Drama Abadi Rasuah

Jumat, 12 Desember 2025

Ada satu drama yang diputar berulang di panggung sejarah Indonesia, tak peduli siapa yang jadi sutradara atau berganti masa. Judulnya: "Rasuah". Ini bukan sekadar cerita tentang uang negara yang hilang, melainkan kisah kompleks tentang kekuasaan, keserakahan, dan perjuangan para ksatria jujur yang harus berhadapan dengan tembok tebal bernama impunitas.


Jika kita telusuri, upaya memberantas rasuah di Indonesia ini seperti mencoba menampung air dengan keranjang. Lembaga demi lembaga lahir dengan semangat membara, namun tak lama kemudian layu dan dibubarkan, sering kali karena ulah kekuasaan itu sendiri. Sejak era kemerdekaan, pemerintah sadar betul bahwa rasuah adalah penyakit akut. Di masa Orde Lama, munculah beberapa inisiatif yang awalnya terlihat menjanjikan.


Pada 1959, Presiden Soekarno mendirikan Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan). Dipimpin tokoh sekaliber Sultan Hamengku Buwono IX, Bapekan menerima laporan rasuah dari masyarakat, mulai dari serdadu hingga sastrawan. Mereka sempat membongkar kasus rasuah besar di Jawatan Bea Cukai. Namun, siapa sangka, langkah Bapekan justru terhenti ketika mulai menyentuh kasus sensitif, seperti dugaan rasuah proyek Asian Games 1962. Presiden Soekarno tiba-tiba membubarkan Bapekan dengan alasan tidak diperlukan lagi.


Di waktu yang sama, Jenderal A.H. Nasution membentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN). Tujuannya mulia, yaitu mendata kekayaan pejabat, terutama yang datang dari kalangan militer setelah nasionalisasi perusahaan Belanda. PARAN sempat menemukan banyak praktik salah urus dan rasuah. Akan tetapi, mereka terbentur kenyataan pahit. Banyak pejabat yang membangkang dan langsung berlindung di bawah kuasa Presiden. PARAN pun layu ketika Nasution.

Kontroversi Penyaluran Dana Desa

Kamis, 11 Desember 2025

Dana Desa yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan puncak dari semangat desentralisasi fiskal pasca-reformasi, yang bertujuan untuk memandirikan desa sebagai subjek pembangunan. Dengan anggaran triliunan rupiah yang dialokasikan langsung dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Dana Desa dirancang untuk memutus mata rantai sentralisasi pembangunan yang terjadi selama puluhan tahun. Namun, kontroversi terbaru mengenai penyaluran Dana Desa Tahap II yang disyaratkan dengan pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) telah menyingkap sebuah ketegangan struktural yang laten, yaitu antara cita-cita otonomi fiskal lokal dengan praktik komando politik dari pusat. Konflik ini bukanlah isu administratif belaka, melainkan manifestasi terkini dari dilema sejarah perimbangan keuangan Indonesia yang tak pernah tuntas.


Gagasan desentralisasi dan perimbangan keuangan bukanlah barang baru dalam sejarah tata kelola Indonesia. Sejak era kolonial, isu ini telah diperdebatkan sehingga memunculkan Undang-Undang Desentralisasi 1903. Regulasi tersebut hanya amandemen (tambahan) parsial terhadap Regerings Reglement 1854. Pasca-kemerdekaan, sistem perimbangan keuangan mulai didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956. Meskipun aturan ini meletakkan dasar-dasar desentralisasi, implementasinya seringkali timpang, di mana sumbangan pemerintah pusat masih menjadi bagian terbesar dari penerimaan daerah, sebuah kondisi yang bertentangan dengan prinsip otonomi sejati.


Sistem ekonomi sentralistik mencapai puncaknya sepanjang Orde Baru. Dalam rezim ini, ketimpangan antara pusat dan daerah dilebarkan dengan kekuasaan fiskal dan politik terpusat di Jakarta. Reformasi 1998 menjadi titik balik. Keran desentralisasi dibuka kembali melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Secara umum, tujuan utama otonomi daerah adalah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola keuangannya secara mandiri sesuai kebutuhan masing-masing daerah.


Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 diganti dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Undang-Undang ini berusaha menerapkan konsep money follow function dan mengembalikan kewenangan yang luas kepada daerah otonom. Momentum ini kemudian berlanjut ke level pemerintahan terendah dengan lahirnya Undang-Undang Desa, yang memberikan mandat keuangan berupa Dana Desa untuk dikelola berdasarkan kebutuhan dan hasil Musyawarah Desa. Dalam konteks sejarah ini, Dana Desa adalah upaya progresif untuk menghilangkan pola sentralistik lama.

