Suatu hari yang mencekam. Para pengendara motor dihadang kerumunan massa, tak ayal tubuhnya pun dipukuli. Di bagian lain, mobil-mobil dibalik dan dibakar. Saat itu, kalender menunjuk akhir bulan. Tanggal 29 April 1992 tepatnya. Kota Los Angeles, Amerika Serikat, membara. Gubernur negara bagian California, Pete Wilson, menyatakan status keadaan darurat di wilayahnya. Dalam pernyataan singkat di televisi, Presiden AS meminta perusakan dan pembunuhan di jalanan kota harus dihentikan.
Cerita bermula pada setahun sebelumnya. Adalah seorang pemuda berkulit hitam, Rodney King. Kendaraannya dihentikan oleh polisi. Entah musabab apa, Rodney King dipukuli dan ditendang oleh para polisi. Fatalnya, ada kameramen amatir yang merekam adegan tadi. Rekaman berdurasi 81 detik ini pun kemudian jatuh di tangan jaringan televisi. Bisa ditebak, jutaan pasang mata menontonnya. Para polisi, yang berkulit putih itu, dicap melakukan kebrutalan rasis.
Sidang digelar. Empat polisi berdalih membela diri. Mereka mengklaim King agresif dan menolak penangkapan. Dan, inilah yang membuat warga kulit hitam mendidih: keputusan juri pengadilan membebaskan para polisi. Massa yang marah berteriak, "Bersalah! Bersalah!" dan mencoba menyerang kantor pusat kepolisian di kawasan bisnis, sebelum membakar pertokoan dan kendaraan. Sedikitnya lima orang ditembak mati. Kemarahan warga kulit hitam diakibatkan ketidakadilan yang sering mereka alami. Mereka mengalami diskriminasi. Peristiwa King hanyalah pemantik.
Perlakuan diskriminasi pernah dialami oleh Jesse Owens, pahlawan atletik Amerika Serikat dalam Olimpiade Berlin tahun 1936. Empat medali emas diraihnya, masing-masing dalam ajang lari 100 meter, lari 200 meter, lari estafet 4x100 meter, dan lompat jauh. Raihan itu seakan menampar tuan rumah, Jerman, yang mengagungkan kedigdayaan ras Arya. Apalagi Owens adalah atlet berkulit hitam. Di hadapan Adolf Hitler, dengan kekuatannya, ia sanggup berdiri setara bahkan mengalahkan ras Arya dan kulit putih. Konon, Hitler menolak menjabat tangannya.
Anak-anak Korban Perang
Rabu, 19 April 2017
Thomas Buergenthal belum genap berusia enam tahun ketika dipaksa masuk ke permukiman Yahudi di Polandia bersama kedua orang tuanya. Kakek dan neneknya, bersama mereka yang lanjut usia dan menderita sakit, telah ditembak mati tentara Jerman. Empat tahun berselang, Thomas dan orang tuanya dipindah ke Auschwitz. “Usiaku sepuluh tahun di pagi bermatahari itu, di hari-hari pertama bulan Agustus 1944, ketika kereta kami semakin mendekati daerah pinggiran kamp konsentrasi di Auschwitz”, tuturnya dalam buku “A Lucky Child”.
“A Lucky Child” adalah memoar yang ditulis oleh Thomas. Ia menceritakan masa anak-anaknya saat berlangsung Perang Dunia Kedua. Ia merasakan sendiri pedih dan perihnya peperangan yang sangat kejam. Mundek Buergenthal, ayah Thomas, pindah dari Jerman ke Slovakia untuk membuka sebuah hotel kecil di Lubochna bersama rekan kerjanya. Sementara ibu Thomas adalah Gerda Silbergleit. Thomas memanggilnya Mutti. Pada akhir 1938 atau awal 1939 hotel milik ayahnya diambil alih secara paksa oleh Hlinka Guard, kelompok fasis Slovakia yang didukung oleh Nazi Jerman. Keluarga kecil ini pun berpindah-pindah tempat, bahkan negara, sampai akhirnya tertawan oleh tentara Jerman.
