Dilema Kekuasaan dan Kemanusiaan

Rabu, 31 Mei 2017

Matahari sedang bersinar cerah. Di sebuah rumah bercat putih bergaya kolonial. Pada halaman yang terhampar rerumputan, tanaman hias, dan beberapa pohon palem. Duduk di atas kursi taman, seorang ayah mendekap anak gadisnya, sembari menghadap telaga nan tenang. Dibelainya rambut sang buah hati yang masih berusia dua tahun itu.

“Ayah, ceritakanlah sebuah cerita,” pinta si kecil.

“Ayah akan ceritakan padamu tentang Burma. Saat itu disebut negara emas. Apa kau suka cerita ini?” tanya sang ayah yang berbalut seragam militer.

“Ya!”

“Itulah salah satu negara yang indah, Burma. Di mana-mana ada hutan jati dan kayu hitam. Pada saat itu harimau berkeliaran di hutan. Dan, kawanan gajah berkeliaran di hamparan luas. Di sana terdapat batu safir sebiru langit. Bahkan batu ruby lebih merah dari pipimu. Perhiasan yang bahkan putri sepertimu tidak pernah membayangkan. “

“Lalu?”

“Kenyataannya, ini menjadi cerita sedih. Tentara telah datang dari negeri yang jauh. Dan mengambil semua yang paling berharga. Membuat kita menjadi sangat miskin.”


Sang ayah lalu beranjak pergi. Diselipkannya kelopak anggrek di rambut ikal si kecil. Ditatapnya wajah manis tanpa dosa itu. Senyum tersungging. Sembari melangkah diberikannya lambaian tangan, untuk terakhir kalinya. Ya, untuk terakhir kalinya. Selamanya. Sesaat lagi. Gadis kecil itu tak ‘kan lagi memiliki ayah. Rangoon, di tahun 1947, menjadi saksi kelam sejarah pembunuhan sang pahlawan rakyat Burma, Aung San. Jendral muda berusia 32 tahun itu pergi dengan luka tembak di tubuhnya.

Itulah pembuka “The Lady”. Di menit awal, dalam film ini, kita disuguhi pemandangan alam Burma yang begitu mempesona. Dengan hutan tropisnya, tenang pantainya, hamparan pagoda di mana-mana, serta jenis fauna yang langka. Namun di balik keindahan tersebut ada cerita nestapa. Penyebab ditembaknya Aung San karena adanya persaingan elit dalam perebutan kekuasaan. Dalam film digambarkan pelaku penembakan adalah tiga orang berseragam militer berkain merah di leher. Saat itu Aung San sedang melakukan pertemuan dengan beberapa orang. Tak pelak, seluruhnya ikut tewas.

Sejarah Burma mencatat Aung San adalah seorang revolusioner nasionalis, jenderal, dan politisi. Jendral kelahiran tahun 1915 ini merupakan salah satu tokoh pelopor kemerdekaan Burma. Ia dibunuh pada tanggal 19 Juli 1947, enam bulan sebelum Burma merdeka. Putri sang jendral, Suu Kyi, di kemudian hari menjadi tokoh penting Burma. Gadis kecil yang bersama Aung San di awal film “The Lady” itulah Suu Kyi. Film yang disutradarai oleh Luc Besson dan naskah yang ditulis oleh Rebecca Frayn ini menceritakan kisah perjuangan perempuan yang lekat dengan identitas anggrek di rambutnya itu.

Suu Kyi dewasa menikah dengan Michael Aris, dosen studi Sejarah Asia di Universitas Oxford, Inggris. Suu Kyi juga alumni kampus tempat suaminya mengabdi. Mereka dikarunia dua putra, Alexander dan Kim. Suu Kyi sendiri menjadi ibu rumah tangga yang waktu senggangnya  digunakan membaca buku biografi Mahatma Gandhi. Keluarga mereka harmonis. Awalnya, Suu Kyi tidak terlibat dengan urusan politik negaranya. Burma, sekarang berubah nama menjadi Myammar. Melalui televisi, ia melihat kerusuhan negeri tempat lahirnya.