Integritas dan Dompet Imajinasi

Rabu, 10 Desember 2025

Indonesia adalah negeri yang dianugerahi pemimpin-pemimpin dengan jiwa yang luhur. Mereka mewariskan kepada kita bukan hanya kemerdekaan, tetapi juga pelajaran abadi tentang bagaimana menjadi manusia yang bermartabat. Kekuatan sejati mereka terletak pada dua hal yang tak terpisahkan, yaitu integritas dan kesederhanaan. Integritas adalah kesatuan moral yang tak tergoyahkan, sedangkan kesederhanaan merupakan gaya hidup yang menolak nafsu material.


Dalam deretan tokoh bangsa yang patut dijadikan panutan, nama Agus Salim dan Mohammad Natsir berdiri tegak sebagai mercusuar moral. Keduanya adalah intelektual ulung, politisi berprinsip, dan diplomat handal yang memilih jalan hidup bersih, jauh dari kemilau harta dan kekuasaan. Kisah hidup mereka mengajarkan bahwa kekayaan paling hakiki seorang pemimpin bukanlah pada saldo rekening, melainkan pada kejernihan hati.


Agus Salim, yang dijuluki The Grand Old Man, karena kecerdasan dan kelihaiannya di panggung diplomasi internasional, adalah potret sempurna seorang negarawan yang berpegang pada prinsip. Integritas beliau begitu kuat. Dengan kehidupan keluarga yang bersahaja tidak pernah menggoyahkan pengabdiannya pada negara.


Bayangkan, seorang diplomat ulung yang mampu bernegosiasi dengan berbagai bangsa dan menguasai sembilan bahasa asing, ternyata hidup dalam kesederhanaan. Kisah kehidupan keluarga Agus Salim yang berpindah-pindah rumah kontrakkan bukanlah hal yang aneh. Beliau selalu menolak memanfaatkan jabatan dan koneksi politik untuk mencari keuntungan atau kemewahan.

Kekuatan Konten Kreator di Tengah Bencana

Selasa, 09 Desember 2025

Nama Ferry Irwandi tiba-tiba melesat ke puncak trending di platform X (dulu Twitter). Bukan karena prank atau drama, melainkan sebuah aksi heroik yang menggetarkan hati. Ia berhasil mengumpulkan donasi lebih dari Rp10 miliar dalam waktu kurang dari 24 jam untuk korban banjir Sumatera. Sebuah angka yang fantastis, sebuah kecepatan yang mencengangkan, dan sebuah bukti nyata bahwa niat baik ketika dikemas dengan cara yang benar bisa melahirkan gelombang kebaikan yang tak terbendung.


Ferry Irwandi, pendiri Malaka Project dan seorang kreator konten yang dikenal kritis dan cerdas, menggunakan pengaruhnya secara maksimal. Melalui akun Instagram-nya, @irwandiferry, ia mengumumkan keberhasilan fundraising di platform KitaBisa yang mencapai angka Rp 10.374.064.800 dari 87.605 donatur. Bayangkan, puluhan ribu orang, dalam satu hari, bergerak serempak menyalurkan rezeki mereka. Ini bukan lagi sekadar donasi, ini adalah manifestasi kolektif dari empati warganet Indonesia.


Keberhasilan Ferry ini bukan sekadar tentang angka, tapi tentang pilihan peran yang tepat. Warganet di X ramai-ramai memberikan apresiasi tinggi. Bagi mereka, langkah Ferry sebagai kreator konten untuk menggalang dana adalah langkah yang paling strategis dan berdampak di tengah situasi bencana. Seorang kreator konten memiliki kekuatan untuk memviralkan isu, menyentuh emosi publik, dan menciptakan ajakan yang massif. Dan Ferry membuktikan ia menggunakan kekuatan itu untuk kebaikan.


Sangat wajar jika kemudian muncul perbandingan. Dalam trending topic yang sama, warganet lantas menarik garis kontras yang tajam antara aksi Ferry dengan tindakan salah satu figur publik lain: Zulhas, seorang menteri di kabinet Presiden Prabowo.

Menanam Harapan dari Kisah Wangari Maathai

Senin, 08 Desember 2025

Pernah dengar nama Wangari Maathai? Kalau belum, Anda harus tahu. Kisahnya bukan sekadar cerita tentang seorang ilmuwan, politikus, atau pemenang Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2004. Wangari Maathai adalah simbol nyata bahwa satu orang, yang berani menanam pohon dan menyuarakan kebenaran, bisa mengubah nasib bangsanya dan dunia.