Awalnya Thomas dipisahkan dari ibunya, dan akhirnya juga ayahnya. Setiap tahanan harus menjalani kerja paksa. Selain itu, para tahanan di Auschwitz menghadapi terornya sendiri setiap hari, mulai dari siksaan dari Kapo (sesama tahanan Yahudi yang berpihak pada Gestapo, polisi khusus Jerman), penghitungan harian yang dibarengi pemukulan dan hukuman gantung, hingga seleksi maut Dokter Mengele. Mereka yang tidak lolos seleksi akan dibawa ke kamar gas dan krematorium untuk dihabisi.
Thomas dibawa ke kamp rumah sakit Krankenlager. Thomas selalu terbangun dari tidurnya karena teriakan minta tolong dari para tahanan yang dibawa ke krematorium. Ia juga menjadi takut tidur karena selalu bermimpi dirinya dipukuli atau dihukum mati. Thomas lalu mengatasinya dengan meyakinkan dirinya bahwa semua yang terjadi hanya mimpi buruk. Suatu ketika seluruh penghuni kamp dibawa untuk dibantai, tetapi Thomas selamat dari maut berkat pertolongan seorang dokter muda Polandia. Hingga akhir perang dan dibebaskan, ia tak pernah lagi bertemu dengan ayahnya. Sedangkan ibunya masih hidup. Beberapa tahun kemudian mereka berjumpa lagi.
“A Lucky Child” adalah memoar yang ditulis oleh Thomas. Ia menceritakan masa anak-anaknya saat berlangsung Perang Dunia Kedua. Ia merasakan sendiri pedih dan perihnya peperangan yang sangat kejam. Mundek Buergenthal, ayah Thomas, pindah dari Jerman ke Slovakia untuk membuka sebuah hotel kecil di Lubochna bersama rekan kerjanya. Sementara ibu Thomas adalah Gerda Silbergleit. Thomas memanggilnya Mutti. Pada akhir 1938 atau awal 1939 hotel milik ayahnya diambil alih secara paksa oleh Hlinka Guard, kelompok fasis Slovakia yang didukung oleh Nazi Jerman. Keluarga kecil ini pun berpindah-pindah tempat, bahkan negara, sampai akhirnya tertawan oleh tentara Jerman.
Awalnya Thomas dipisahkan dari ibunya, dan akhirnya juga ayahnya. Setiap tahanan harus menjalani kerja paksa. Selain itu, para tahanan di Auschwitz menghadapi terornya sendiri setiap hari, mulai dari siksaan dari Kapo (sesama tahanan Yahudi yang berpihak pada Gestapo, polisi khusus Jerman), penghitungan harian yang dibarengi pemukulan dan hukuman gantung, hingga seleksi maut Dokter Mengele. Mereka yang tidak lolos seleksi akan dibawa ke kamar gas dan krematorium untuk dihabisi.
Thomas dibawa ke kamp rumah sakit Krankenlager. Thomas selalu terbangun dari tidurnya karena teriakan minta tolong dari para tahanan yang dibawa ke krematorium. Ia juga menjadi takut tidur karena selalu bermimpi dirinya dipukuli atau dihukum mati. Thomas lalu mengatasinya dengan meyakinkan dirinya bahwa semua yang terjadi hanya mimpi buruk. Suatu ketika seluruh penghuni kamp dibawa untuk dibantai, tetapi Thomas selamat dari maut berkat pertolongan seorang dokter muda Polandia. Hingga akhir perang dan dibebaskan, ia tak pernah lagi bertemu dengan ayahnya. Sedangkan ibunya masih hidup. Beberapa tahun kemudian mereka berjumpa lagi.
Gratifi Perempuan
Rabu, 12 April 2017
Karla Jacinto, baru berusia 12 tahun saat dia ditipu untuk menjadi pekerja prostitusi cilik di Meksiko. Dia mengaku telah diperkosa oleh lelaki hidung belang sebanyak 43.200 kali ketika empat tahun terjerembab di lembah hitam. Itu hitungan kasar Karla saat diwawancara CNN. Seingat dia, setiap hari ada sekitar 30 lelaki yang terpaksa harus dia layani, tujuh hari sepekan, selama empat tahun, maka keluarlah angka 43.200 kali.
