konstituen. Belum tentu anggaran daerah yang dikeluarkan (karena jerih payah wakil rakyat dalam berjuang) untuk sebuah proyek yang diminati konstituennya, dinikmati oleh sebagian besar masyarakat.
Masalah lain yang tak kalah peliknya adalah interaksi politik antara Kepala Daerah dan DPRD dalam dinamika pembahasan APBD. Bila Kepala Daerah berasal dari atau didukung oleh mayoritas partai yang menempatkan wakilnya di DPRD maka biasanya pembahasan APBD cenderung lancar. Namun sebaliknya, bila Kepala Daerah dan DPRD mempunyai afiliasi politik yang berbeda, bisa jadi pembahasan APBD menjadi berlarut-larut. Belum lagi DPRD seringkali mengurusi hal yang terlalu teknis di dalam pembahasan APBD.
Dinamika Politik Anggaran di Era Otonomi Daerah (Bagian Kedua)
Senin, 28 Oktober 2013
Label:
pustaka,
saat kuliah,
tentang jogja,
tentang madiun,
tentang ngawi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya