Pembebasan Tugas Jabatan

Minggu, 29 April 2012

Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS menyebutkan bahwa dalam rangka kelancaran pemeriksaan, PNS yang diduga melakukan pelanggaran disiplin dan kemungkinan akan dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat, dapat dibebaskan sementara dari tugas jabatannya oleh atasan langsung sejak yang bersangkutan diperiksa. Pembebasan sementara dari tugas jabatannya ini berlaku sampai dengan ditetapkannya keputusan hukuman disiplin.

Pembebasan sementara dari tugas jabatannya dimaksudkan untuk kelancaran pemeriksaan dan pelaksanaan tugas-tugasnya. Selama PNS yang bersangkutan dibebaskan sementara dari tugas jabatannya, diangkat pejabat pelaksana harian (Plh). Meskipun demikian PNS tersebut tetap masuk kerja dan diberikan hak-hak kepegawaiannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, misalnya penghasilan dan tunjangan jabatan. Dalam hal atasan langsung tidak ada ataupun terjadi kekosongan, maka pembebasan sementara dari jabatannya dilakukan oleh pejabat yang lebih tinggi atau secara berjenjang.

Ketentuan tersebut di atas ternyata melahirkan multitafsir atau paling tidak kebingungan dalam prakteknya. Pertama, penggunaan frasa ”tugas jabatan” belum jelas apa maknanya. Lazimnya antara tugas dan jabatan dipisahkan meskipun keduanya berhubungan erat. Dengan adanya jabatan maka diikuti dengan adanya tugas. Jabatan merupakan predikat sedangkan tugas adalah uraiannya. Maka, sebenarnya cukup dengan membebaskan jabatannya, secara otomatis kewenangan tugas yang melekat lepas dengan sendirinya. Tapi kalau yang dimaksud adalah membebaskan tugas-tugasnya saja atau sebagian tugasnya saja, maka seharusnya jabatannya tidak perlu dibebaskan.

Kedua, tidak ada batas waktu pembebasan bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Memang disebutkan bahwa pembebasan berlaku sejak yang bersangkutan diperiksa hingga ditetapkannya keputusan hukuman disiplin. Namun tidak diatur sampai berapa lama batas maksimal pemeriksaan. Yang pasti ini memakan waktu karena pejabat yang berwenang memberikan hukuman disiplin tingkat berat adalah Presiden, PPK (Pejabat Pembinan Kepegawaian) Pusat, PPK Provinsi/Gubernur, dan PPK Kabupaten/Kota (Bupati/Walikota). Kesibukan para pejabat tersebut adalah satu persoalan, sedangkan alur birokrasi yang panjang merupakan soal yang lain. Tidak ada jaminan proses pemeriksaan hingga ditetapkan keputusan membutuhkan beberapa hari saja. Paling tidak hitungannya adalah bulanan, bahkan tahunan.

Pelayanan Online

Kamis, 26 April 2012

Saya masih ingat waktu itu, meski telah berakhir rekrutmen CPNS tahun 2009 di Ngawi menyisakan masalah. Meskipun ratusan peserta telah diumumkan siapa-siapa yang lolos dan layak diangkat menjadi CPNS, beberapa kalangan masih mempermasalahkannya. Salah satunya adalah tentang dimusnahkannya berkas pendaftaran CPNS. Ada yang ingin melihat berkas-berkas lamaran yang pernah dikirim ke BKD, namun ternyata semuanya telah tidak ada. Maka mencak-mencaklah ia. Laporlah ia ke kepolisian.

BKD memang dalam kondisi dilema. Dalam setiap rekrutmen CPNS jumlah pelamar mencapai ribuan orang. Tentu saja jumlah berkas yang mereka sertakan akhirnya menumpuk. Padahal BKD tidak punya gudang. Ada ruang kecil tapi sepertinya tak sanggup menampung seluruh berkas. Padahal itu harus menampung juga berkas kepegawaian lain.

