Ada satu drama yang diputar berulang di panggung sejarah Indonesia, tak peduli siapa yang jadi sutradara atau berganti masa. Judulnya: "Rasuah". Ini bukan sekadar cerita tentang uang negara yang hilang, melainkan kisah kompleks tentang kekuasaan, keserakahan, dan perjuangan para ksatria jujur yang harus berhadapan dengan tembok tebal bernama impunitas.
Jika kita telusuri, upaya memberantas rasuah di Indonesia ini seperti mencoba menampung air dengan keranjang. Lembaga demi lembaga lahir dengan semangat membara, namun tak lama kemudian layu dan dibubarkan, sering kali karena ulah kekuasaan itu sendiri. Sejak era kemerdekaan, pemerintah sadar betul bahwa rasuah adalah penyakit akut. Di masa Orde Lama, munculah beberapa inisiatif yang awalnya terlihat menjanjikan.
Pada 1959, Presiden Soekarno mendirikan Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan). Dipimpin tokoh sekaliber Sultan Hamengku Buwono IX, Bapekan menerima laporan rasuah dari masyarakat, mulai dari serdadu hingga sastrawan. Mereka sempat membongkar kasus rasuah besar di Jawatan Bea Cukai. Namun, siapa sangka, langkah Bapekan justru terhenti ketika mulai menyentuh kasus sensitif, seperti dugaan rasuah proyek Asian Games 1962. Presiden Soekarno tiba-tiba membubarkan Bapekan dengan alasan tidak diperlukan lagi.
Di waktu yang sama, Jenderal A.H. Nasution membentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN). Tujuannya mulia, yaitu mendata kekayaan pejabat, terutama yang datang dari kalangan militer setelah nasionalisasi perusahaan Belanda. PARAN sempat menemukan banyak praktik salah urus dan rasuah. Akan tetapi, mereka terbentur kenyataan pahit. Banyak pejabat yang membangkang dan langsung berlindung di bawah kuasa Presiden. PARAN pun layu ketika Nasution.