Roda nasib ibu rumah tangga itu berubah drastis. Ia harus pulang ke negaranya untuk merawat sang ibu yang sedang sakit. Saat itu Myammar sedang dilanda kekisruhan politik. Junta militer sedang berkuasa. Dari rumah sakit Yangoon, ia menyaksikan unjuk rasa yang dipelopori aktivis mahasiswa. Para demonstran itu dihadapi oleh tentara dengan kekerasan. Banyak yang ditangkap dan disiksa. Banyak pula yang terluka dan dilarikan ke rumah sakit. Tak sedikit yang tewas ditembak, termasuk seorang dokter di lorong rumah sakit tempat ibu Suu Kyi dirawat saat berusaha menolong korban.

Menyaksikan pelbagai kekerasan, hati Suu Kyi terkoyak. Batinnya berontak. Para tokoh, akademisi, dan aktivis mahasiswa memohon agar Suu Kyi bersedia melawan kezaliman. Mereka berharap, putri pahlawan ini mau bergabung dan berjuang bersama-sama rakyat memimpin National League for Democracy (NLD) yang akan mengikuti pemilu sesaat lagi. Suu Kyi menerima. Kampanye hingga pelosok negeri pun ia lalui. Seperti ayahnya, Suu Kyi menjadi ikon, harapan, dan kerinduan. Rakyat di mana-mana menerima dengan antusias. Di saat itulah sang ibunda menutup mata untuk selamanya. Ribuan pelayat menyertai pemakaman.

Sang diktator, Jenderal Tan Shwe, merasa khawatir akan popularitas Suu Kyi. Jendral yang percaya klenik ini menggunakan segala cara untuk menghalangi. Suu Kyi bergeming. Bujukan halus agar Suu Kyi meninggalkan negaranya tak juga mempan. Akhirnya jalan kekerasan ditempuh penguasa. Para pengikut Suu Kyi diculik, ditangkap, dan disiksa di tahanan. Dalam buku “Freedom from Fear” yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Bebas dari Ketakutan”disebutkan teror yang diterima Suu Kyi. Dalam suatu wawancara tanggal 31 Maret 1989, Suu Kyi menuduh bahwa lebih dari 160 orang telah ditahan sehubungan dengan undang-undang larangan mengadakan rapat dan berpidato anti militer. 

5 April 1989, ketika sedang turun ke jalan dalam kunjungan kampanye di Distrik Irawadi, hampir saja nyawa Suu Kyi melayang. Enam orang tentara di bawah komando seorang kapten melompat turun dari jip, mengambil posisi jongkok dan menodongkan senjata kepada Suu Kyi. Suu Kyi memberi isyarat agar para pengikutnya menunggu di seberang jalan, lalu ia sendiri melangkah di tengah jalan menuju para tentara itu. “Lebih baik mereka mendapat satu sasaran daripada semua orang,” katanya. Pada saat itulah seorang mayor memerintahkan kapten itu membatalkan perintah menembak.

20 Juli 1989, Suu Kyi dikenai tahanan rumah. Ia tak punya akses keluar. Interaksi dan informasi amat terbatas. Suaminya yang warga negara asing ditolak masuk Myanmar, termasuk anak-anaknya yang masih di London. Dunia mengecam. Banyak negara mengembargo Myanmar dan membatalkan kerjasama ekonomi dan militer. Tepat dua tahun sejak penahanan, Suu Kyi diganjar Penghargaan Sakharov untuk Kebebasan Berpikir oleh Parlemen Eropa di Strasbourgh. Ketua Parlemen, Baron Crespo berkata dengan suara nyaring dalam bahasa Spanyol, “Kami memberikan hadiah ini kepada seorang Asia yang berani, seorang wanita yang namanya berarti perjuangan tanpa kekerasan demi kebebasan dan demokrasi.”