Jadilah saat proses lamaran itu berkas-berkas sementara diletakkan di lantai lorong kantor. Nah, setelah proses rekrutmen selesai (ditandai dengan pengumuman kelulusan) berkas-berkas itu mesti dipindahkan dari lorong. Karena lorong itu memang bukan tempat penyimpanan, malah merupakan akses lalu lintas pegawai yang semua orang bebas melewatinya. Daripada menimbulkan resiko maka dimusnahkanlah berkas-berkas itu. Tak disangka hal ini malah menjadikan masalah. Dilaporkan ke kepolisian.

Sayang Pemkab dari dulu hingga saat ini belum memiliki regulasi tentang arsip. Dengan demikian Jadwal Retensi Arsip (JRA) pun juga tidak ada. JRA mengatur kapan arsip dapat disimpan dan kapan harus dimusnahkan. Mestinya regulasi berbentuk Peraturan Bupati. Padahal ini penting. Dengan kapasitas ruang penyimpanan arsip yang kurang memadai sedangkan jumlah arsip semakin lama semakin banyak, maka akan menimbulkan persoalan di kemudian hari. Bahkan persoalan sudah muncul. Tidakkah laporan ke kepolisian beberapa tahun lalu cukup dijadikan pelajaran?

Ruang Konseling dan Konsultasi Kepegawaian

Senin, 23 April 2012

Saat berkunjung ke Pengadilan Agama (PA) lebih dari setahun silam saya bertemu dan sempat berbincang dengan Ketua PA yang ramah. Menurut paparan beliau, dari sekian daerah di Karesidenan Madiun tercatat angka perceraian yang paling tinggi ada di Ponorogo. Berikutnya adalah Ngawi, kota tempat saya tinggal. Kebanyakan yang menggugat adalah istri. Tak sedikit pula yang melakukan perceraian adalah mereka yang berstatus sebagai PNS.

Salah satu fungsi kantor saya adalah memproses pemberian izin perceraian dari Bupati kepada PNS yang akan bercerai. Bagi PNS izin ini bersifat mutlak, wajib dipenuhi terlebih dahulu, baik sebagai penggugat maupun tergugat. Tak heran, dengan semakin banyaknya PNS yang akan bercerai maka semakin banyak pula PNS yang mengajukan izin.

Memang kalau diperhatikan angka perceraian pada PNS semakin tahun semakin bertambah. Saya rasa ini logis. Ini berbanding lurus dengan banyaknya jumlah PNS. Tahun 2005 saat awal saya bekerja tentu jumlahnya lebih sedikit dibandingkan sekarang. Jumlah PNS tak sampai 10 ribu. Tapi lambat laun bertambah banyak. Akhir 2011 lalu tercatat lebih dari 14 ribu. Pengangkatan dari tenaga honorer memberikan sumbangan signifikan pada rekrutmen pegawai. Ratusan bahkan ribuan orang diangkat menjadi CPNS secara serentak.

Bertambahnya pegawai membawa konsekuensi. Salah satu di antaranya adalah bertambahnya angka perceraian seperti disinggung di muka. Dari yang bercerai tadi ternyata sebagian besar berasal kalangan pendidik alias guru. Ini pun logis juga karena ternyata dari 14 ribu pegawai tadi yang paling banyak adalah guru. Mungkin jumlahnya antara 7-8 ribu.

Menulis Dalam Kesunyian

Jumat, 20 April 2012

Ada yang aneh malam hari ini. Saat rumah sunyi. Tiada suara riuh rendah anak-anak. Seperti ada yang hilang. Saya sedang menulis. Tapi rasa itu kembali muncul. Aneh. Terlalu sunyi. Sepi. Hening. Bukankah mestinya malah enak menulis dengan lancar. Dalam suasana yang sunyi. Tapi tetap saja ada yang aneh. Tak biasanya.

Ya, istri dan anak-anak sedang pulang kampung. Bapak mertua saya alias mbah-nya anak-anak sedang kangen dengan cucu-cucunya. Apalagi beliau juga sedang sakit. Akhirnya istri dan anak-anak pergi menengok. Karena saya masih ada pekerjaan hingga sore di kantor kami putuskan istri dan anak-anak berangkat duluan. Esok paginya saya akan menyusul.