Karla diambil dari Zacatelco, sebuah permukiman kecil di Tenancingo. Dia mengatakan, keluarganya bermasalah. Ibunya tidak memedulikannya, dan dia telah menjadi korban pelecehan seksual sejak usia lima tahun oleh kerabatnya sendiri. Saat dia berusia 12 tahun, dia termakan bujuk rayu seorang pria yang 10 tahun lebih dua dari dirinya. Saat itu, kata dia, pria itu mengiminginya dengan mobil besar dan kehidupan yang lebih baik.
Namun kebahagiaan itu ternyata semu. Karla dikirim ke Guadalajara, kota terbesar di Meksiko, untuk menjadi pelacur cilik bersama korban lainnya. Dia mulai bekerja pukul 10 pagi, selesai tengah malam. Seminggu dia berada di kota itu sebelum dipindahkan ke kota-kota lainnya di Meksiko. Karla berpindah ke beberapa kota. Dia ditempatkan di rumah-rumah bordil, motel pinggir jalan, dan menjadi pekerja seks panggilan yang biasa mangkal di trotoar.
Suatu hari, polisi pernah menggerebek hotel tempatnya bekerja. Karla berpikir ini adalah hari baik karena dia akan diselamatkan oleh petugas. Tapi pikiran itu salah. Polisi malah mengambil video anak-anak itu dengan posisi cabul, mengancam akan menyebarkannya ke keluarga mereka jika Karla dan kawan-kawannya tidak menurut. Padahal saat itu Karla baru berusia 13 tahun. Di usia 15 tahun, Karla hamil dan melahirkan seorang bayi perempuan. Mucikarinya menjadikan bayi ini sebagai ancaman. Jika Karla berani berulah atau kabur, bayi itu akan dibunuh. Karla tidak bisa menemui bayinya hingga berusia satu tahun.
Karla diambil dari Zacatelco, sebuah permukiman kecil di Tenancingo. Dia mengatakan, keluarganya bermasalah. Ibunya tidak memedulikannya, dan dia telah menjadi korban pelecehan seksual sejak usia lima tahun oleh kerabatnya sendiri. Saat dia berusia 12 tahun, dia termakan bujuk rayu seorang pria yang 10 tahun lebih dua dari dirinya. Saat itu, kata dia, pria itu mengiminginya dengan mobil besar dan kehidupan yang lebih baik.
Namun kebahagiaan itu ternyata semu. Karla dikirim ke Guadalajara, kota terbesar di Meksiko, untuk menjadi pelacur cilik bersama korban lainnya. Dia mulai bekerja pukul 10 pagi, selesai tengah malam. Seminggu dia berada di kota itu sebelum dipindahkan ke kota-kota lainnya di Meksiko. Karla berpindah ke beberapa kota. Dia ditempatkan di rumah-rumah bordil, motel pinggir jalan, dan menjadi pekerja seks panggilan yang biasa mangkal di trotoar.
Suatu hari, polisi pernah menggerebek hotel tempatnya bekerja. Karla berpikir ini adalah hari baik karena dia akan diselamatkan oleh petugas. Tapi pikiran itu salah. Polisi malah mengambil video anak-anak itu dengan posisi cabul, mengancam akan menyebarkannya ke keluarga mereka jika Karla dan kawan-kawannya tidak menurut. Padahal saat itu Karla baru berusia 13 tahun. Di usia 15 tahun, Karla hamil dan melahirkan seorang bayi perempuan. Mucikarinya menjadikan bayi ini sebagai ancaman. Jika Karla berani berulah atau kabur, bayi itu akan dibunuh. Karla tidak bisa menemui bayinya hingga berusia satu tahun.
Perlukah Impor Hakim?
Rabu, 05 April 2017
Seorang perempuan diculik. Setelah dicari ke mana-mana, ia ditemukan oleh ayah dan saudaranya di sebuah bangunan kosong dalam keadaan tak bernyawa. Saat itu di dekatnya ada seorang tua. Kontan saja, sang ayah menuduh orang tua tersebut sebagai pembunuh anaknya. Dipenjaralah orang tua itu dan diajukan ke pengadilan. Si orang tua bukanlah pembunuh sebenarnya. Bahkan ia bermaksud menolong perempuan yang akan diperkosa dan dibunuh oleh seorang pemuda. Beruntunglah, sang hakim memutuskan perkara dengan adil.Sang hakim dalam persidangan tersebut tak lain adalah Bao Zheng.
Kisah di atas adalah salah satu episode dari film seri “Justice Bao”. Film tersebut pernah meraih kesuksesan di Asia. Pada tahun 1990-an stasiun televisi swasta Indonesia menayangkan film ini. Pemirsa menyambut hangat apalagi film disalin suara ke dalam bahasa Indonesia. Meski hampir semua kisah dalam serial ini adalah fiksi namun banyak pelajaran yang bisa diambil. Film ini sarat dengan nilai tradisional Tiongkok seperti sikap hormat kepada sesama manusia, rasa berbhakti kepada orang tua, dan kesetiaan kepada negara.
Sesungguhnya, sosok hakim Bao benar adanya. Bao Zheng lahir di Luzhou pada tahun 999 dan meninggal pada tahun 1062. Kehidupannya sederhana dan banyak bergaul dengan rakyat jelata. Ia membenci korupsi dan bertekad untuk menegakkan kebenaran dan keadilan melalui jabatan hakim. Selain sebagai hakim, ia juga negarawan terkenal pada zaman Dinasti Song Utara. Karena kejujurannya dia mendapat julukan Bao Qingtian yang berarti Bao si langit biru, sebuah nama pujian bagi pejabat bersih. Musuh-musuhnya menjulukinya Bao Heizi yang artinya si hitam Bao karena warna kulitnya yang gelap.
Sejarah mencatat bahwa selama tugasnya ia telah memecat atau menurunkan pangkat puluhan pejabat tinggi termasuk beberapa menteri atas tuduhan korupsi, kolusi, melalaikan tugas, dan lain-lain. Dia sangat berpegang teguh pada pendiriannya dan tidak akan menyerah selama dianggapnya sesuai kebenaran. Beruntung, Hakim Bao mendapatkan dukungan dari kaisar. Nama Bao Zheng banyak menghiasi karya literatur dalam sejarah Tiongkok. Kisah hidupnya melegenda.
Kisah di atas adalah salah satu episode dari film seri “Justice Bao”. Film tersebut pernah meraih kesuksesan di Asia. Pada tahun 1990-an stasiun televisi swasta Indonesia menayangkan film ini. Pemirsa menyambut hangat apalagi film disalin suara ke dalam bahasa Indonesia. Meski hampir semua kisah dalam serial ini adalah fiksi namun banyak pelajaran yang bisa diambil. Film ini sarat dengan nilai tradisional Tiongkok seperti sikap hormat kepada sesama manusia, rasa berbhakti kepada orang tua, dan kesetiaan kepada negara.
Sesungguhnya, sosok hakim Bao benar adanya. Bao Zheng lahir di Luzhou pada tahun 999 dan meninggal pada tahun 1062. Kehidupannya sederhana dan banyak bergaul dengan rakyat jelata. Ia membenci korupsi dan bertekad untuk menegakkan kebenaran dan keadilan melalui jabatan hakim. Selain sebagai hakim, ia juga negarawan terkenal pada zaman Dinasti Song Utara. Karena kejujurannya dia mendapat julukan Bao Qingtian yang berarti Bao si langit biru, sebuah nama pujian bagi pejabat bersih. Musuh-musuhnya menjulukinya Bao Heizi yang artinya si hitam Bao karena warna kulitnya yang gelap.
Sejarah mencatat bahwa selama tugasnya ia telah memecat atau menurunkan pangkat puluhan pejabat tinggi termasuk beberapa menteri atas tuduhan korupsi, kolusi, melalaikan tugas, dan lain-lain. Dia sangat berpegang teguh pada pendiriannya dan tidak akan menyerah selama dianggapnya sesuai kebenaran. Beruntung, Hakim Bao mendapatkan dukungan dari kaisar. Nama Bao Zheng banyak menghiasi karya literatur dalam sejarah Tiongkok. Kisah hidupnya melegenda.
Langganan:
Postingan (Atom)