Pada 1991, ia menerima penghargaan Nobel Perdamaian atas perjuangannya melawan kekuasaan rezim militer tanpa kekerasan. Suu Kyi tidak hadir di Oslo, Norwegia, tempat penyerahan penghargaan. Sekali ia keluar negeri, saat itu juga pemerintah tak bakal sudi menerimanya lagi. Meninggalkan Myanmar adalah cita-cita rezim militer. Penghargaan ini diterima oleh putranya pada hari HAM 10 Desember. Meski Komisi HAM PBB maupun tim Nobel Perdamaian terus menyerukan pembebasan Suu Kyi, namun rezim militer bergeming. Baru pada 13 November tahun 2010 ia benar-benar bebas. Total, 15 tahun sudah ia menjalani tahanan rumah.

Hidup memang seperti roda. Berputar. Kadang di bawah, kadang di atas. Demikian pula Suu Kyi. NLD, partainya memenangkan pemilu. Kekuasaan pun diraihnya. Apakah dengan demikian rakyat Myanmar lantas bebas dari ketakutan? Hari-hari ini, kita disuguhi berita tragedi pembantaian etnis Muslim Rohingya oleh tentara Myanmar. Ribuan orang dikejar, disiksa, dibunuh. Ribuan lain menjadi pengungsi di negeri orang. Meminjam lagu “Darah Juang”, mereka dirampas haknya, terkubur, dan lapar. Nasib mereka terkatung-katung.

Dulu Suu Kyi pernah berkata seperti ini, “Sepanjang yang saya ketahui, tidak satupun perang diawali oleh perempuan. Tapi adalah perempuan dan anak-anak yang terutama selalu menderita dalam situasi konflik.” Dan sekarang, perempuan serta anak-anak etnis minoritas di Myanmar mengalami penderitaan luar biasa. Kebetulan mereka berbeda etnis dan keyakinan dengan Suu Kyi. Yang disesalkan adalah kebisuan Suu Kyi, yang tentunya membikin tanda tanya.

Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (OHCHR) merilis laporan temuan mereka saat menyelidiki kasus kekejian terhadap etnis Rohingnya di Myanmar. Tidak peduli apakah itu anak-anak ataukah orang dewasa, mereka dibunuh secara brutal. Para perempuan diperkosa beramai-ramai dan rumah mereka dibakar. Kekejian yang menyebar luas dan sistematik tersebut bisa dideskripsikan sebagai pembersihan etnis. Misalnya, bayi 8 bulan dilaporkan dibunuh sedangkan ibunya diperkosa secara massal. Bocah perempuan yang masih 5 tahun dibunuh setelah mencoba melindungi ibunya yang hendak diperkosa.

Beberapa tokoh dunia sampai mengeluarkan kritik, termasuk peraih Nobel mantan Uskup Agung Afrika Selatan, Desmond Tutu. Mereka  memperingatkan bahwa serangan militer telah menewaskan ratusan orang termasuk anak-anak, pemerkosaan terhadap sejumlah perempuan, pembakaran rumah, dan penangkapan warga sipil secara sewenang-wenang. Akses untuk organisasi bantuan kemanusiaan hampir sepenuhnya ditolak, menciptakan sebuah krisis kemanusiaan yang mengerikan di daerah yang sudah sangat miskin.

Dalam sebuah kesempatan, di kamp pengungsian, wartawan BBC Jonah Fisher mewawancarai Jamalida Begum. Ia seorang janda 2 anak yang suaminya dibunuh tentara. Ia pun menjadi korban pemerkosaan. “Dia tak melakukan apapun untuk kami. Jika dia baik, kami tak akan terlalu menderita di negara itu. Sejak dia memegang kekuasaan, Myanmar adalah neraka bagi kami,” tukas Jamalida Begum saat ditanya apa penilaiannya terhadap Suu Kyi.

Agaknya Suu Kyi berada dalam kondisi dilematis, antara tampuk kekuasaan dan rasa kemanusiaan. Begitulah manusia. Tak ada yang sempurna. Pun, dengan sosok yang dulu dieluka-elukan sebagai pejuang demokasi. Mari kita kutip petuah Abraham Lincoln, “ Hampir semua orang bisa menghadapi kesengsaraan, tetapi jika Anda ingin menguji karakter seseorang, beri dia kekuasaan.”

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)