Maka malam itu saya sendiri di rumah. Kesempatan, batin saya. Saya bisa menulis dengan tenang. Tapi ya itulah, rasa aneh datang menghampiri. Sepi. Seolah ada kekuatan yang menyumbat pikiran saya. Seolah ada energi yang menghentikan tangan saya. Padahal selama ini saya sering mengeluhkan (dalam hati) tingkah laku anak-anak saat saya sedang menulis. Yah inilah manusia. Dikasih A minta B, dikasih B minta C, dan seterusnya.

Saya memang suka menulis, dan saya putuskan untuk menjadi hobi. Hal ini pun pararel dengan hobi saya membaca. Seperti motor dengan bensin. Ada energi yang harus diisi. Membaca adalah bahan bakar untuk membuat tulisan.
 

Kemajuan teknologi yang luar biasa menjadikan hal yang dulunya hampir mustahil sekarang menjadi hal yang lazim. Contohnya tulisan. Kini hasil karya berupa tulisan bisa saya publikasikan kepada pembaca di seluruh dunia. Melalui blog. Gratisan lagi.

Kerja Paling Menyebalkan

Selasa, 17 April 2012

Setiap selesai pelaksanaan kegiatan biasanya ada laporan pertanggungjawaban. Kalau di kantor namanya SPJ, mungkin kependekan dari Surat Pertanggung Jawaban. Saya tak tahu persis, karena saya bukan bendahara. Dan saya juga bukan orang yang secara formal ditunjuk dan diangkat menjadi pengelola SPJ. Dengan demikian pengetahuan saya tentang hal itu amat minim.

Waktu kuliah sebenarnya saya tak begitu asing dengan LPJ atau SPJ karena saya termasuk aktif di beberapa organisasi kampus. Saya pernah menjadi pengurus, bahkan pernah pula mengetuai sebuah lembaga ekstra kampus. Pada akhir kepengurusan diadakan musyawarah yang merupakan forum tertinggi di organisasi. Di sana ada agenda pembahasan AD/ART, pemilihan pengurus baru, dan penyampaian LPJ.

Jangan dibayangkan anggaran yang kami gunakan bejibun layaknya instansi pemerintah. Malah banyak tomboknya. Banyak utangnya. Namanya mahasiswa, kami kan belum berpenghasilan. Walaupun begitu apa yang kami terima kami pergunakan sesuai dengan peruntukannya. Semuanya bisa dipertanggungjawabkan. Tidak ada rekayasa. Kami dilatih bertanggung jawab.

Kembali ke masalah SPJ kantor. Pernah juga saya mengurusinya. Akhirnya. Itu pun sebenarnya terpaksa. Memang saya akui awalnya saya penasaran apa sih SPJ itu. Hampir tiap hari orang-orang membahas SPJ, atau paling tidak menyebut-nyebut kata SPJ. Saya orang baru. Saya belum tahu apa-apa. Maka saat pertama disuruh menguruskannya dengan senang hati saya sanggupi. Niat awalnya karena memang ingin tahu. Dan yang kedua karena ada perintah.

Belanja Pegawai Bikin Berkunang-kunang

Minggu, 15 April 2012

Dari catatan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) pada tahun 2011 terdapat 124 daerah yang memproyeksikan belanja pegawai lebih dari 50%. Yang mencengangkan jumlah ini meningkat signifikan sebesar 135% pada tahun 2012 yakni menjadi 291 daerah. Bahkan 11 daerah menguras 70% lebih. Sesuai urutan adalah Kota Langsa-NAD (76,7%), Kab. Kuningan-Jawa Barat (74,0%), Kota Ambon-Maluku (73,4%), Kab. Ngawi-Jawa Timur (73,0%), Kab. Bantul-DIY  (71,9%), Kab. Bireuen-NAD (71,8%), Kab. Klaten-Jawa Tengah (71,6%), Kab. Aceh Barat-NAD (70,9%), Kota Gorontalo-Gorontalo (70,3%), Kab. Karanganyar-Jawa Tengah (70,1%), Kota Padang Sidempuan-Sumatera Utara (70,0%).