Mari kita terbang sejenak ke Kenya pada tahun 1970-an. Saat itu, Wangari, seorang perempuan pertama dari Afrika Timur yang meraih gelar doktor, kembali ke tanah airnya. Ia terkejut. Hutan-hutan yang dulu hijau dan lebat telah berganti menjadi lahan gersang. Pohon-pohon ditebang habis untuk kepentingan industri dan lahan pertanian, mengakibatkan tanah longsor, kekeringan, dan yang paling parah, kemiskinan dan kelaparan. Sumber air mengering, dan perempuan-perempuan desa harus berjalan semakin jauh hanya untuk mencari kayu bakar dan air bersih.


Wangari melihat akar masalahnya bukan hanya pada lingkungan, tetapi juga pada kemiskinan dan ketidakberdayaan perempuan. Ia sadar, menanam pohon bukan cuma urusan botani, tetapi juga urusan politik, ekonomi, dan hak asasi manusia. Pada tahun 1977, Wangari Maathai mendirikan Gerakan Sabuk Hijau (Green Belt Movement/GBM). Filosofinya sederhana tapi revolusioner, “Menanam pohon adalah menanam harapan.”


Gerakan ini dimulai dengan mengajak perempuan-perempuan desa untuk menanam bibit pohon. Mereka diberi insentif kecil untuk setiap bibit yang hidup. Ini adalah solusi yang cerdas. Lingkungan pulih, dan perempuan desa mendapatkan penghasilan, meningkatkan harga diri, serta mendapatkan kembali kendali atas lingkungan mereka.

Tantangan Tata Kelola Impor Beras

Minggu, 07 Desember 2025

Isu pangan, khususnya beras, selalu menjadi urat nadi politik dan stabilitas ekonomi di Indonesia. Belakangan ini, perhatian publik mengarah ke temuan mengejutkan, yaitu masuknya 250 ton beras secara ilegal melalui Sabang, dengan indikasi serupa di Batam, tanpa persetujuan pemerintah pusat. Ironisnya, peristiwa ini terjadi di tengah klaim stok beras nasional yang melimpah dan instruksi tegas presiden mengenai larangan impor. Menanggapi temuan ini, Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, telah melancarkan ancaman serius untuk mencopot pejabat Kementan, termasuk di level Direktur Jenderal, jika terbukti terlibat dalam praktik kecurangan impor ilegal. 


Skandal ini bukan sekadar pelanggaran ekonomi, melainkan cerminan dari tantangan integritas tata kelola pangan yang telah berakar dalam sejarah panjang Indonesia. Oleh karena itu, janji Menteri Pertanian selain dicatat tebal, juga harus diikuti dengan penegasan bahwa investigasi yang akan dilakukan harus berjalan fair.


Untuk memahami mengapa impor beras ilegal dengan skala 250 ton tersebut terjadi, kita perlu melihat ke belakang. Sejak kemerdekaan, impor beras telah menjadi polemik dan sebuah ironi bagi Indonesia, suatu negara agraris yang semestinya mampu berswasembada.


Sebagaimana diuraikan dalam sejarah, upaya menjaga kedaulatan pangan melalui pemenuhan kebutuhan beras sudah dilakukan sejak Kabinet Amir Sjarifuddin II (1947). Program swasembada beras yang dicanangkan oleh I.J. Kasimo pada 1948 bertujuan mulia, salah satunya untuk menghemat devisa. Namun, tantangan berupa pertambahan penduduk dan fluktuasi produksi selalu memaksa pemerintah mengambil jalan impor. Dalam perjalanannya di era 1950-an, kebijakan impor ini seringkali diwarnai intrik, mulai dari penunjukan lisensi tunggal kepada pihak tertentu (seperti Kian Guan Concer) hingga pembukaan tender yang mendorong perusahaan nasional membangun jaringan di negara pengimpor.

Modul Edukasi Gizi

Sabtu, 06 Desember 2025

Sejarah pendidikan Indonesia pasca-kemerdekaan adalah sejarah tentang ambisi yang berulang, proyek-proyek pembangunan nasional, dan “bongkar pasang” kurikulum. Kurikulum sebagai jantung sistem pendidikan secara inheren mencerminkan kebutuhan politik, ekonomi, dan ideologis sebuah bangsa pada masa tertentu. Namun, frekuensi dan sifat perubahan kurikulum yang seringkali bersifat ad-hoc telah menciptakan pola ketidakstabilan. Pola historis inilah yang kini kembali terlihat dalam polemik seputar peluncuran modul edukasi gizi sebagai komponen wajib pendamping program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang dianggap berpotensi mengacaukan kurikulum dan menambah beban guru.


Sejak Kurikulum Rencana Pelajaran 1947, yang berfokus pada pembentukan karakter manusia merdeka, hingga Kurikulum Merdeka saat ini, setiap pergantian selalu membawa mandat baru. Di era Orde Lama, kurikulum diarahkan untuk mendukung semangat revolusi. Kemudian, pada masa Orde Baru kurikulum berubah menjadi alat pembangunan, menekankan keterampilan praktis, dan pendidikan moral Pancasila. Kurikulum 1975, 1984, dan 1994, misalnya, terus-menerus menyesuaikan diri dengan arah pembangunan jangka panjang. Setiap perubahan menuntut guru untuk beradaptasi dengan konsep, materi, dan metodologi baru.