Alhamdulillah, rasa syukur senantiasa mesti kita haturkan. Ada dua rasa syukur yang saya miliki. Syukur yang pertama karena Kabupaten Ngawi, kota tempat saya tinggali dan tempat saya mengabdi sebagai birokrasi menempati peringkat keempat seluruh Indonesia atau peringkat kedua seluruh Jawa (setelah Kuningan). Berarti peringkat pertama di Jawa Timur! Hebat bukan. Jadi terkenal ke seluruh nusantara, bisa jadi ke seantero jagad. Jadi buah bibir, jadi naik daun seperti ulat bulu dan tomcat. Tapi sebenarnya ini adalah ironi karena kepopuleran tersebut mengandung maksud yang negatif.

Syukur yang kedua karena masih ada yang mengingatkan. Rilis yang disampaikan oleh Fitra di atas membuat masyarakat luas semakin tahu bagaimana kondisi pengelolaan keuangan di era otonomi daerah ini. Dan ternyata, mayoritas untuk belanja pegawai. Masyarakat punya hak untuk protes. Publik punya hak untuk menikmati program pemerintah sebagai imbal jasa atas pembayaran pajak mereka. Maka bersyukurlah ada yang mengingatkan. Pejabat terkait mestinya punya mata punya telinga. Realita ini bisa dijadikan momentum pengendalian diri dan pelecut agar anggaran berpihak kepada rakyat.

Memang tidak bijak serta merta menyalahkan daerah akan kondisi ini. Pemerintah pusat tak luput menanam saham akan besarnya belanja pegawai. Misalnya kenaikan gaji pegawai, rekrutmen pegawai, dan pembentukan organisasi perangkat daerah tak lepas dari peran pusat. Kenaikan gaji PNS yang berlangsung setiap tahun itu regulasinya berasal dari pusat tapi pelaksanaannya dibebankan kepada masing-masing daerah.

K1=50 Juta

Sabtu, 14 April 2012

Kenapa ya masih ada orang yang ngotot menjadi pegawai negeri dengan cara apapun. Dengan cara apapun itu termasuk cara-cara yang tidak wajar. Misalnya memalsukan data, minta bantuan paranormal alias dukun, menyuap, dan sebagainya. Perjuangan menjadi pegawai negeri, di tengah-tengah gersangnya lowongan kerja, memang ruaaarrr biasa. Karena ruaaarrr biasa itulah cara-cara yang dipakai pun juga ruaaarrr biasa.

Di koran, pasca diumumkannya honorer kategori 1 (K1), tertulis berita adanya setoran dari honorer kepada orang (barangkali oknum) yang bisa menjanjikan memuluskan langkah menjadi PNS. Besarnya 50 juta. Tapi setelah setor ternyata namanya tak masuk daftar. Ah, bukankah kasus seperti ini sering terjadi. Namun kenapa terus saja terulang. Kenapa ... kenapa ... kenapa ... jreng jreng jreng. Tanya saja deh pada Ayu ting-ting. Lho itu kan kemana ... kemana ... kemana ...

Honorer K1 itu adalah mereka yang tercecer dalam pengangkatan CPNS karena data mereka tidak masuk dalam database BKN. Pemerintah sedang berbaik hati, maka didatalah ulang para honorer. Tapi ternyata hasilnya mencengangkan, jumlahnya membengkak. Selain dari yang benar-benar tercecer, ternyata ada yang menyusup, menyelinap, menyaru, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Tidak terbayang sebelumnya, begitu besarnya pembengkakan. Berarti memang ada penyakit dalam birokrasi. Bila tidak diatasi bisa bertambah akut dan sulit disembuhkan. Jangan-jangan malah perlu diamputasi.

Maka dibentuklah sebuah mekanisme. Diadakanlah verifikasi. Pemerintah sudah terlanjur curiga. Berharap kejujuran seperti berharap pungguk merindukan bulan. Dibentuklah tim verifikasi. Bertambahlah tugas orang-orang daerah. Bertambahlah tugas kami. Bertambahlah tugas saya. Tak apa-apa, tak masalah. Inilah ibadah, yang tak sekedar ritual rutin di tempat suci. Semoga yang berhak mendapatkan haknya, demikian pula sebaliknya.

Daerah Bangkrut, Salah Siapa?

Kamis, 12 April 2012

halaman-anda.blogspot.com
Berita di media dengan bersumber penelitian oleh sebuah LSM menyebutkan bahwa ada banyak daerah yang beban belanja pegawainya melebihi 50% dari APBD. 11 di antaranya malah lebih dari 70%. Untuk Jawa Timur hanya Kabupaten Ngawi yang masuk daftar. Sedangkan daerah lain di Jawa adalah Kuningan, Bantul, Klaten, dan Karanganyar. Enam sisanya dari luar Jawa. Banyak orang mengatakan inilah imbas otonomi daerah. Padahal otonomi daerah yang merupakan anak kandung reformasi diyakini membawa kesejahteraan untuk masyarakat. Persentase yang begitu besar untuk belanja pegawai mengakibatkan alokasi untuk masyarakat menjadi kecil.

Otonomi memang dilaksanakan di daerah (baca: kabupaten/kota). Dengan demikian tanggung jawab pengelolaan keuangan berada di daerah. Namun semata-mata menyalahkan daerah dalam masalah karut marut besarnya belanja pegawai juga tidak tepat. Bisa jadi daerah memang kurang baik dalam pengelolaan, tapi pusat tak bisa begitu saja menutup mata. Sebenarnya kondisi seperti ini tidak lepas dari kontribusi pemerintah pusat. Pusat dengan segenab regulasi dan kebijakannya membuat daerah mau tak mau mesti melaksanakan yang imbasnya tentu saja berpengaruh pada APBD. Ada yang mengistilahkan bahwa otonomi daerah itu laksana ular. Pusat memang telah melepaskan kepalanya, namun ternyata ekornya masih dipegang erat.

Paling tidak ada tiga regulasi dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang dampaknya membuat daerah menyiapkan anggaran besar untuk belanja pegawai. Ketiganya adalah rekrutmen pegawai, gaji pegawai, dan organisasi perangkat daerah. Penambahan jumlah pegawai, kenaikan gaji pokok, dan pembentukan struktur birokrasi mengakibatkan membengkaknya belanja pegawai yang antara lain untuk gaji, tunjangan, dan penghasilan lain.

Pertama, rekrutmen pegawai. Rekrutmen atau pengadaan PNS diatur dalam PP Nomor 98 Tahun 2000 jo PP Nomor 11 Tahun 2002. Pada prinsipnya pengadaan PNS adalah untuk mengisi formasi yang lowong. Lowongnya formasi dalam suatu organisasi pada umumnya disebabkan oleh dua hal yaitu adanya PNS yang berhenti, pensiun, dan meninggal dunia atau adanya perluasan organisasi. Karena pengadaan PNS adalah untuk mengisi formasi yang lowong, maka penerimaan PNS harus berdasarkan kebutuhan.

Diskresi Untuk K1

Selasa, 10 April 2012

Sesuai perintah Menpan maka pemerintah daerah berkewajiban mengumumkan nama-nama honorer kategori 1 (K1). Kantor saya, BKD telah mengumumkannya melalui website sehingga masyarakat pun bisa mengevaluasi. Beberapa orang yang saya terima berkas pendataannya ternyata terganjal pada verifikasi oleh tim dari pusat. Dari sekian nama yang terdapat dalam daftar ternyata ada beberapa yang tidak masuk. Hal ini sepertinya mengulang kejadian pada pendataan pertama kali pada tahun 2005. Belum ada penjelasan resmi dari BKN kenapa, tapi saya menduga karena masalah TMT pada surat keputusan pengangkatan sebagai honorer untuk pertama kalinya.
.
Hal ini sekilas sepele tapi ternyata berdampak besar. Bahkan besar sekali. Pihak yang membuat konsep keputusan saat itu barangkali juga tidak menyadari konsekuensi ini. Awal tahun 2005 saat penandatanganan SK belum terbersit dalam pikiran jika suatu saat akan ada gelombang besar-besaran pengangkatan honorer menjadi CPNS. Masalah TMT itu adalah masalah yang amat krusial, bahkan paling krusial menurut saya. Karena dari TMT itulah pijakan awal bisa tidaknya honorer masuk database. Memang belum jaminan bisa diangkat, tapi begitu masuk database maka satu langkah pun telah terlampaui.