Siklus ini menunjukkan bahwa kurikulum di Indonesia sering kali berfungsi sebagai wadah untuk menyuntikkan kebijakan eksternal, bukan sekadar kerangka pedagogis murni. Ketika pemerintah memiliki visi atau program prioritas—seperti wajib belajar, penanaman ideologi, atau kini, perbaikan gizi—sistem pendidikan menjadi saluran implementasi paling efektif. Namun, ini menciptakan dua masalah utama, yaitu pertama, beban guru yang bertambah dan kedua, integritas kurikulum yang tergerus.


Polemik modul edukasi gizi MBG mencerminkan dengan tepat masalah kedua. Modul tersebut, yang disusun oleh Kemendikdasmen dan diluncurkan oleh Wamen Dikdasmen Fajar Riza Ul Haq, bertujuan mulia untuk mengintegrasikan pemahaman gizi. Namun, kritik keras datang dari pihak profesional. Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Imam Zanatul Haeri, secara fundamental menyoroti bahwa materi modul tersebut tidak memiliki landasan hukum dalam Keputusan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Nomor 46 Tahun 2025 tentang Capaian Pembelajaran. Capaian Pembelajaran adalah rujukan kurikulum nasional utnuk menjamin konsistensi materi ajar. Ketika sebuah materi dipaksakan masuk tanpa fondasi Capaian Pembelajaran, ia menjadi intervensi kebijakan yang tidak memiliki landasan pedagogis maupun relevansi struktural dengan tujuan belajar yang sudah ditetapkan. Ini secara langsung mengganggu stabilitas kurikulum yang telah diperjuangkan.

Nestapa Kemayoran, Polemik Morowali

Jumat, 05 Desember 2025

Bandara Kemayoran, yang dibuka resmi pada tahun 1940, bukan sekadar infrastruktur penerbangan. Ia adalah penanda sejarah Indonesia modern. Dibangun pada masa kolonial Belanda, bandara ini menjadi bandara internasional pertama di Hindia Belanda, dan setelah kemerdekaan ia menjelma sebagai pintu gerbang utama Republik Indonesia ke dunia. Keberadaannya mengukuhkan Jakarta sebagai kota metropolitan dan menjadi saksi bisu berbagai peristiwa penting, mulai dari pendaratan tokoh-tokoh proklamasi hingga masuknya pesawat-pesawat berbadan lebar generasi awal. Namun, kejayaan ini berakhir pada tahun 1985.


Bandara Kemayoran dibangun di atas lahan rawa dan persawahan yang mulanya dimiliki oleh seorang Mayor VOC, Isaac de l’Ostal de Saint-Martin, yang kemudian menjadi asal-usul nama wilayahnya. Di bawah pengelolaan Koninklijk Nederlansch-Indischa Luchtvaart Maatschappij (KNILM) dan kemudian Angkasa Pura, Kemayoran mencapai puncak kemasyhurannya. Ia menjadi tempat singgah pesawat-pesawat dunia dan bahkan diabadikan dalam komik legendaris Tintin, “Penerbangan 714 ke Sydney”, yang menampilkan arsitektur terminal dan menara pengawasnya secara akurat. Menara Air Traffic Control (ATC) Kemayoran adalah yang pertama di Indonesia, bahkan di Asia, dan kini telah ditetapkan sebagai cagar budaya.


Di bawah Presiden Soekarno, bandara ini juga menjadi medium ekspresi kebudayaan nasional. Beliau memerintahkan seniman-seniman dari organisasi Seniman Indonesia Muda (SIM) untuk menciptakan karya-karya relief yang menghiasi ruang tunggu bandara, seperti relief Sangkuriang dan Manusia Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur tidak hanya dipandang dari sisi fungsional, tetapi juga sebagai wahana identitas bangsa.


Namun seiring waktu, Kemayoran mulai kewalahan. Peningkatan frekuensi penerbangan, posisi bandara yang semakin dikepung oleh permukiman padat penduduk, dan lokasinya yang terlalu dekat dengan Bandara Halim Perdanakusuma (untuk penerbangan internasional) menuntut adanya solusi yang lebih memadai. Puncak kejayaan bergeser ketika penerbangan internasional dialihkan ke Halim Perdanakusuma pada tahun 1974, dan akhirnya, seluruh operasional dipindahkan ke Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng pada tahun 1985.

 

Label

kepegawaian (173) coretan (153) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) hukum (58) keluarga (58) tentang ngawi (58) peraturan (46) tentang madiun (38) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)