TMT merupakan kependekan dari Terhitung Mulai Tanggal. Istilah ini cukup familier di kalangan pengelola kepegawaian. TMT adalah penanda. TMT menjadi tanda secara formal kapan seorang pegawai mulai menjadi CPNS, menjadi PNS, naik pangkat, pensiun, dan sebagainya. Lazimnya dengan tanggal 1. Misalnya dalam SK tertulis diangkat CPNS TMT 1 April 2005, itu berarti ia menjadi CPNS secara resmi terhitung mulai tanggal 1 April 2005. TMT 1 April 2005 ini pun akhirnya menjadi patokan kapan ia menjadi PNS, kapan ia naik pangkat, kapan ia naik gaji berkala, juga untuk dasar perhitungan masa kerja keseluruhan, masa kerja golongan, dan lain-lain.

Kembali ke masalah honorer yang terganjal gara-gara TMT. Pada SK pengangkatan honorer mereka untuk pertama kalinya TMT-nya ternyata 3 Januari 2005, bukan 1 Januari 2005. Cuma beda 2 hari namun konsekuensinya besar sekali. Mereka pun tidak tahu kenapa seperti itu karena posisinya hanya menerima SK. Mereka juga tidak protes (meski dalam hati barangkali juga bertanya-tanya) karena tidak mengira jika tahun itu akan ada proyek obral CPNS dari pemerintah.

PNS Bekerja Di Luar Jabatannya

Minggu, 08 April 2012

Anda pernah dengar seorang Kepala Sekolah merangkap sebagai pemulung? Atau guru yang menyambi sebagai tukang ojek? Itu dilakukan karena kebutuhan, bukan ingin sok atau gaya-gayaan. Banyak pula PNS seusai kerja yang menjaga agar asap tetap mengepul di dapur dengan bekerja serabutan.

Anda pegawai negeri yang sedang bingung dengan gaji Anda selama ini? Anda ingin berwirausaha, mencari pekerjaan sampingan, mendapatkan tambahan penghasilan, tanpa harus keluar dari PNS? Atau Anda sudah berhasil mengembangkan usaha sehingga penghasilan yang diperoleh jauh melampaui gaji rutin PNS per bulan? Anda mungkin sedang galau? Soalnya ada beberapa PNS yang menjadi sorotan publik, diberitakan media massa nasional, punya harta melimpah. Pengakuan mereka harta itu diperoleh dari usaha sampingan di luar pekerjaan sebagai PNS. Wajarkah itu?

Saya sedang tidak mengajak Anda keluar dari PNS. Juga tidak sedang menawari Anda sebuah peluang usaha. Saya ajak Anda mengembara menyimak beberapa ketentuan tentang pekerjaan/usaha/jabatan di luar tugas formal PNS.

UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik menyebutkan bahwa Pelaksana pelayanan publik yang selanjutnya disebut Pelaksana adalah pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik (Pasal 1 ayat 5). Pelaksana dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah (Pasal 17 a). Pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah bisa diartikan sebagai PNS. Apakah dengan demikian semua PNS dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha? Belum tentu karena menurut UU 25/2009 itu PNS baru bisa disebut sebagai Pelaksana kalau ia bekerja di dalam organisasi penyelenggara pelayanan publik (OPLP). Dengan kata lain jika tidak bekerja di OPLP maka ia tidak terkena larangan merangkap sebagai komisaris/pengurus organisasi usaha.

Sanksi Guru (Terlapor) Cabul

Kamis, 05 April 2012

Dunia persilatan geger. Wiro Sableng dilaporkan ke polisi karena mencabuli anak buahnya sendiri. Nggak lucu, nggak gitu ceritanya. Yang benar adalah dunia pendidikan geger. Satu lagi cerita tentang guru masuk koran. Seorang guru SMP di Ngawi berbuat tidak senonoh terhadap anak di bawah umur. Berbuat cabul. Tragisnya anak itu muridnya sendiri. Keluarga si korban melaporkan ke polisi. Demikian koran memberitakan kira-kira dua minggu yang lalu. Geger lagi kan.

Tak pelak banyak kalangan menyayangkan kisah ini. Pendidik yang seharusnya menjadi contoh malah berbuat tidak terpuji. Dinas Pendidikan yang menaungi  sekolah-sekolah bereaksi bakal membebaskan sang terlapor dari jabatannya sebagai guru. Kabarnya dinas tersebut malah sudah mengusulkan ke Bupati. Tak mau kalah Inspektur saat diwawancarai koran mengeluarkan ancaman bahwa yang bersangkutan bakal dipecat.

Sama seperti kasus-kasus sebelumnya. Ketika ada PNS yang diberitakan melakukan perbuatan asusila maupun pidana maka bakal banyak yang reaktif. Mestinya kan responsif. Beda lho reaktif dengan responsif. Apa coba?! Responsif itu tanggap. Sedangkan reaktif itu tempat membuat bom nuklir, halah itu kan reaktor. Lho reaktor kan pimpinan universitas, halah malah ndladrah. Hehehe....

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membela perbuatan asusila. Bagaimanapun perbuatan tercela patut untuk mendapatkan balasan. Tulisan ini hanya mendudukkan sesuatu sesuai dengan prosedur dan proporsional. Jujur, ketika ada instansi pengawasan pemerintahan gembar-gembor bakal memecat pegawai nakal, saya salut, cuma di dalam hati masih ada rasa bingung. Karena kenyataannya tidak seperti itu. Soalnya ada kok yang malah sudah dipenjara setelah bebas tidak diapa-apakan. Dan anehnya kerja lagi seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi ancam-mengancam sepertinya memang perlu, untuk mengingatkan kepada pegawai lain agar tidak mencoba-coba bermain dengan api.

Pengurusan Kepegawaian Online

Senin, 02 April 2012

SAPK adalah sistem informasi berbasis komputer yang disusun sedemikian rupa untuk pelayanan kepegawaian. SAPK mempunyai karakteristik sebagai berikut:
- Sistem yang terkoneksi secara on-line antara BKN Pusat, Kantor Regional BKN dan instansi dengan menggunakan jaringan komunikasi data.
- Menggunakan satu basis data PNS yang digunakan secara bersama.
- Menggunakan struktur data dan tabel referensi yang sama sesuai standar baku yang disusun oleh BKN pusat.
- Sistem yang dibangun dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan instansi pengguna

SAPK pada awal mulanya menggunakan jaringan Virtual Private Network (VPN). Penggunaan jaringan VPN pada penerapannya ternyata banyak menemui kendala, salah satunya adalah biaya berlangganan yang dirasakan memberatkan bagi sebagian instansi pengelola kepegawaian di daerah. Untuk mengatasi hal itu, BKN meluncurkan SAPK baru yang berbasis web. Dengan SAPK berbasis web ini pelayanan kepegawaian bisa dilakukan dimana saja, kapan saja, dan dengan biaya yang sangat murah. Sistem baru ini berlaku efektif mulai tanggal 25 Juli 2011 sehingga pelayanan kenaikan pangkat periode Oktober 2011 sudah harus melalui SAPK. Bagi instansi yang mengajukan kenaikan pangkat namun belum menggunakan SAPK, maka usul kenaikan pangkat tidak akan diproses oleh BKN. (Sumber: bkn.go.id)

Lalu apa komentar para pengguna di daerah?

Agus
Di Pem.Prov Jatim & beberapa Kab/Kota udah make SAPK dan malahan tgl 8 apr diikutkan menjadi unggulan pelayanan publik oleh BKD Prov Jatim, namun menurut saya SAPK ini jauh dari Sempurna bila dibandingkan dgn SIMPEG yang udah ada tapi gimana lagi pimpinan mendukung keberadaannya.
Kesan pertama waktu menggunakan SAPK kami pikir ini program hanya bersifat mengalihkan beban tugas BKN kepada instansi pengguna, kesan kedua ini Aplikasi bukan mrpk sebuah sistem manajemen kepegawaian tapi lbh merpk sistem pelayanan administrasi, Kesan Ketiga data yang tersedia berbasis PUPNS Th 2003 (ketinggalan Zaman), Kesan keempat ............. terlalu banyak kalo disebutkan.
 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)